Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sakura bukan siswi yang paling cemerlang. Bukan pula gadis pujaan dengan wajah menawan. Dia cuma Sakura dan tidak yakin kalau masa depannya bakal bersinar terang. Malahan, akhir-akhir ini dia selalu tertimpa musibah. Bermula dari rumahnya yang ludes di lalap api beserta seluruh keluarganya yang juga ikut terbakar tak bersisa. Kemudian berujung pada gelar anak yatim piatu yang kini melakat erat di wajahnya seumur hidup serta tak ada satupun barang yang tersisa selain beberapa pakaian dan uang receh dari tas sekolahnya. Sialnya lagi dia harus membayar seluruh utang yang ditinggal oleh ayahnya dari hasil kalah judi dan bermain perempuan.
Usianya masih enam belas tahun. Bahunya hanya dua dan tidak begitu kuat menyangga berat, sedangkan beban yang diberikan oleh ayahnya—yang bahkan dalam kematian masih saja merepotkan melebihi kemampuannya. Kalau dipaksakan bisa saja ambles dan mungkin tubuhnya tidak lagi utuh. Tapi, bagaimana juga, utang tetaplah utang. Harus dilunasi walau sebetulnya dia tidak pernah memakai sepeserpun dari uang tersebut.
"Jadi, berapa total gajinya kalau aku bisa bekerja melebihi target?"
"Lebih dari seribu dollar, belum termasuk tip dan makan malam gratis setiap harinya."
"Hari liburnya hanya empat kali sebulan?"
"Iya. Pengajuan izin libur bisa diajukan beberapa jam sebelum waktu kerja dimulai. Jatahnya sekitar dua puluh empat kali setahun."
"Jadi, dimana aku aku harus tanda tangan? Lalu, kapan aku mulai bekerja?"
"Di sini, dibawahnya tuliskan namamu, nama singkat saja. Besok sudah bisa mulai bekerja, jangan lupa pakai seragamnya. Itu lumayan bermerk jadi tidak usah khawatir gatal-gatal karena kain murahan."
"Baik, terimakasih."
Sakura bangkit dari sofa paling lembut yang pernah ia duduki, sedikit enggan sebetulnya. Tapi, harus sudah pergi karena tidak ada lagi urusan yang perlu diselesaikan. Sedikit informasi, Sakura dibesarkan di keluarga yang cukup. Benar-benar cukup jadi tidak ada sisa lebih untuk sekedar menghibur diri, jangankan duduk di sofa selembut tadi, mempunyai kasur bagus dengan dipan saja begitu sulit.
Jalanan di luar gedung masih senggang. Hanya beberapa pejalan kaki yang melintas, memandang aneh dirinya yang masih mengenakan seragam sekolah salah satu sekolah ternama di kota Tokyo. Tidak heran kenapa ia menjadi sorotan orang-orang. Di jam-jam sekarang ini, harusnya dia masih di sekolah untuk mengikuti pembelajaran dan kini tertangkap basah sedang berkeliaran di sisi utara kota tempat yang hidup ketika matahari mulai tenggelam dan tertidur ketika matahari sedang terik.
Dia membolos sekolah, iya betul. Tapi dengan modal izin berduka dari pemerintah setempat, ia bisa tidak masuk tanpa banyak pertanyaan dari orang-orang sekolah. Kau tahu, yang selalu bertanya seakan-akan mengerti apa yang kita rasakan, seolah memang mereka yang paling tahu dan paling sedih dengan apa yang terjadi itu sebetulnya hanya berlomba membandingkan beban hidup saja. Sakura yakin manusia punya porsinya masing-masing dan hidup bukan lomba lari cepat melainkan lari maraton—panjang dan melelahkan, tapi harus tetap berlari supaya bisa mencapai ujung.