3. As Seen on TV

2.9K 649 22
                                    

Wanda

"Gue mau jadi jurnalis TV. Seru kali ya, gue liputan di daerah konflik sementara lo juga di sana. Gabung sama MSF."

Ucapan Reza itu sudah berumur lebih dari sepuluh tahun. Saat itu, aku sedang menonton TV bareng Reza di rumahnya. Rumah Reza selalu menjadi pelarian jika aku muak berada di rumah. Kalau boleh memilih, aku ingin selamanya tinggal di sana.

Bukan hanya Reza, aku juga merindukan keluarganya setelah pindah ke Makassar sewaktu SMA. Mereka sangat baik kepadaku, bahkan di saat terakhir pun mereka masih menjagaku. Om Nizar membantuku saat kedua orangtuaku meninggal. Beliau bahkan menawarkan agar aku tinggal di rumahnya, setidaknya sampai lulus SMA.

Namun aku memilih ikut Tante Linda ke Makassar. Aku tidak mungkin tetap berada di rumah itu, bahkan mendekat saja aku tidak sudi. Ketika Tante Linda mengajak untuk langsung berangkat malam itu juga, padahal belum sampai 24 jam sejak orangtuaku meninggal, aku setuju.

Aku meninggalkan Reza, satu-satunya hal terbaik yang pernah hadir di hidupku. Aku tidak bisa melupakannya. Dia sahabat baikku, sejak kecil kami selalu bersama. Perasaanku kepada Reza berubah ketika duduk di bangku SMA. Aku menyukai sahabatku sendiri.

Perasaanku bersambut. Sayang, baru satu hari berpacaran dengan Reza, aku dihadapkan pada kenyataan pahit orangtuaku meninggal dengan tragis dan aku harus pindah ke Makassar. Tidak ada kata putus. Namun jarak yang membuat hubungan itu berakhir begitu saja.

Aku mungkin bisa menghilang dari hidupnya, tapi tidak begitu halnya dengan Reza. Sangat mudah mengetahui di mana Reza. Aku bisa melihatnya setiap hari di acara berita pagi. Ketika menemukan dirinya di Friendster, aku harus menahan diri untuk tidak mengajaknya berteman. Mengingat Reza membuatku kembali teringat kenangan pahit yang berusaha untuk kulupakan.

"Hi, saya Shenina. Are you ready?"

Aku menyambut uluran tangan Shenina dan mengangguk. Selama ini aku sudah terlatih untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya dan terlihat baik-baik saja. Fake it until you make it. Bagi sebagian orang, aku kelewat tenang. Sore ini, aku kembali berpura-pura meski sebenarnya aku meragukan keputusan untuk menerima tawaran Shenina. Sudah dua kali aku menolak untuk diintenview tapi dia begitu gigih. Dia terus membujukku, sehingga aku tidak punya hati untuk menolak.

Masalahnya, besar kemungkinan untuk bisa bertemu Reza jika datang ke studio televisi untuk taping acara Shenina. Jauh di dalam hati, aku merindukan Reza dan keluarganya. Namun aku tidak ingin kembali ke masa lalu dengan bertemu Reza.

Aku meneliti Shenina. Dia tampak jauh lebih anggun dibanding saat melihatnya di televisi. Aku sering menonton berita yang dibawakannya bersama Reza. Di saat aku sangat memikirkan Reza, aku pernah mencarinya di Facebook. Sulit untuk mencari jejaknya di dunia maya. Namun lain halnya dengan Shenina. Dia cukup terbuka sehingga aku bisa mengecek profilnya. Dari situ aku tahu dia pernah berpacaran dengan Reza. Aku tidak tahu apakah seharusnya aku lega atau justru terusik. Aku hanya sehari menjadi pacar Reza, sekalipun tidak ada kata putus, hubungan itu tetap saja sudah berakhir. Mungkin Shenina bukan satu-satunya perempuan di hidup Reza. Hal itu membuatku cemburu karena sadar, aku bukan lagi satu-satunya perempuan yang dicintai Reza.

Shenina sudah memberikan daftar pertanyaan, tapi dia juga berimprovisasi. Meski taping, aku dilanda khawatir akan tergagap dan memberikan jawaban yang salah.

"Kenapa Medecins Sans Frontiere?"

Aku tersenyum ke arah kamera. "Waktu kecil, saya tersentuh ketika menonton pemberitaan seputar Perang Kosovo. Terlebih ketika melihat korban anak-anak. Saya ingin melakukan sesuatu untuk membantu. Kebetulan, saya memang ingin menjadi dokter. Teman baik saya bercerita tentang seorang dokter yang bergabung dengan MSF dan bertugas di Perang Kosovo. Setelah kuliah, saya riset tentang MSF dan semakin banyak info yang saya temukan, saya semakin yakin bahwa MSF adalah jalan yang saya inginkan."

The War of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang