Prolog

59 8 4
                                    

Cuaca yang cerah untuk kawasan Ibu Kota. Jika biasanya pagi pagi sudah diguyur oleh hujan, sekarang mentari muncul untuk memberi semangat untuk para pejuang.

Jalanan dipenuhi oleh kendaraan umum maupun pribadi, asap kendaraan mulai menerpa jalanan. Ditengah ramainya jalanan seorang laki laki dan perempuan berboncengan dengan santai. Sebenarnya yang santai hanya si laki laki, si perempuan merapalkan doa agar mereka-ralat dirinya tidak terlambat.

"Plis ya Rafka, lo bisa ga sih, bawa motornya cepetan dikit, jangan kayak siput dong!"

"Mengendarai itu dinikmati Ze, apalagi kalo bawa motor, biasanya pagi pagi udah ujan. Lo tau kan Jakarta lama diguyur hujan. Liat tuh awannya" Rafka menunjuk keatas "trus tu burung burungnya, cantik kan?"

"Iya gue tau, tapi kalo gini caranya, yang ada kita bisa telat Rafka hiihh!" Zefa merasa gemas dengan Rafka, rasanya ingin melemparkan temannya ke jalanan.

"Gapapa kali, biar sekali kali lo telat, ntar lo bisa cerita ke anak lo nanti, dulu mama ga pernah telat kalo berangkat sekolah, trus karna mama dipaksa berangkat bareng om Rafka sama nenek kamu, mama jadi telat karna om Rafka bawanya kayak siput, dan seumur hidup mama telat berangkat sekolah baru satu kali itu, dan itu gara gara om Rafka. Terselip nama gue di cerita hidup lo," ucap Rafka panjang seperti bisa meramal masa depan.

Dan Zefa hanya menghela napas pasrah, pasrah jika nanti dirinya terlambat.

5 menit setelah drama diperjalanan, akhirnya mereka sampai diparkiran sekolah. Segera mereka melangkahkan kakinya dengan cepat.

"Sumpah ini kalo sampe kita telat masuk, gue bakal marah sama lo!"

"Santai aja kali, paling cuma disuruh keliling lapangan"

"Santai lo bilang, kalo aja lo ga bawa motor kayak siput, kita ga bakal telat."

"Santai," laki laki itu melemparkan senyum tanpa dosa dan dibalas dengan tatapan tajam oleh Zefa, seakan dengan tatapan itu dia bisa membunuh sifat temannya yang menyebalkan. Sudah 16 tahun lamanya mereka berteman, tapi entah kenapa sifatnya yang menyebalkan itu belum juga hilang.

Mereka berpisah didepan koridor kelas XI IPS 2, tepat Zefa menginjakkan kaki di pintu kelas, bell masuk berbunyi. Perempuan itu bernafas lega, syukurlah hari ini dia tidak jadi terlambat, rasa sebal terhadap temannya hilang seketika.

****


"Lo tadi berangkatnya bareng Rafka lagi?" tanya Natta sembari memasukkan sepotong bakso kedalam mulutnya.

"Iya" Jawab Zefa singkat.

"Lo pernah pacaran sama Rafka?"

"Belom pernah,kenapa?"

"Ga papa, cuma nanya doang" Natta seperti sedang berfikir untuk menemukan pertanyaan baru
"Lo pernah ada rasa sama Rafka?" Itu pertanyaan yang dapat nembuat Zefa diam selama beberapa detik.

"Engga," Zefa mengucap dengan nada ragu, "gue belom pernah ada rasa sama Rafka dan ga akan pernah." sambungnya dengan penuh percaya diri.

"Kenapa gitu?" Natta mengucap dengan mata selidik, "karna kita temen" Zefa mencoba untuk meyakinkan. Sedangkan Fani diam menyimak perbincangan kedua temannya.

"Kenapa lo ga pacaran sama Rafka?lagian kalo dilihat lihat, kalian cocok kok, secara lo udah temenan sama dia dari kecil." Fani mulai bergabung dalam percakapan.

"Emm, ya karna..." Seakan Zefa mencari jawaban dalam ramainya kantin, "gue ga suka sama Rafka," tersenyum setelah menemukan jawaban yang tepat.

"Mustahil kalo diantara kalian ga ada yang ga suka, temenan antara cowo dan cewe, mesti diantara keduanya ada yang suka, entah yang cowo atau yang cewe" Natta menyangkal, tapi kenyataan memang seperti itu, mustahil jika didalam sebuah pertemanan tidak ada yang tidak menyukai.

Zefa memutar bola matanya, selalu seperti ini, ketika Natta dan Fani melihat dirinya berangkat bersama Rafka, akan disangka jika mereka berpacaran, dan akan susah mengalihkan topik jika sudah menyangkut hal itu.

****


Masih ditempat yang sama Rafka, dan dua temannya asik menggosip membicarakan soal adek kelas.

"Eh lo tau ga, adek kelas yang cantik itu!?"

"Siapa, adek kelas banyak yang cantik anjir, jadi pen macarin"

"Inget Meisya bego, lo tiap liat cewe cantik aja langsung lupain Meisya" Gian mengingatkan dengan memukul belakang kepala Abyan.

"Bukannya ngelupain, gue cuma pengen nambah aja." Jawab Abyan dengan cengiran.

"Anjir bego." Umpat Gian kepada Abyan

"Adek kelas yang mana sih, emang bener kata Abyan, adek kelas banyak yang cantik."

"Anjir, ya ga salah sih." Gian hanya bisa membuang napas, berteman dengan Rafka dan Abyan terkadang membuat dia harus banyak banyak mengucap istigfar. "Itu loh kelas 10 MIPA 3, masa nggak tau sih?"

"Gue keknya tau deh, tapi kek ga tau." Jawab Rafka dengan mata yang menyipit dan tangan yang mengusap dagu, seakan dia sedang memikirkan dengan keras.

Lagi lagi Gian hanya bisa menghela napas dengan wajah nelangsa, seakan mengeluh kepada Tuhan mengapa ia bisa berteman dengan mereka.

"Mbohlah, cape gue sama kalian." Ucap Gian dengan membuang napas.

"Ciri cirinya deh"

"Itu loh, rambutnya agak panjang, biasanya sama cewe yang pakek bandana," Gian menjelaskan.

"Ohhh itu," sepertinya Abyan sudah paham siapa orang yang dimaksud.

"Emang sih, gue akuin dia cantik."
Gian memanggut dengan jawaban Abyan, sedangkan Rafka masih kebingungan, tidak tau siapa orang yang dimaksud.

****

"Cieee Fani merhatiin Gian," Zefa mengucap diakhiri dengan tawa.

"Ihh apaan sih, orang gue merhatiin tukang bakso, " Fani menjawab dengan ketus.

"Iya kita liat kok, tapi kalo di lihat lihat lo suka sama Gian," Natta mencoba menjahili Fani.

"Doyan banget lo berdua ngefitnah gue"

"Secara ga sadar, lo tu sering liatin Gian, dan saat Gian natap lo balik, lo selalu buang muka"

"Ya lo pikir, ketika lo natap seseorang trus orang itu natap lo balik, lo bakal buang muka kan?" Fani menyangkal perkataan Natta.

"Engga," Natta menjawab dengan senyum dengan tangan yang menopang dagu. Zefa diam menyimak, sepertinya akan ada perang setelah ini.

"Tau ah, cape gue ngomong sama lo!!"
Dilihat dari wajahnya sudah merah menahan marah, Fani gampang sekali marah, dan hanya batagor yang bisa mengembalikan moodnya.

"Bakso dan batagornya neng"

Setelah menunggu dengan diisi perdebatan, pesanan mereka datang. Dua mangkok bakso dan satu mangkok batagor, terlihat biasa saja, tapi akan terasa menggiurkan ketika sedang kelaparan.

"Eh abis ini jamnya siapa?" Natta bertanya setelah memasuknya baksonya kedalam mulut.

"Pak Amir" Ucap Zefa dan Fani bersamaan.

"Mampus," Mata Natta mendelik, "Gue ga bawa paket matematika". Perlu kalian ketahui Pak Amir adalah guru matematika, beliau termasuk guru killer dan terkenal dengan kedisiplinannya.

"Aduuhh, gimana ni. Ze, Fan tolongin guee." Seperti roda berputar, jika tadi Natta senang karna menggoda Fani,sekarang khawatir dengan nasibnya nanti.

"Kelas mana yang ada jadwal matematika hari ini?"

"Ga ada, cuma kelas kita doang yang ada matematika hari ini," walaupun Fani sedang marah dengan Natta, dia tetap peduli dengan temannya.

"Terima nasib Nat," Zefa menjawab dengan santai, berbeda dengan Natta yang sudah mengelurkan keringat dingin.

****

Hai semuanya, selamat datang di cerita pertama aku, semoga kalian suka.

Jangan lupa tombol bintang sama komentarnya ya.

Terimakasih.

RafkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang