Kenangan

69 12 1
                                    


Untuk seseorang yang tidak terlalu suka ngobrol basa-basi sepertiku, perkembangan zaman terasa sangat berguna saat aku butuh sesuatu untuk menghapus rasa bosan di kala sedang menunggu. Seperti yang sedang kulakukan sekarang ini, bermain handphone sambil duduk menunggu antrian seblak milikku. Kuliner yang digemari para cewek, khususnya teteh-teteh Sunda.

Aku hanya penasaran apa yang membuat para cewek tergiur dengan kerupuk lembek berkuah yang diberi topping telur dan sayur ini. Jadi, aku memutuskan untuk mencobanya. Ini percobaan yang pertama kalinya, entah lidahku akan suka atau tidak.

Selama menunggu, aku melihat-lihat unggahan status WhatsApp teman-temanku. Ada salah satu unggahan foto temanku saat dia baru membeli permainan papan baru.

“Unboxing, dong,” balasku pada foto unggahannya yang tak lama dilihat dan dibalas olehnya.

“Gas, nanti malam di 'tempat biasa',” jawab Lubis dengan istilah akrab untuk menunjuk rumah salah satu teman yang kami panggil Brey, di mana kami selalu berkumpul bersama.

“Ok,” balasku singkat.

~

Malam pun tiba. Setelah menyelesaikan satu bab naskah on-going-ku, aku bergegas menuju rumah Brey yang jaraknya tak jauh dari rumahku, sekitar lima menit bisa sampai dengan hanya jalan kaki, kalau gak males.

Aku berangkat dengan sepeda motor, dan setelah sampai ternyata teman-temanku sudah berkumpul di sana. Aku yang terakhir datang.

Kami membicarakan sesuatu yang sebenarnya tidak penting, alias basa-basi. Entah kenapa saat ini aku tidak merasa bosan melakukannya, malah terasa asyik. Mungkin obrolan basa-basi bisa menyenangkan jika dilakukan dengan orang-orang yang satu frekuensi, seperti yang kurasakan sekarang.

Kami nongkrong di luar teras rumah Brey. Percakapan dihiasi dengan senyuman yang terukir di wajah kami, tawa ria mengiringi di sela-sela candaan yang kami lontarkan. Di tengah-tengah obrolan, Lubis berdiri seraya memecah kebisingan, dia berjalan untuk mengambil sesuatu di balik kursi. Lalu, dia kembali dengan membawa sebuah papan bulat dengan pola hitam putih melingkar yang di tengahnya terdapat titik merah, sesuatu yang dia pamerkan di status WhatsApp sore tadi.

Ternyata itu dart game atau panah lempar, bisa juga disebut damak. Cara bermainnya sederhana, kita hanya perlu menancapkan sebuah panah kecil dengan cara melemparnya ke papan bulat dengan jarak tertentu. Pola melingkar pada papan menunjukkan sebuah skor. Semakin dekat tancapan panah kita ke titik tengah, maka semakin besar skor yang kita dapatkan.

Lubis berjalan ke halaman rumah dan meletakkan papan dart di atas kursi yang bersandar di tembok. Agak kreatif memang, aku sampai kesulitan mendeskripsikannya.

Dia menantangku. “Ayo lawan gue!” ucap Lubis dengan sombong sambil melihat ke arahku.

“Ayo, siapa takut,” jawabku dengan gagah berani. Aku menghampirinya ke halaman yang baru saja dia sulap menjadi arena pertandingan.

Aku dan Lubis, yang disaksikan oleh teman-teman lain, sudah bersiap di posisi dengan jarak yang sudah Lubis tentukan. Aku menyuruhnya yang pertama melempar agar aku bisa meniru cara bermainnya. Itu adalah cara sederhana untuk mengetahui sesuatu ketika kita baru pertama kali mencoba.

Lemparan Lubis mengenai pola lingkaran kedua dari titik tengah berwarna merah, menandakan skor yang dia dapat adalah 8 poin. Itu artinya skor tertinggi adalah 10, yaitu ketika pemain menyasar titik merah.

“Boleh juga,” tuturku. “Tapi, lihatlah ahlinya bekerja.” Aku mengambil ancang-ancang untuk melempar, mengukur arah lemparan dengan insting, lalu melemparkan anak panah tanpa ragu.

UNDANGAN PERNIKAHAN YANG MENGEMBALIKAN INGATANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang