Reza
Sepanjang mengenalnya, aku tidak pernah bisa membantah kata-kata Wanda. Dia bisa menyihir siapa pun untuk mengikuti apa pun yang dia perintahkan. Waktu kecil, Wanda menjadi ketua geng anak-anak di lingkungan tempat tinggalku. Wanda si penguasa, dan di antara semua anak-anak yang tunduk di depan Wanda, aku salah satunya. Aku tidak pernah bisa menolak permintaan Wanda. Apa pun akan kulakukan. Termasuk hal konyol seperti mengantre membelikan minuman saat pulang sekolah karena Wanda enggak mau berpanas-panasan.
Hal itulah yang membuatku menjadi orang kepercayaan Wanda. Aku menjadi sahabat baiknya. Wanda pernah bilang, cuma aku satu-satunya orang yang bisa dipercaya. Bertahun-tahun kulewati dengan menjadi sahabatnya meski diam-diam menyukainya.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menembaknya. Berbekal mobil pinjaman Papa, aku mengajaknya jalan-jalan keliling Jakarta. Di benakku bermain skenario untuk menembak Wanda, tapi gugup membuatku jadi bertingkah aneh. Semua scknario yang sudah dipikirkan matang-matang mendadak buyar dan aku cuma bisa gigit jari di depan Wanda.
Untung saja Wanda mau menerimaku jadi pacarnya.
Sore itu, aku menjadi orang paling bahagia sedunia.
Sayang, kebahagiaan itu hanya bertahan sehari. Karena hanya sehari pula waktu yang kuhabiskan dengan menjadi pacar Wanda, sebelum dia meninggalkanku dan pindah ke Makassar, sehari setelah menerimaku menjadi pacarnya.
Bertahun kemudian, aku kembali bertemu Wanda. Kali ini, aku seperti berhadapan dengan orang asing, bukan sahabat baik yang sudah lama terpisah.
Berbeda dengan dulu, kali ini aku tidak mengikuti perkataan Wanda. Dia menyuruhku berhenti menemuinya, dan yang kulakukan malah sebaliknya.
Aku terus datang ke rumah sakit dengan harapan bisa meluluhkan hati Wanda yang telanjur membeku. Ada banyak hal yang ingin kuketahui tentang dia, termasuk kejadian dua belas tahun lalu dan apa yang membuatnya menutup diri seperti ini.
Aku bersandar ke mobil yang terparkir di depan IGD, menunggu Wanda keluar dari pintu geser otomatis begitu shift selesai. Hampir satu jam aku di sini, terpanggang matahari, dan aku tidak peduli.
Kalau Wanda pikir bisa menghindariku, dia salah. Menjadi jurnalis melatihku menghadapi beragam jenis manusia. Aku biasa ditolak narasumber yang tidak mau diwawancara, dan penolakan demi penolakan membuatku semkain gigih sampai mendapatkan kutipan yang kubutuhkan.
Anggap saja Wanda adalah narasumber, dan aku tidak akan berhenti mengejarnya sampai dia mau bicara denganku. Yang bisa kulakukan hanyalah bersabar dan menunggu sampai Wanda kembali memercayaiku.
Pintu geser otomatis terbuka. Aku menegakkan tubuh saat Wanda muncul di sana. Dia tengah mengaduk tas dan tidak menyadari keberadaanku.
"Wanda," panggilku.
Langkahnya berhenti di tengah parkiran. Wanda mendongak dan bersitatap denganku. Wajahnya tampak datar, membuatku kian frustrasi karena tidak bisa menebak apa yang sebenarnya dirasakannya.
Aku memutus jarak dengannya. "Jangan usir aku lagi. Please?" Aku mendahuluinya bicara.
Wanda menatapku datar sebelum tertawa kecil. "Kamu masih aja keras kepala."
Aku ikut tertawa. "Aku sudah terlatih sebagai jurnalis yang sering ditolak narasumber. Lagian, kamu kenal aku, Nda."
Wajahnya kembali datar dan Wanda membuang muka untuk tidak membalas tatapanku. "Dulu, Reza. Aku enggak kenal kamu yang sekarang."
"I am the same old Reza. Your best friend." Aku meneguk ludah. "Your boyfriend."
Wanda tidak kuasa menahan tawanya. "Jangan bilang kamu masih menganggapku sebagai pacar. Itu udah lama banget, Za."
KAMU SEDANG MEMBACA
The War of Love
RomanceReza Malik-Hamzah Sebagai seorang reporter, harus keluar masuk hutan dan diancam nyawa, atau maju ke medan perang demi pemberitaan terkini bukan hal berat. Yang paling berat? Meyakinkan Wanda kalau jatuh cinta itu wajar dan enggak selamanya cinta it...