Sang angkasa tidak pernah bicara untuk menjelaskan mengapa langit malam harus gelap. Sama halnya seperti manusia, yang tidak akan bisa terus mengeja untuk memberitahu mengapa mereka selalu terluka.
Raka sejak tadi masih duduk diam di balkon. Udara malam terasa begitu dingin saat menyentuh permukaan tubuh. Namun, Raka nyatanya masih enggan untuk beranjak dari sana, seakan-akan suasana malam serta terpaan angin adalah hal yang menenangkan.
"Ka, udah hampir tiga jam kita duduk di sini, nggak niat buat masuk ke dalam aja?" tanya Deni sambil menggaruk lengan dan lehernya yang sejak tadi terus digigiti oleh nyamuk.
"Yang ngajak kalian duduk di luar juga siapa? Kalo kalian mau masuk ke dalam ya udah masuk aja," jawab Raka dengan tatapan masih menerawang lurus.
"Eleh, dibilangin baik-baik malah nyolot!" ketus Deni.
"Den, kalo Lo mau masuk duluan ya udah masuk aja, biar gue aja yang nemanin dia di sini," ujar Daniel ketika Raka dan Deni berhenti berbicara.
Deni melirik ke arah Daniel yang saat ini tersenyum hangat ke arahnya. Dalam hati Deni ingin sekali beranjak dari sana dan tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya, tapi ia tidak mau dikatakan pengecut sebab membiarkan kedua sahabatnya itu duduk di luar, meski itu keinginan mereka.
"Nggak ah, gue bareng kalian aja masuknya," jawab Deni sambil menggelengkan kepalanya.
"Lah, tadi katanya mau masuk?" heran Daniel.
"Nggak jadi," jawab Deni.
Daniel hanya menghela napas saat melihat sikap Deni yang tadinya merengek ingin masuk ke dalam kini malah berubah tidak jadi. Raka masih setia pada posisinya, sejak mereka sampai tadi Raka masih enggan berbicara mengenai apa yang dia rasakan. Biasanya anak itu akan heboh atau bertengkar dengan hal-hal konyol saat bersama kedua sahabatnya. Tapi, kini sosok itu hanya diam dengan tatapan lurus yang tersirat akan kerapuhan serta kesedihan.
"Ka, gue nggak tahu apa yang Lo rasain saat ini, tapi kalo emang itu buat diri Lo merasakan sesak, Lo bisa berbagi cerita sama kita," kata Daniel sambil menepuk-nepuk bahu Raka, bermaksud memberikan support.
"Iya nih, kalo ada apa-apa Lo cerita sama kita, Ka! Kalo Lo diam kek gitu gimana kita mau memahami apa yang Lo rasain, entar Lo jadi stres lagi gara-gara diam kek gitu," cerocos Deni.
"Ish, Den! Nggak boleh ngomong gitu!" tegur Daniel sambil menjitak kepala Deni.
"Aww, sakit bego!" protes Deni tidak terima.
"Makannya omongan Lo itu disaring dulu!"
"Iya-iya," kata Deni sambil manggut-manggut.
Daniel kembali melirik ke arah Raka yang nampaknya tidak sama sekali terusik dengan perdebatan kecil di antara kedua sahabatnya. Biasanya Raka akan mengumpati mereka jika saja ribut di hadapannya. Tapi, jangankan mengumpat seperti yang dilakukan, bersuara saja ia masih enggan.
"Lo bisa kok ceritain semua yang Lo rasain sama kita, Ka. Kita berdua akan senang hati jadi pendengar Lo," kata Daniel.
"Gue tahu ada sesuatu yang tengah Lo tutupin. Tapi, kalo hal itu bikin Lo nggak nyaman nggak papa buat Lo bercerita," lanjutnya.
Raka menunduk. Helaan napas terdengar berat. Raka mengusap wajahnya brutal dengan kedua tangannya, tatapannya langsung tertuju ke arah kedua sahabatnya.
"Boleh nggak sih kalo kita merasakan kecewa?" tanya Raka kepada kedua sahabatnya.
Daniel dan Deni saling pandang satu sama lain setelah mendengar pertanyaan dari Raka barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKA SAPUTRA
Novela Juvenil"Semenjak hari itu, aku enggan menunggu untuk mereka pulang menemuiku. Karena aku sadar, bahwa seseorang yang selalu kita nantikan belum tentu benar-benar akan datang." Raka Saputra tersenyum. Menatap sendu bingkai foto keluarganya yang terpajang ra...