Dua Puluh Tiga

386 75 20
                                    

Jeongguk

Satu kemeja safari dan kamen sudah melekat apik di tubuhnya. Udeng putih dengan sematan beberapa kembang di balik kepala juga menjadi pelengkap tatanannya yang rapi. Setelah sembahyang, Jeongguk sempatkan meletakkan beberapa canang di depan rumah. Diayap dan segera kembali guna memastikan kalau ia masih dalam keadaan rapi dan tidak berantakan. Sesi ini ia lakukan semata-mata karena kedua kakaknya tidak boleh melihatnya awut-awutan. NamJoon dan SeokJin harus tahu kalau Jeongguk kelihatan baik-baik saja. Kalau ia punya beberapa orang terpercaya dan kedua kakaknya tidak perlu khawatir berlebihan.

Beberapa butir beras yang jatuh dari kening dan menyentuh lantai, dipilih-pilin dan masuk ke dalam mulut. Dikunyah pelan-pelan dan ditelan. Sudah dua minggu ini Taehyung mencegahnya kemana-mana. Di dalam kantor saja, Jeongguk harus kemana-mana dengan pemuda yang sepertinya sudah masuk usia nikah itu. Makan, ke kamar mandi, bahkan sampai ke pantry sekali pun. Siluetnya tidak pernah absen dan selalu saja punya alasan kuat kenapa menguntitnya dari belakang. Ada yang memang sengaja karena hendak mengisi air di botol yang kosong, sekalian makan karena sama-sama lapar, dan tidak sengaja bersamaan ke kamar mandi karena panggilan alam tidak bisa diganggu gugat. Semua kalimat yang terlontar kedengaran masuk akal meski Jeongguk pribadi tahu kalau anak ini punya khawatir berlebihan. Takut kalau Jeongguk tiba-tiba tidak kembali dan menghilang. Bingung bagaimana nanti kalau sang Ajik bertanya dimana keberadaan Basuki yang harusnya ada di bawah pengawasannya.

"Ke mau ikut, ndak, Tae?" Jeongguk bersuara sedikit lantang setelah bayangan Taehyung lewat depan kamarnya. "Aku mau ke Puputan."

"Ngapain ke ke sana?" Sambil jalan mundur, Taehyung berhenti di balik pintu. Memandangi Jeongguk dari atas sampai ujung kakinya yang tidak beralas. "Mau ke mas-masmu? Bawa banten?" tanyanya.

"Ada."

"Sendirian? Ndak sama Rose?"

"Rose, kan, ada odalan di pura dalem." Jemari Jeongguk sibuk menyisir surainya yang mengombak di balik udeng. Dirapikan betul-betul supaya tidak menghalangi pandangan. "Ke ndak ke sana juga?"

"Kemarin sudah bantu Ajik, sih. Kalau mau, biar aku antar ke Puputan, ke."

"Rencananya, aku mau sama Jimin."

"Ha?" Taehyung melangkah masuk ke dalam kamar. Mendekat supaya bisa mengoceh lebih leluasa di samping yang punya kuping. "Dia tahu kalau bligungmu di dalam tanah? Sudah cerita apa saja ke sama dia? Dia bukan orang Bali, Jeongguk. Ke jangan terlalu percaya ke dia begitu juga, dong. Kalau sampai identitas Basuki menyebar ke Jawa dan bikin gaduh orang-orang disana, gimana? Siapa mau ke Jawa buat meredakan rumornya?" Sikap Taehyung masuk akal. Jeongguk sudah duga kalau laki-laki ini yang bakal parno dan justru lebih khawatir soal Basuki daripada Basuki sendiri.

"Aku ndak ada bilang apa," jawab Jeongguk setenang mungkin. Menanggapinya dengan suara tinggi juga bakal memunculkan masalah baru walaupun niatnya cuma bercanda juga. "Ke tahu, kenapa aku bisa agak bebas cerita apa-apa ke dia?"

"Ndak, lah! Kan, ke gen(saja) yang kelakuannya suka di luar nalar."

"Ya, ndak salah juga." Jeongguk setuju. "Alasannya, karena dia bukan orang Bali."

"Maksudnya?"

Jemari Jeongguk membenahi posisi udeng di atas kepala. Lagi-lagi harus memastikan kalau surainya rapi dan tidak kemana-mana. Sesi bertemu dengan mas-masnya harus khidmat dan tidak bakal ada waktu memikirkan penampilan lagi. "Kemungkinan dia buat ribut sama orang lain disini, kecil. Alasanku lebih suka ada di dekat dia, karena dia ndak tahu apa-apa," ujarnya, "dia satu-satunya orang yang ndak peduli aku ini Basuki atau barong, atau lainnya. Yang dia peduli cuma aku ndak meninggalkan dia saja. Simple, isn't it?" Jeongguk sunggingkan senyum tulus. Gambaran wajah pengertian Jimin yang tidak banyak tanya, membayang di angan. Seolah mengatakan kalau Jeongguk baik-baik saja. Kalau ia bisa melepas rasa khawatir yang selama ini menjalar sampai menguasai batin.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang