3 : "Joan-nya Bagas?"

163 25 30
                                    


Siapa pula yang tidak kenal dengan siswa yang bernama Falfiana Anada Joanna. Bahkan, akhir-akhir ini, namanya jadi sorotan siswa lain, karena dirinya berubah drastis semenjak kematian Bagas. Ambis-nya, membawa dia menjadi salah satu siswa yang akan dibawa untuk pertukaran ke sekolah ternama yang ada di kota pusat.

“Seperti yang sudah diketahui, jika tahun ini sekolah kita diberi kesempatan untuk mengirim beberapa siswa pilihan dari kelas 11 untuk pertukaran selama tiga bulan dan sayangnya, hanya untuk jurusan IPS.”

Yusril selaku kepala sekolah berdiri di tengah lapangan setelah mengumpulkan seluruh siswa bersama dengan tiga siswa kebanggaan yang akan di antar hari ini ke sekolah masing-masing.

“Jianara Andianti Putri, Mahendra Graskian, dan Falfiana Anada Joanna. Tahun ini, kalian yang dipercayakan untuk membawa nama baik sekolah, entah itu dari sifat kalian atau gaya kalian belajar itu akan mencerminkan bagaiamana sekolah kita. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih dan sukses juga untuk kalian.”

Sorakan dan tepuk tangan memenuhi lapangan sekolah, terkhusus untuk Joan, dia sangat dibanggakan atas ketertinggalan yang ia kejar dalam waktu yang sangat singkat.

“Gila, temen gue pada pergi. Tinggal gue sendiri.” Hana memeluk kedua temannya, dengan mimik wajah yang sengaja dibuat sedih, begitu juga dengan Jian dan Joan.

“Lo pikir, kami ada temen?” tanya Jian kesal seraya memukul puncak kepala Hana yang langsung dibalas dengan senyuman.

“Tenang, tiap minggu kayaknya pulang,” ujarnya lagi.

Sedangkan, Joan hanya diam, dia tidak menjamin akan pulang setiap minggu seperti yang dikatakan Jian. Apalagi dengan sistem sekolah barunya yang menyediakan asrama.

“Jo.”

“Jo.”

Hana dan Jian serentak menatap Joan yang masih diam. “Jangan gini lagi, Bagas pasti gak suka lo yang sekarang. Di sana dia sedih lihat lo begini.”

Hanya seulas senyum dengan anggukan yang dia berikan, lalu ia menyuruh Jian berangkat lebih dulu, karena hanya gadis itu yang diantar oleh kepala sekolah, sedangkan Joan dan Hendra di antar oleh wakil kesiswaan yang lain.

“Hati-hati, soalnya gue gak bisa antar dan gak bisa tengok kalian ke sana. Lagian cuma tiga bulan, Joan gak bakal tambah tinggi itu, mah.”

Sontak Joan tersenyum apalagi Jian yang langsung menaruh tangannya di kepala gadis yang paling pendek di antara mereka.

“Sana, Pak Yusril udah nungguin,” ucap Joan pada Jian. “Hana, kenapa belum masuk? Yang lain udah di dalam kelas, loh. Awas aja lo bandel-bandel, Jian gak ada yang mau marahin lo,” sambungnya kepada Hana dan hanya dibalas dengan senyuman khas Hana.

“Gak usah peduliin gue, aman itu.” Hana mengacungkan jempolnya.

Entah itu Joan atau Jian, mereka sama beratnya meninggalkan Hana, tetapi bagaimana pun ada tujuan lain yang harus mereka capai.

Setelah berpamitan dengan guru-guru, Jian dan Hendra pun sudah berangkat, hanya Joan yang masih berada di depan sekolah karena menunggu Elsa yang belum kunjung datang untuk mengantarkannya ke sekolah baru.

Sudah seperti anak terlantar saja dengan membawa koper dan tas sandang yang isinya sangat penuh.

Sebuah motor yang mengarah ke tempat Joan dengan kecepatan penuh. Laki-laki dengan seragam yang berbeda dari yang ia gunakan sekarang, senyum Joan mengambang sebelum dia membuaka helmnya.

“Ngapain? Tadi pagi udah pamitan, kan?” tanya Joan saat Jeffrian memberhentikan motornya tepat di depannya.

“Gue pikir bakal telat.”

HIRAETH (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang