chapter 4

1.1K 72 4
                                    

Di sebuah bangunan usang di pinggir kota, segerombol orang berkumpul. Pakaian mereka serba hitam. Sedangkan ada satu orang yang duduk bersilang kaki. Di bawah sepatunya, seseorang sudah babak belur dan tergeletak di tanah. Darahnya mengalir dari kepala dan tubuhnya yang penuh luka, namun tak ada seorang pun yang berniat menolongnya.

"Singkirkan benda ini!" ucap pria yang duduk di kursi itu sambil menendang pria tak sadarkan diri di bawah. Ia menghisap rokoknya dengan kesal karena harus mengotori tangan dan sepatunya dengan darah.

"Baik, bos." ucap bawahannya.

Sebenarnya mereka adalah gangster yang terkenal di daerah itu. Mereka melakukan pekerjaan kotor apapun itu untuk mendapatkan uang. Entah narkoba, minuman keras hingga organ manusia. Mereka juga memberikan pinjaman dengan mudah namun bunganya sangat tinggi.

Tae Oh adalah bos dari para gangster itu. Ia dulunya dibesarkan di sebuah rumah bordil. Ia dibuang orang tuanya hingga ia tak tahu rupa keduanya. Untungnya ada seorang wanita di rumah bordil itu yang merawatnya. Walaupun ia menghabiskan banyak waktunya dengan kelaparan, ia bersyukur karena mampu bertahan hidup. Hidupnya yang tak mudah membuatnya menjadi pria dingin tak berperasaan.

Ketika ia menginjak usia dewasa, wanita yang membesarkannya meninggal karena penyakit. Ia pun terusir dari rumah bordil itu. Demi bertahan hidup, ia melakukan pekerjaan apapun yang menghasilkan uang. Suatu saat ia bergabung dengan kelompok gangster. Mereka adalah orang yang biasa berlalu lalang ke rumah bordil. Akhirnya dia bisa merangkak naik ke jabatannya sekarang karena kerja kerasnya itu. Ia tak pandang bulu bahkan jika harus membunuh sekalipun. Hidupnya hanya untuk bertahan hidup.

Suatu waktu ia harus pergi ke sebuah rumah sakit untuk mengobati tangannya yang terluka. Tak seperti biasanya hari ini ia pergi sendiri, sedang bawahannya menunggu di basemen tempat parkir mobil. Karena tak ingin memancing pandangan orang, ia berjalan masuk lewat tangga darurat. Sebenarnya ia adalah orang yang benci keramaian. Itu sangat memuakkan dan menyesakkan. Tapi tanpa sengaja sebuah suara dari tangga atas membuatnya mendongak. Ia melihat dua orang sedang adu mulut.

Plak! Tamparan keras mendarat bebas di pipi seorang pemuda. Pria yang lebih tua menatapnya marah. Sedang pemuda itu hanya diam tak menunjukkan perlawanan. Bentuk kemerahan terbentuk pada pipinya.

"Apa kamu tahu kalau kamu hamil? Dasar anak gila! Apa yang sudah kamu lakukan di luar rumah! Sekarang pulang! Aku akan buat perhitungan denganmu di rumah nanti."

"Maaf ayah!" pemuda itu mengangguk lemah. Ia sangat terkejut dengan kabar yang baru saja ia dengar. Matanya seakan tak kuat menahan air mata yang akan jatuh. Tubuhnya pun terlihat gemetar. Pria tua yang dipanggil ayah dan mengenakan jas dokter itu meninggalkan pemuda itu sendirian. Seketika kaki pemuda itu seperti lemas. Ia kehilangan tumpuan dan jatuh terduduk. Ia terdiam cukup lama hingga tangis tak bisa ia bendung lagi. Ia menangis sesenggukan seorang diri di tangga darurat. Tae Oh menghela nafas. Ia seakan canggung untuk berlalu. Ia takut dikira menguping kejadian itu.

Pemuda itu sangat cantik untuk seorang pria. Tae Oh hanya melihatnya sekilas dari kejauhan. Namun ia akui pemuda itu indah. Keindahan yang menarik siapa saja yang melihatnya. Tae Oh tak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri.

Tae Oh seperti tersihir sejenak oleh pemuda itu. Tak biasanya ia begini. Untuk apa ia berhenti dan tak segera pergi dari sana. Apa ia merasa simpati pada pemuda itu? Simpati? yang benar saja. Emosi adalah omong kosong baginya. Jika ia ingin bertahan di dunia yang keras ini maka simpati adalah hal yang harus ia buang pertama kali. Siapa yang kuat ialah yang akan bertahan.

Tak lama kemudian ia lihat pemuda itu menyeka air matanya dan pergi. Tae Oh segera melangkahkan kakinya tapi sesekali ia akan melihat ke arah pintu di mana pemuda tadi pergi.

---

Di lobi rumah sakit yang ramai orang berlalu lalang Haemin berjalan lunglai. Pikirannya melayang saat pemeriksaan yang ia lakukan tadi. Hasil pemeriksaan yang sangat mencengangkan baginya. Bagaimana bisa ia hamil? Sedangkan ia adalah seorang pria. Jelas saja dokter kandungan yang merupakan rekam kerja ayahnya langsung menelpon ayahnya. Berita yang seperti petir di siang bolong baginya. Ia tertegun hingga tak bisa mencerna apapun perkataan dokter. Apalagi ketika ayahnya dengan wajah marah membuka pintu pemeriksaan dan menariknya keluar. Ia hanya mengikuti tanpa bisa membantah. Lidahnya keluh.

Haemin pikir ia hanya sakit biasa. Ia hanya merasa kurang enak badan akhir-akhir ini. Tubuhnya yang terus terasa lesu dan mual yang selalu menghampirinya tiap pagi. Tak pernah terbersit sedikitpun bahwa ia hamil. Sekali lagi ia adalah pria bukan wanita. Memang benar ada pria yang bisa hamil di jaman ini. Kemungkinan itu pun hanya 1:99 dari 100 kejadian. Apa ia termasuk 1 yang berbeda? Apa ia pria yang aneh? Ia merasa bingung dan terkejut hingga rasanya ini tidak nyata. Bagaimana ia akan mengatakan kehamilan ini pada kekasihnya Junsang? Apa reaksi dan pendapatnya? Apa Junsang akan merasa aneh dan jijik padanya? Pemikiran itu berputar-putar dalam kepala Haemin. Bahkan tamparan dari ayahnya tak ia rasa lagi.

Haemin berjalan tak tentu arah meninggalkan rumah sakit. Untung saja ayahnya tak menyeretnya langsung ke rumah karena ada operasi yang harus dilakukan. Ia sedikit bernafas lega karena itu. Sudah setengah jam Haemin berjalan dan mulai merasa lelah. Ia duduk di sebuah bangku taman. Ia termenung dan meraba perutnya yang rata. Ia masih belum percaya ada kehidupan yang sedang tumbuh di sana. Ada benih yang Junsang tanamkan pada dirinya. Buah cintanya dan kekasihnya. Ia resah tapi juga bahagia di saat yang sama. Orang-orang pasti memandang aneh padanya dan juga bayi yang akan ia lahirkan nanti. Tapi, satu hal yang pasti ia akan menjaga bayi ini. Ia juga harus segera memberitahu Junsang tentang ini.

Belum sempat ia menelpon kekasihnya teleponnya lebih dulu berdering. Nama Jeje muncul di layar handphonenya.

"Dimana sih lo? Kok gak masuk hari ini? Jangan-jangan lo di tawan sama si Junsang?" Jeje langsung nyerocos ketika telepon diangkat.

"Je..." respon Haemin yang singkat dan memelas membuat Jeje bingung.

"Apa? Eh, jangan nakutin deh! Apa sih? Langsung ngomong deh jangan bikin takut!"

"Je, gimana ini?" Haemin menggigit bibir bawahnya karena bingung harus mulai dari mana ia bercerita.

"Apaan? Lo di mana sekarang?"

"Di taman... Jeje, gimana ini ? gue hamil" Haemin mengucapkan kata itu dalam sekali nafas. Dan telpon di seberang langsung terputus.

---------

Maaf baru update 🙏 lagi banyak kesibukan 😣
Jangan lupa vote ❤
Dan tinggalkan komentar biar aku makin semangat ngelanjutin ceritanya 😄 Komen para pembaca adalah semangatku hehe 😄

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LIVE WITH(OUT) LOVE (BL) (MPREG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang