03. Serangkai Kata Yang Tak Diungkap

5 4 0
                                    

Happy reading

.

.

.

Cahaya matahari pagi terpancar. Pagi hari disambut dengan hangatnya mentari.

Mahenraja terduduk mengumpulkan nyawanya yang tertinggal di mimpi. Rambutnya berantakan. Namun, dia tetap terlihat menawan dengan keadaan apapun. Bahkan dengan keadaannya yang berantakan seperti sekarang.

Mahenraja ingat jika dia punya kelas pagi. Ia segera berdiri, berjalan menuju cermin yang berada di dekat pintu kamarnya. Wajahnya terlihat pucat, kelelahan.

Wajar saja kalau dia kelelahan. Jadwal tidurnya berantakan. Tak tentu. Tetapi semalam ia berhasil tidur lebih awal karena badannya yang tak berdaya sedikitpun.

Menghela napas berat, ia berusaha menguatkan dirinya sendiri untuk sekadar melangkahkan kaki.

Mahenraja berjalan mendekati jendela, lalu membuka tirai yang menggantung menutupi indahnya dunia luar.

Matanya menyipit, sesekali mengerjap karena banyaknya sinar yang ia tangkap dari luar, sedangkan ia berada di dalam ruang kamar yang gelap.

Pandangannya beralih. Mahenraja menatap lekat biola yang ia pajang di atas meja belajarnya.

Ingatan masa kecilnya berputar kembali. Masa-masa di mana dia bisa memeluk ibundanya. Masa-masa saat ia bisa bermain musik di hadapan sang bunda.

Hidup memang tentang pertemuan dan kehilangan. Kehilangan memang menyakitkan serta membekas, membuat sebuah rindu yang tak kunjung sembuh jika bukan dengan pertemuan. Tetapi rasa rindu pun merupakan bagian dari manusia.

"Bunda, aku rindu."

°•°•°

Najiwa berjalan, menghentak-hentakkan kakinya sembari menggerutu; meratapi nasib buruknya.

Tadi, dia baru saja mendapat kejadian tak mengenakkan atau lebih tepatnya kejadian yang mengesalkan.

Saat Najiwa menjaga toko bunga tadi, ada salah satu pelanggan yang membeli bunga tetapi tak ingin membayar bunga yang dibeli. Pelanggan itu bersikukuh untuk mengambil bunga tanpa membayar.

Sangat menggeramkan bukan?

Najiwa akhirnya memilih untuk mengusir pelanggan itu. Namun, dirinya malah dimarahi oleh pemilik toko bunga.

Yang membuatnya kesal adalah, gajinya untuk hari ini dipotong.

Sungguh, gadis itu ingin berkata kasar.

Sekarang, ia harus pergi ke cafe.

Lelah menghentak-hentakkan kaki, Najiwa berhenti sejenak, lalu berjalan seperti biasa.

Panas. Siang ini adalah siang yang panas. Matahari sedang terik-teriknya. Udara yang lewat pun ikut terasa panas. Perempuan yang berada di bawah teriknya sinar matahari kini berteduh di bawah halte bus. Istirahat sebentar sebelum ia kembali bekerja. Cafe yang dituju perempuan itu tak jauh dari tempatnya berteduh. Teta—

Bukk

"Ahh, maaf, saya sedang terburu-buru."

Seseorang baru saja menabrak Najiwa. Beberapa Buku yang orang itu bawa terjatuh seketika di atas trotoar. Najiwa ingin membantu. Namun, dirinya malah dikagetkan dengan rupa orang itu.

Itu adalah pemuda yang ia temui dua hari lalu. Ya, itu adalah Mahenraja. Mahen.

Najiwa tak bisa bereaksi apapun sekarang. Yang ia lakukan hanyalah termenung sembari melirik Mahenraja yang sedang mengambil buku-bukunya.

Sebenarnya, ada beberapa kata yang ingin ia sampaikan kepada pria itu. Hanya saja, lidahnya kelu untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.

Usai Mahenraja merapikan bukunya, Mahenraja langsung berlari melewati Najiwa. Anehnya, jantung Najiwa malah berdebar lebih kencang saat lelaki itu melewati tubuhnya.

Serangkai kata yang baru saja ia buat mungkin tak akan pernah terlontar.

°•°•°

"Halo, kawan. Akhirnya kau sampai juga."

Suara seseorang menyapa gendang telinga Mahenraja begitu ia sampai di tujuannya.

Mahenraja meletakkan buku-buku yang ia bawa ke atas meja milik temannya, Haskara.

"Lama sekali, ada apa?" tanya Haskara membuka obrolan.

"Saya mencari buku ini di beberapa toko. Buku ini susah untuk dicari," jawab Mahenraja kaku.

"Kaku sekali bahasamu. Sesekali gunakanlah 'Aku-Kamu'."

Mahenraja seketika tergelak mendengar nasihat sahabat laki-lakinya yang dari dulu hingga sekarang masih sama, sama-sama menyuruh Mahenraja untuk tidak terlalu kaku. Padahal Mahenraja sudah terbiasa untuk berbicara formal kepada siapapun.

Haskara sebenarnya juga sudah terbiasa mendengar mulut Mahenraja mengeluarkan bahasa formal seperti itu. Nasihat tadi hanya untuk mencairkan suasana supaya tak terlalu tegang.

"Memang buku apa yang kamu beli? Aku hanya menyuruhmu untuk membeli camilan," tanya Haskara kembali. Sudah tak heran lagi dengan Mahenraja yang selalu membeli banyak buku ketika bahan bacaannya yang berada di rumah telah habis dibaca.

Kali ini, Mahenraja membeli enam buku sekaligus. Ada novel, jurnal, dan sebagainya. Selain suka bermain biola, ia juga suka membaca buku. Di kamarnya terdapat ratusan buku yang tersusun di rak buku.

Buku dari berbagai sumber dan referensi bisa dibeli oleh Mahenraja jika dia mau.

Tak jarang Haskara meminjam buku-buku Mahenraja yang jumlahnya tak dihitung lagi. Haskara juga suka membaca buku, tetapi ia tak sekaya Mahenraja yang bisa membeli banyak buku. Jika tak meminjam milik Mahenraja, Haskara biasanya meminjam buku di perpustakaan kota.

Selera genre buku mereka hampir sama. Bahkan mereka memiliki selera musik dan makanan yang sama. Mungkin, itu yang membuat mereka akrab. Selain itu, mereka juga masih satu jurusan.

Haskara memandang temannya yang sedang menyalakan video game milik Haskara. Sejauh ia berteman dengan Mahenraja, ia tak pernah melihat Mahenraja tampak mengeluh di hadapannya. Padahal jika dilihat-lihat, hidup Mahenraja tak semenyenangkan yang dilihat orang-orang.

"Mahen, aku hanya bisa berharap kamu bahagia. Maaf, aku tak bisa berbuat apapun. Jika kamu lelah dan butuh teman cerita, datanglah padaku. Aku akan menjadi pendengar yang baik. Oh, iya, kalau sakit jangan dipendam, kalau ingin menangis jangan ditahan, laki-laki memang terlihat lemah jika sedang menangis, tetapi laki-laki juga manusia. Bahagia lah selalu, kawan," batin Haskara menatap satu-satunya sahabat yang ia miliki.

To be continued...

***

"Serangkai dua rangkai kalimat telah aku buat untuk dilontarkan dengan mulut kecilku ini. Namun, kata-kata itu tak akan pernah aku keluarkan. Seolah-olah ada yang menahan lidahku untuk digerakkan saat itu juga." - Najiwa

" - Najiwa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(Un)true Felicity || Heeseung (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang