The Power of Spirit Girl

107 8 12
                                    

Mataku dengan liar menatap sekitar. Tempat itu begitu asing dan sepi. Setiap balik dinding terdapat 2-6 makam. Tempat ini seperti labirin, tapi terlalu mudah untuk jalan keluarnya. Aku bisa saja pergi dari sini, namun aku harus menyelesaikan misiku. Menurutku, tempat ini lebih mirip pemakaman.
Aku terus berjalan, dengan sikap waspada dan hati-hati. Langit yang cerah, dengan sinar bulan purnama. Tetapi tak secerah tempat ini. Di tempat ini, entah mengapa begitu suram. Dinding-dinding tinggi di sekitarku ini, membuatku sulit melihat. Gerakkanku pun terbatas dan tak bebas. Sebelum sampai di sini, aku sudah menghadapi pasukan Garvoda dengan jumlah yang tidak sedikit. Tapi aku yakin, masih banyak lagi di sini. Ini bukan markas utama mereka, tapi pimpinan mereka lebih senang di sini. Casmon lah orang yang aku cari, dialah pimpinan para Garvoda, pasukan penjajah itu.
Suara auman srigala terdengar beberapa kali, jauh di sana. Ah, tidak! Suara itu semakin jelas terdengar. Semakin dekat. Derap kaki berlari pun semakin nyata terdengar di belakangku. Aku berbalik ke belakang. Ku keluarkan sebilang pedang langit itu dari sarungnya di pinggangku, untuk siap menghadapi serangan apapun. Ringra, itulah nama pedang yang sekarang ada di tanganku. Pedang yang di wariskan kakekku sebelum beliau wafat.
Rasa takut yang aku alami sekarang, bukanlah yang pertama kali. Sejak kecil aku selalu dihantui dengan rasa takut. Peperangan, pertumpahan darah, ketakutan, kelaparan, dan penderitaan yang berkempanjangan ku saksikan setiap hari, dan turut mewarnai pertumbuhanku. Bahkan aku menyaksikan sendiri bagaimana keluargaku disiksa dan dibunuh dengan sadis di hadapanku sendiri.
Langkah kaki itu semakin pelan, tapi suaranya terdengar sangat dekat. Rerimbunan semak bergoyang, aku semakin waspada. Tiba-tiba seekor srigala kira-kira setinggi 4 meter meloncat di hadapanku. Srigala itu memperlihatkan barisan taringnya dan kukunya yang tajam. Matanya tajam dan liar. Mulutnya meneteskan air liur, sambil menatapku seperti mangsa buruannya. Dia bukan srigala, lebih tepat di sebut monster.
Monster itu mulai bergerak mendekatiku. Aku berlari dengan cepat ke arahnya. Ku ayunkan pedang Ringra tepat di tubuhnya. Tubuhnya tergores, dan ia semakin murka. Srigala monster itu menyerangku bertubi-tubi. Cakarnya hampir mengenai tubuhku, dengan cepat aku menghindarinya. Sebuah serangan tiba-tiba membuatku terjatuh. Monster itu kembali menyerangku, aku menahannya dengan Ringra. Sekuat tenaga aku mendorong cakarnya itu, hingga aku punya kesempatan untuk kembali bangkit berdiri.
Aku berlari menjauh dari monster itu. Bukan berniat untuk lari, namun untuk menyusun siasat. Srigala itu mengaum kembali. Aumannya kali ini sangat memekakkan telinga. Membuat siapapun yang mendengar terasa merinding. Apalagi dengan jarak yang sedekat ini.
Srigala itu berlari kencang ke arahku. Aku melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan tadi. Aku berlari mendekatinya. Aku dan srigala monster itu semakin dekat. Dalam waktu yang singkat, aku salto ke atas dan berdiri tepat di punggung srigala itu. Monster itu tampak sangat murka, ia berlari ke sana kemari, bahkan menabrakkan tubuhnya ke dinding supaya menjatuhkan aku dari punggungnya. Tapi rupanya ia tidak berhasil aku masih berada di punggungnya, sambil berpegangan dengan bulu lehernya. Pada saat yang tepat aku berdiri, lalu ku tusukkan pedang Ringraku tepat di lehernya. Ia menggeliat kesakitan beberapa saat, namun setelah itu ia tidak bergerak lagi. Monster itu mati dengan lidah menjulur dan mata yang melotot.
Aku tersenyum, meski nafasku masih memburu. Kepuasan karena telah mengalahkan monster itu. Lalu aku teringat sesuatu. Mataku langsung beralih ke sekitarku. Namun sosok yang aku cari belum menampakkan diri.
"Kau pikir bisa menghadangku dengan mengirim srigala seperti ini? Kau salah Casmon. Sekarang tunjukkan dirimu!!" Teriakku lantang. Teriakkanku menggema dasyat di tempat ini, akibat dari pantulan dari dinding ke dinding.
"Oh, Reina. Sudah lama kita tidak berjumpa." Seorang lelaki dengan jubah hitam muncul setelah sinar hitam yang bagai petir mengiringi dirinya menghilang.
"Jangan basa-basi. Hadapi aku sekarang!" Tantangku pada seorang lelaki di hadapanku.
"Kau tumbuh menjadi gadis yang penuh semangat sekarang. Aku sangat ingat 6 tahun lalu kau begitu ketakutan, dan lemah. Keluargamu, adalah keluarga pemberontak. Dan semua pemberontak memang pantas mati. Namun aku masih punya hati nurani, aku tidak tega membunuh mahkluk lemah sepertimu saat itu. Jadi aku membiarkanmu hidup, itulah kebaikkanku. Dan kau malah meneruskan pemberontakan ini? Kau buat kesalahan Nak!"
"Cukup Casmon! Kau lah yang berbuat kesalahan karena tidak membunuhku waktu itu. Aku juga tidak akan membiarkanmu mengacau di tempat kami lagi. Kaum Sarva pantas hidup tenang."
"Baiklah. Sebuah tindakan berani kau datang kemari seorang diri. Apa kau lupa dengan nasib temanmu itu?" Casmon tersenyum kecil. Sementara aku langsung diam. Aku tahu siapa yang ia maksud. "Sudah kuduga. Hatimu masih lemah. Sangat mudah untuk di hancurkan."
"Cukup!" Aku langsung berlari menyerangnya. Aku ingin sekali menebas lehernya. Setelah yang ia lakukan pada keluarga, teman, dan hidupku, aku benar-benar tidak bisa menahan diri. Ringra ku tebaskan ke arahnya, namun ia malah dengan mudah menangkap pedangku dengan tangan kirinya.
"Jangan terburu-buru. Bukankah tempat ini sempit? Bagaimana kalau kita pindah ke tempat yang lebih luas?" Tawarnya.
Tanpa menunggu jawaban persetujuanku, ia mulai menggangkat tangan kanannya. Dalam sekejap tempat itu berubah menjadi tempat yang berbeda. Tempat ini tak jauh beda dengan tempat yang tadi. Suasananya sama, namun tempat ini lebih luas dan lebih banyak makam di sana. Makam-makam itu sangat banyak. Mungkin ada puluhan makam, atau bahkan ratusan.
Casmon melepas Ringra dan berjalan mundur dengan sangat tenang. Ia tampaknya tahu jika aku tidak akan menyerangnya kali ini. Aku mengatur nafasku. Pedang Ringra masih ku genggam erat. Casmon berdiri dengan tenang sambil menatapku.
"Inilah yang aku sebut bangkit dari kematian." Suara tawa Casmon menggema tak kalah dasyat dengan teriakkanku tadi. Casmon mengangkat tangannya, bersamaan dengan itu makam yang ada di sekeliling tempat itu bergetar. Entah mantra apa yang di gunakan Casmon untuk membangkitkan orang-orang mati itu yang kini menjadi zombie.
Zombie-zombie itu menyerangku. Aku yang masih dalam keadaan setengah terkejut, terpaksa membereskannya. Tetapi semakin banyak saja yang bangkit. Sebagai orang biasa yang punya keterbatasan, aku mulai lelah. Keringat membasahi tubuhku.
"Kau tak akan bisa keluar dari sini Reina. Datang kemari sama saja dengan menyerahkan nyawamu." Casmon melipat kedua tangannya, lalu tersenyum ke arahku dengan senyuman dingin.
"Aku datang kemari dengan membawa harapan banyak orang. Karena itu aku tidak akan menyerah." Sambil berkata demikian, aku masih terus waspada. Karena orang mati yang bangkit ini benar-benar merepotkan.
"Ya... kita lihat saja nanti. Sampai di mana kau bisa bertahan." Casmon mengangkat tangannya kembali, lalu menunjukku. Kemudian mereka menyerangku lagi dengan lebih ganas. Wajah mereka setengah rusak, pucat, kuku hitam yang panjang, serta taring mereka yang tajam. Sudahlah! Aku tak mau menceritakan kondisi mereka lagi. Yang pasti mereka sangat mengerikan.
Aku berusaha menghindar dari serangan mereka. Selama aku bisa, aku mencoba menghindar. Kuku-kuku mereka, berhasil membuat luka di lengan, kaki, dan punggungku. Aku merintih sakit, memengangi luka yang menganga dan mengalirkan darah segar.
Tubuhku mulai lemah, dadaku terasa terasa sesak. Sementara mereka selalu menyerangku. Serangan dari seorang zombie dapat aku hindari. Namun, zombie yang lain secara bergantian menyerangku. Aku sudah mulai merasa kehabisan tenaga, puluhan melawan seorang, rasanya adalah hal yang mustahil. Pedang Ringra terlepas dari genggamanku. Aku terjatuh, otot-ototku terasa kaku dan sulit digerakkan. Mereka menggerumuniku, aku pasrah atas nasibku. Mungkin hidupku akan berakhir di sini.
"Reina..." Terdengar suara tidak berwujud, tapi aku tak punya kesempatan untuk mencari sumber suara itu. Mereka terus saja menyerangku, dan tak akan membiarkan aku lari. Tapi suara itu terdengar menyeluruh di pikiranku.
"Biasanya kau gadis yang tak pernah kenal kata menyerah. Ada apa denganmu sekarang? Mana semangatmu yang dulu kau banggakan?"
Aku merasa begitu mengenali suara itu. Tapi siapa? Ku coba memutar kembali memori kenanganku. Dan aku baru sadar suara siapa itu sebenarnya.
"Dion..." aku menyebut namanya, setelah aku yakin suara itu milik Dion. Air mataku mengalir. Ingatanku tentang Dion kembali melekat.
Dion teman seperjuanganku. Teman yang selalu bersama di saat masa-masa sulit. Ia banyak mengajariku tentang kehidupan. Arti ketegaran, keiklasan, keberanian, dan ketulusan. Kami bernasib sama, keluarga kami mati dengan cara yang sama. Tapi ia tak begitu terpuruk seperti aku waktu itu. Ia bangkit dan menggandengku untuk berjuang bersama.
Kami bersama, pernah menghancurkan markas Garvoda di bagian selatan. Setelah penghancuran markas itu, nama kami terkenal bagi para Garvoda dan orang-orang Sarva. Semua orang tahu, bagaimana kejahatan yang telah di lakukan para Garvoda pada kaum Sarva. Mereka memeras, menghina, menindas, dan menyiksa, bahkan sudah banyak kaum Sarva yang terbunuh. Itulah yang mendasari kami, berjuang untuk menghancurkan para Garvoda agar tidak ada lagi kaum Sarva yang jadi korban.
Tapi semenjak Casmon bangkit dan memimpin Garvoda, sekarang Garvoda menjadi kuat dan sangat sulit di hancurkan. Kami yang hanya berdua, cukup mudah untuk di taklukkan. Beberapa bulan lalu, kami menjadi buronan bagi para Garvoda. Bahkan setiap orang yang menyembunyikan kami, atau tahu keberadaan kami namun tak melapor akan mendapat hukuman berat.
Aku ingat sekali saat itu, malam di mana kami terkepung oleh pasukan Garvoda. Malam itu adalah malam pertumpahan darah. Malam di mana saat Dion pergi. Aku dan Dion malam itu telah mengalahkan puluhan orang dengan tangan kami. Tapi entah mengapa pasukan Garvoda tak pernah habis. Mereka yang terbunuh, kembali bangkit. Bahkan lengan mereka yang terpotong dapat dengan mudah disatukan kembali. Sedangkan kami tak punya banyak tenaga untuk bertahan lagi. Lalu kami memutuskan lari dari peperangan ini.
Kami berlari menuju dinding tebing. Posisi kami yang berada di dasar lembah menyulitkan kami untuk berlari dengan mudah. Sedangkan para Garvoda yang menjadi zombie terus mengejar kami. Saat itu, dengan tergesa-gesa kami memanjat tebing batu berlumut. Lumut itu berhasil membuatku terpeleset, dan hampir terjatuh. Namun Dion segera memegang tanganku dan menarikku sehingga posisiku benar seperti semula.
"Kita akan selamat..." Ucapnya. Sedangkan aku hanya tersenyum.
Para zombie itu ikut memanjat, tapi mereka beberapa kali mereka gagal. Mungkin juga karena akal sehat mereka sudah tidak ada lagi.
Kami berhasil sampai di atas bibir jurang. Aku tersenyum, begitu pun Dion. Aku dapat melihat wajah tampannya dengan jelas, saat tiupan angin menerpa rambutnya dan sinar rembulan purnama menyinarinya. Kami lolos dari mereka, dan dapat tersenyum dengan puas sampai beberapa saat.
Tiba-tiba entah apa yang terjadi, tanah yang kami pijak bergetar dan longsor. Kami berlari menghindar, tapi kejadian begitu cepat sehingga kami ikut terperosok. Dalam keadaan yang terdesak aku mencoba meraih dahan yang menyeruat keluar, dengan tangan kananku, sedangkan tangan kiriku menggenggam tangan Dion. Sampai beberapa lamanya, tubuh kami bergelantungan di tebing jurang yang lonsor itu. Sementara para zombie yang di bawah, sedang gencar-gencarnya menunggu kami jatuh. Tubuhku sangat lelah, entah sampai kapan aku bisa bertahan dalam posisi seperti ini. Lama-lama terdengar denyitan suara batang yang retak. Aku mulai panik, lalu ku pandang wajah Dion sambil menampakkan kekhawatiranku.
"Reina, lepaskan aku!" Dion berbicara tegas, sambil membalas tatapanku dengan tajam.
"Apa yang kau katakan? Kau bisa mati jika ku lepaskan. Kau tidak lihat pasukan Garvoda yang mati itu menunggu kita di bawah?" aku begitu terkejut mendengar permintaan Dion yang aku pikir aneh itu.
"Dahan ini tidak kuat untuk menahan tubuh kita berdua. Lagi pula kau sudah terlihat kelelahan."
"Tidak! Apapun yang terjadi, aku tidak akan melepaskanmu."
"Reina, dengarkan aku! Salah satu dari kita harus bertahan demi meneruskan perjuangan kita."
"Tidak! Kita berdua akan selamat. Aku masih kuat bertahan."
"Tapi sampai kapan? Mungkin kau bisa bertahan. Tapi tidak untuk dahan itu."
"Tapi..."
"Kau harus berjanji padaku untuk selamat. Dan meneruskan perjuangan kita." Ucapnya tegas. Aku menatapnya penuh kecemasan. Ia hanya memberikan senyuman manis. Aku bahkan tidak tahu sebelumnya jika Dion memiliki senyuman yang semanis itu.
"Aku..." saat itu, kata-kataku terputus. Dia melukai lenganku dengan belatinya, sehingga aku merasa sakit dan spontan melepaskan genggamanku padanya. Dion terjatuh...
"Dion..." Teriakku histeris. Dion terjatuh ke dasar lembah, lalu di gerumuni zombie. Entah apa yang terjadi padanya. Aku hanya mendengar teriakkan Dion yang merintih kesakitan, lalu kemudian hening. Sangat hening. Aku menangis sejadi-jadinya, menyesalkan karena kebodohanku yang melepas Dion. Rasanya aku saat itu ingin terjun menyusulnya. Tapi aku teringat tentang janjiku padanya. Bagaimana pun aku harus tetap hidup. Aku memanjat tebing dengan sisa-sisa tenagaku. Tubuh yang lelah dan sakit tak seberapa, dibandingkan tekanan batin yang aku rasakan saat ini.
Aku berhasil sampai di atas. Aku menatap dasar lembah yang mulai di selimuti kabut. Aku berdiri lama sampai fajar tiba. Mentari pagi mulai memunculkan sosoknya. Sinar hangatnya menghangatkan tubuhku. Mentari yang sangat indah. Sayang, Dion tak bisa melihatnya lagi. rasa sesalku masih aku rasakan sampai saat ini. Mulai pagi itu, aku berjuang sendiri tanpa Dion di sisiku. Ya, berjuang sendirian.
"Jangan tampilkan wajah sedihmu itu." suara itu muncul lagi, membuyarkan semua lamunan tentang kenanganku itu. setelah perkataan itu, tiba-tiba semua berubah. Tak ada dinding, zombie ataupun Casmon. Yang ada hanyalah ruangan putih bersih tak berujung. Kakiku, seperti berpijak di atas lantai kaca tipis namun kokoh. Dan yang paling mengejutkanku adalah hadirnya Dion yang berdiri di hadapanku dengan pakaian serba putih.
"Maafkan aku... maaf!" Air mataku kembali mengalir. Aku tak sanggup menatap Dion, walaupun aku sangat merindukannya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Bukankah aku yang memintamu agar melepaskanku? Aku tak pernah merasa menyesal mati karena keputusanku. Mati dalam perjuangan adalah sikap yang harus diambil oleh kesatria sejati. Akulah yang seharusnya meminta maaf, karena telah melukai tanganmu waktu itu."
"Aku tidak bisa melanjutkannya lagi. Aku terlalu lemah. Selama ini kaulah yang melindungiku. Setelah kau pergi, aku..." air mataku bercucuran, hingga mengalir di pipi, lalu menetes di lantai kaca itu.
Dion mendekatiku, lalu menghapus air mata di pipiku dengan tangannya yang lembut. Aku perlahan menggangkat wajahku untuk menatapnya. Wajahnya sama seperti dulu, tapi kini lebih bersinar.
"Kau merasa sendiri?" Aku mengganggukkan kepala. "Jangan pernah merasa sendiri. Ragaku mati, tapi jiwaku tidak pernah mati. Jiwaku akan tinggal di hatimu."
"Aku merindukanmu..."
Ia tersenyum. "Aku juga merindukanmu Reina. Kau pantas hidup. Kau adalah wanita paling bersemangat yang pernah aku kenal. Kau tidak lemah. Kau punya kekuatan dalam semangatmu. Kekuatan yang besar."
"Tapi aku..."
"Tak ada kata menyerah bagi seorang pejuang. Banyak orang menunggumu. Hanya kaulah satu-satunya harapan mereka agar mereka terbebas dari penderitaan yang selama ini menyiksa fisik dan batin mereka."
"Baiklah..." Aku tertegun beberapa saat. "Aku akan bertahan demi perjuangan kita yang telah sampai di sini. Aku bertahan demimu, seluruh keluarga, dan kaum Sarva lainnya. Aku berjanji." Kataku dengan mantap.
"Ya, itulah semangat yang aku harapkan darimu. Bertahanlah! Aku yakin kau bisa melewatinya."
Aku tersenyum, begitupun Dion. Aku tak percaya dapat melihat senyuman itu lagi setelah kejadian itu.
Suasana kembali seperti semula. Sama di saat aku tersungkur menerima cakaran ganas dari para zombie itu. Aku lihat Casmon tersenyum melihatku yang sudah tidak berdaya. Tak ada seorang pun yang lolos dari genggaman Casmon selama ini. Casmon yang berjuluk "Setan Kegelapan" selalu bisa menggenggam erat jiwa korbannya.
Zombie-zombie itu menyerang ganas. Aku menghindar, dan terus menghindar. Sampai akhirnya aku berhasil mengambil pedang Ringraku kembali. Aku merasakan energi mengalir dalam tubuhku. Pedang Ringra yang ada di tanganku bersinar. Bahkan sinar ini terasa 10 kali lebih bercahaya dibanding sebelumnya. Aku mengayunkan Ringra. Goresannya lebih tajam dan dalam. Energi yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Energi yang kuat, bahkan dasyat.
Aku bangkit dan kembali menghajar zombie itu. Satu-persatu mereka mulai jatuh. Energi itu datang bersama semangat ini. Tanpa sadar, aku telah mengalahkan semua zombie yang ada. Mereka yang kalah berubah menjadi abu dan terbang di bawa angin. Kini tinggal aku dan Casmon yang berdiri berhadapan.
Nafasku memburu. Keringatku sudah hampir membasahi seluruh tubuh. Aku tahu, aku adalah wanita yang berantakan saat ini. Tapi siapa yang peduli dengan penampilan? Aku adalah wanita kesatria yang berjuang pada jalan kebenaran. Itu cukup!
"Bagi orang sepertimu lumayan juga." Casmon tersenyum.
"Hentikan semua ini Casmon! Biarkan kaum Sarva hidup tenang."
Casmon tertawa keras. "Kau menyuruhku menghentikan kesenangan ini?" Casmon tampak berpikir. "Hmm, bagaimana jika kau ikut denganku? Kita akan membangun dunia baru, dan makhluk-makhluk seperti kaum Sarva kita singkirkan. Oh, pasti sangat menyenangkan." Ia tersenyum sambil memperlihatkan barisan giginya yang hampir berupa taring.
"Kau menyuruhku berhianat? Lupakan, aku tidak akan mau,"
"Rupanya kau tak mau berhianat,"
"Cukup sudah. Hentikan, atau aku yang akan menghentikanmu!"
"Kau mengancamku? Lucu sekali, lelucon yang sangat lucu." Casmon tertawa lagi. dan aku semakin tidak senang dengan keadaan ini.
Tanpa bicara lagi, aku langsung menyerangnya. Tetapi dengan cepat ia menghindar. Tidak! Dia bukan menghindar, tetapi ia menghilang. Lalu kemudian muncul di tempat yang berbeda. Beberapa kali terus saja seperti itu. Aku benar-benar kesal.
Hei, sampai kapan kau terus lari pengecut? Apa kau takut padaku, sehingga tak berani menyerangku?" Teriakku dengan keras.
Dia tiba-tiba muncul di hadapanku "Ternyata kau tipe orang yang suka terburu-buru. Tak suka main-main rupanya. Baiklah!"
Dari tangan Casmon, tiba-tiba muncul sebuah pedang. Pedang yang sangat tajam dan mengkilat. Saat itu Casmon tersenyum.
"Ayo kita bermain."
Aku mengayunkan Ringra, ia mengarunkan pedangnya. Aksi saling menyerang ini benar-benar menggemparkan. Tak ada satupun makhluk yang berani mendekat saat pertarungan ini berlangsung. Semuanya bersembunyi.
Aku tak akan menyerah sampai kapan pun. Itu adalah janjiku pada Dion yang aku ingat. Percikkan api dari pedang Ringra dan pedang yang digunakan Casmon muncul. Mungkin karena energy dasyat yang dihasilkan dari kedua pedang tersebut, dan sekaligus pemakainya.
Aku terdorong kebelakang, tapi Casmon tetap berdiri tegak dengan santai. Aku yakin ia hanya main-main denganku, tanpa mengeluarkan seluruh kemampuannya. Padahal aku sudah mengeluarkan kemampuanku sepenuhnya.
"Menyerah saja. Kau pikir bisa mengalahkan aku?" Ucap Casmon di sela-sela pertarungan itu.
"Aku tidak akan menyerah. Tidak akan pernah."
"Keras kepala. Baiklah, kau yang memutuskan untuk mati."
Energi yang di keluarkan Casmon mulai membesar. Tubuhnya di kelilingi cahaya merah bagai api. Benda yang di tatapnya langsung hangus terbakar. Aku hanya berlari dan terus berlari menghindar dari serangan Casmon yang mengerikan itu. Tetapi Casmon berhasil menyabetkan pedangnya ke tubuhku. Tubuhku terpental menabrak dinding. Sakit sekali, mungkin beberapa tulangku patah, di tambah luka-luka yang menganga terasa sangat sakit. Casmon mendatangiku di pojok dinding.
"Oh, belum mati rupanya." Casmon memandangku, dengan angkuh dan ngeri.
"Sudah aku bilang bukan, jika aku tidak akan menyerah?" Aku bangkit. Semua tubuhku terasa nyeri, tapi tidak aku pedulikan.
"Dalam keadaan seperti itu masih bisa berdiri? Baiklah, akan aku akhiri saja." Casmon mengayunkan pedangnya ke arahku. Aku yang dalam kondisi terdesak itu tidak mungkin bisa lari menghindar.
"Reina, jangan takut! Kami ada bersamamu." Ku lihat Dion berdiri di sampingku sambil memegang pundakku. Aku tersenyum dan merasa mendapat semangat baru. Dion tidak sendiri. Ia membawa jiwa-jiwa lain yang mati akibat ulah Casmon.
Aku mengayunkan Ringra. Kekuatan kedua belah pedang itu saling bertubrukkan. Kekuatan dasyat ini lebih menggeparkan dari sebelumnya. Dan Ringra terasa lebih kuat, energy yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya, ia terpental. Jiwa-jiwa itu mendatangi Casmon. Bergerak bagai sinar putih yang menyerang Casmon bertubi-tubi. Hingga ia akhirnya mati.
Aku tak kuat bertahan. Tubuhku sudah sangat lemah. Aku terjatuh, samar-samarku lihat wajah Dion yang tersenyum kepadaku.
"Kau berhasil..." bersama dengan perkataannya itu, aku tidak sadarkan diri.
Pagi yang sangat cerah. Matahari terbit dengan sosok yang mempesona. Aku sadar, ku lihat sekelilingku dengan mata berbinar. Banyak orang yang mengelilingiku di atas pembaringan itu.
"Terimakasih, kau telah membawa kedamaian seperti semula."
Aku tersenyum, mereka pun begitu. Tubuhku sudah terasa agak ringan, meskipun masih terasa nyeri. Luka-lukaku pun telah di perban. Pagi yang sangat bahagia, ku lihat wajah-wajah ceria yang tak pernah ku lihat sebelumnya dari aku kecil. Mulai pagi itu, gangguan tentang Casmon dan para Garvoda sudah berakhir.

The End


Ini cerita pertamaku disini, semoga suka. Salam kenal...

Yulita Zee

The Power of Spirit GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang