Kana

147 36 43
                                    


"Cewe goblok!"

Kana memejam, merasakan tumpukan kertas itu menghantam wajahnya.

Tatapannya merosot pada kertas-kertas yang berisikan tugas yang ia kerjakan semalaman, yang kini berceceran bagai sampah dilantai.

"Maaf," ucapnya pelan. Lalu merendahkan tubuhnya berjongkok di hadapan lelaki yang kini tengah berkacak pinggang sambil menatap pongah kearahnya.

Tangannya meraih lembar demi lembar kertas-kertas itu tanpa berniat membalas hinaan laki-laki tersebut.

Lelaki itu menunduk memperhatikan gerak-gerik Kana. 

"Tolol!" makinya, lalu melangkah pergi melewati Kana begitu saja sembari menginjak sisa tugas yang masih berserakan.

Kana sekilas melirik sinis punggung lebar yang mulai menjauh itu dari balik kacamatanya.

Bibirnya terkatup rapat, wajah tanpa ekspresi itu menunjukkan bahwa ia sama sekali kebal dengan perlakuan Rio, laki-laki yang tadi memakinya habis-habisan di lorong sekolah.

Kana kembali menegapkan tubuh lalu berjalan dengan wajah tenang melewati para siswa yang kini tengah menatapnya jijik. Di balik ekspresinya itu, tidak ada yang tahu apa yang Kana rasakan setelah hal memalukan yang baru saja terjadi.

Sedih?

Takut?

Marah?

Malu?

Atau ... rasa benci? Entahlah, Tidak ada yang tahu guncangan seperti apa yang terjadi di balik tenangnya wajah tersebut.

Karena Kana tidak pernah menunjukannya.

Kana ... gadis culun yang tidak pernah marah ketika ia dikerjai habis-habisan oleh teman-teman sekelasnya ....

Gadis misterius yang tidak pernah menunjukkan kesedihannya ketika ia dikucilkan satu sekolah ....

Tenang, datar dan ... senyap. Bagai laut berarus tanpa gelombang, begitulah mereka memandangnya.

Ia bahkan tidak pernah menunjukkan kebencian terhadap siapa pun yang menyakiti fisik dan mentalnya setiap hari.

Apa karena takut? Tidak! bahkan Kana tidak pernah menunjukan raut ketakutan pada Rio, si cowok bengis yang terkenal sadis di sekolahnya.

Rionaldo Prahasa, lelaki yang sangat berperan besar dalam kisah suram masa putih abunya.

Masa-masa yang harusnya memberi pelangi untuk kenangan masa tuanya kelak, nyatanya hanya memberi coretan hitam yang begitu kelam.

Kana berjalan masuk ke dalam kelasnya dengan pandangan kosong. Ia mengatupkan bibir, menutup rapat-rapat bibir pucat tersebut.

Bungkam, ya .... itu adalah satu-satunya pilihan ketika hinaan demi hinaan dari mereka menerobos pendengarannya, meremas kuat bagian terdalam relung hatinya.

Tatapan meremehkan yang terus menyorotinya tak menggentarkan Kana untuk terus melangkah menuju tujuannya, bangku kosong paling belakang.

Tempat terpencil yang khusus mereka sediakan untuk Kana, si anak beasiswa.

Kokoh tak pernah runtuh, begitu kuat Kana menahan semua guncangan dalam hidupnya.

Tak pernah menyerah, meski Kana harus merasakan pahitnya perundungan yang dilakukan Rio dan teman-temannya.

Kana menatap keluar jendela dengan tangan yang menyangga dagunya.

Terlalu asik memperhatikan para siswa yang berlalu lalang di balik kaca transparan itu, membuat Kana tidak menyadari suara teriakan seorang gadis yang begitu melengking memekakan telinga.

who are you KanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang