Tubuhnya terasa membeku, sampai kapan Joan akan tersiksa dengan bayang-bayang yang tidak pernah menjadi nyata. Untuk meneguk salivanya saja ia tidak mampu lagi.
Tatapan mata dan senyuman yang sama membuat Joan tak bisa bergerak. "Bagas," batinnya."Jaga diri baik-baik, ya." Laki-laki itu tersenyum. "Ah, tapi gak perlu takut, karena anak sini bakal perlakuin lo dengan baik kok," sambungnya sambil mengacungkan jempol.
Bahkan suaranya, Joan menggelengkan kepala, sehari sebelum pindah ia bahkan singgah ke makam laki-laki itu.
"WOI NADHIIIP!!!" teriak Desta dari pintu. "Berhenti gangguin Joan, lihat mukanya pucat gitu gara-gara lo yang menyeramkan," sambungnya.
Nadhif menyipitkan mata, dia tidak yakin dengan kalimat yang dilontarkan oleh Desta.
"Jo, lihat gue," titah Nadhif. "Gue jelek?" tanyanya kepada Joan, tatapannya terpusat pada dua bola mata hitam milik Joan.
Joan semakin tidak kuat, keringat mengalir begitu saja, bahkan tubuhnya ikut bergetar, dan seketika ia lupa bagaimana cara untuk bernapas.
"Pergi, deh!" teriak Desta tidak tahan dengan ulah Nadhif yang selalu mengganggu teman barunya.
Sejak hari itu, Nadhif tidak lagi terlihat. Tidak ada salam perpisahan dengan teman kelas atau hal lain untuk meninggalkan kenangan. Begitu pula dengan siswa di sana, kepergian laki-laki itu seakan tidak ada arti, mereka biasa saja. Sehingga Joan beranggapan itu hanyalah mimpi semata. Ia hanya perlu bangun dari tidur panjangnya.
Jeffrian benar, sesuatu hal itu tidak boleh terlalu berlebihan dan apapun itu, cukup dinikmati. Karena setiap kejadian yang ada di muka bumi tidak akan terjadi untuk kedua kalinya dalam bentuk yang sama.
Hampir satu bulan jauh dari keluarga dan teman dekat, ia disibukkan memahami bagaimana sekolah yang diidamkan oleh semua siswa yang ada di Indonesia, setidaknya Joan bisa membawa kebiasaan di sana ke sekolahnya nanti. Benar apa kata Nadhif sebelumnya, semua orang akan memperlakukannya dengan baik. Termasuk Desta, dia diutus pihak sekolah untuk menemani Joan selama di sana, mengingat peringkatnya yang paling tinggi dalam satu angkatan.
"Buku catatannya udah penuh aja."
Desta datang membawa dua kotak susu cokelat sambil menunjuk ke arah catatan yang selalu ada di tangan Joan.
"Haha, iya, nih. Terlalu banyak yang beda, takutnya lupa." Joan melemparkan senyumnya dan meraih susu yang disodorkan Desta kepadanya.
"Sejauh ini, selain masalah lingkungan sekolah, ada yang kamu suka gak?" tanya Desta. "Ah, kayaknya gak ada, ya. Soalnya kamu udah ada pacar," sambungnya.
Joan pun langsung menggelengkan kepala, bagaimana bisa ia melupakan Bagas dengan sangat cepat, lagi pula selama di sana dia tidak menemukan laki-laki yang sesuai dengan kriterianya, karena kriteria Joan adalah, pria yang sama persis dengan Bagas dan orang itu tidak akan pernah ada.
"Lah, masa iya?" Desta tidak percaya. "Terus laki-laki yang tiap minggu datang itu?"
Ternyata ada kesalahpahaman, Desta berpikir jika Jeffrian adalah pacarnya. "Oalah si Jeff?" Joan malah balik bertanya. "Dia gak lebih dari manusia ngeselin, lagian udah punya doi pun. Kayaknya, sih," sambung Joan tidak pasti.
Desta pun hanya mengangguk, sekarang memang sedang trennya memiliki teman lawan jenis, tapi kedekatannya melebihi pasangan kekasih.
Baru saja kembali ke asrama, nama Joan kembali terdengar dari speaker yang ada di masing-masing kamar. Selama empat minggu ini penghuni asrama sudah hafal dengan namanya, karena dia tercatat memiliki banyak pengunjung. Jika bukan orang tuanya, maka Jeffrian yang datang dengan alasan yang masih sama. "Titipan bunda."
"Nanti bunda juga ngasih gue uang jajan, nih," ujar Joan dengan senyuman khasnya sambil mengambil alih bekal yang dibawa Jeffrian.
"Enak aja lo, yang berhak dapat uang jajan cuma anaknya.
"Dih, ngapain. Yang berhak ngasih cuma bunda."
"Gak lah, harus persetujuan dari gue."
Joan menggelengkan kepala. "Nanti bunda bilang gini, nih uang jajan buat Joan, tapi jangan kasih tau Ijep, ya?" Joan menirukan gaya bicaranya bundanya Jeffrian.
"Dih." Jeffrian mendorong kepala Joan pelan. "Oh iya, belakang rumah gue kena banjir lagi, capek banget harus bersihin tiap hujan."
Persoalan banjir tak luput dari mulut laki-laki itu setelah dilanda hujan dan Joan dengan senang hati mendengar keluh kesahnya.
"Ya, gapapa. Kalau gak banjir, kapan lagi kamu bantuin bunda?"
"Sering gue bantuin bunda, gak kayak lo yang cuma di kamar aja." Jeffrian sangat tidak terima jika ia dikatakan malas oleh Joan, mengingat perempuan itu tidak kalah malasnya juga.
Tawa gadis berkulit putih yang ada di depannya selalu terlihat saat bersama dengan Jeffrian, memang hubungan awal mereka hanya suruhan dari Anka, tapi seiring dengan waktu Jeffrian menikmati kebersamaan dengan Joan, bagaimana pribadinya, apalagi jika dia sudah dengan kegilaannya.
"Gak niat pulang, Jo?"
Joan langsung menggelengkan kepala, "Di sini cuma tiga bulan, gak bisa balik lagi. Kalau bisa pindah gue bakal pindah ke sini, Jep."
"Jeff! Bukan Jep. Apaan itu Jap, Jep, Jap, Jep. Susah ayah sama bunda nyari nama gue, Lo malah seenak jidat ganti." Omelan Jeffrian tidak berhenti, karena ia tak suka dipanggil dengan sebutan itu, ditambah lagi hanya Joan yang memanggilnya seperti itu.
"Ya, biarin. Yang nyebut mulut gue."
Jika bukan bel kunjungan berbunyi, pertengkaran mereka akan berlanjut. Joan tidak marah, ia bahkan menyukai setiap kedisiplinan yang ada, untuk pengunjung yang bukan keluarga, akan diberikan batas waktu.
"Lain kali bawa bunda ke sini, capek gue liat muka lo terus!" teriak Joan ke arah parkiran luar.
"Heleh, palingan lo bakal kangen. Gegayaan," ejek Jeffrian seraya memasang helm-nya. "Eh, Jo!" panggil Jeffrian lagi, ia melepas pengaman kepalanya dan kembali berlari ke arah Joan.
"Cari cowok yang lain, ya, gak apa-apa buat pelampiasan masa lalu, asalkan lo bahagia."
Hanya itu yang diucapkannya, lalu ia pergi begitu. "Sesaat ajaran lo, Jep," gumam Joan, tapi bibirnya tanpa sadar tersenyum. Karena ia tahu yang dikatakan laki-laki itu hanya sebuah candaan.
Perihal melupakan memang tidak bisa ia lakukan, karena tidak ada kenangan buruk yang ditinggalkan. Joan hanya perlu menyimpan semua tentang Bagas dan menyapanya saat ia benar merindukannya nanti.
Untuk sekarang, "Selamat beristirahat dulu, aku tidak akan mengganggumu."**
Pesan yang didapatkan membuat Joan menyipitkan mata. Awalnya mereka meminta untuk video call, tapi Joan tidak bisa karena merasa tidak nyaman dengan teman kamarnya yang lain, mengingat suara kedua temannya selalu mengalahkan toa Mesjid dan tidak dipungkiri Joan pun seperti itu juga.
Anak emak bapak
Masing-masing
_______________Jian:
Wei, Bagas punya kembaran?Hana:
Kenapa?Jian:
Gue kan pulang, ya. Gak sengaja ketemu di simpang rumah gue, dia sama Angga, kaget dong gue. Gue pikir dia hidup lagi.Jo? Lo tau?
Hana:
Nah, akhirnya. Gue udah lama pengen nanya, tapi nunggu kalian balik aja.Lo juga, Ji. Kalau pulang bentar banget, gak sempat ketemu kan
Joan mana dah
Jo

KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH - Ryujin ✔
Teen FictionDitinggalkan oleh sosok yang paling dia sayangi untuk selamanya membuat Joan merasa kehilangan, tetapi di samping itu pria yang memiliki paras serupa dengan Bagas muncul di kehidupan Joan-Nadhif, kembaran Bagas. Ia mencoba menjadi sosok Bagas yang d...