Chapter 2

1 0 0
                                    

Nayara terduduk di depan loker tempat kerjanya. Mengingat kejadian tadi membuat Nayara memukul kepalanya. Ia tidak menyangka akan melakukan hal bodoh di sekolahnya. Sebenarnya mengapa Nayara dituduh oleh hal-hal yang tidak ia lakukan oleh Ghea? Kenapa Ghea begitu dendam padanya?

Nayara tenggelam dalam pikirannya sendiri sampai-sampai ia tidak sadar bahwa Sena–rekan kerjanya–sudah memanggilnya sedari tadi. Sena memutuskan untuk mencubit lengan Nayara agar ia tidak melamun lagi. Nayara pun akhirnya kembali pada kesadarannya sambil mengusap-usap lengan yang dicubit Sena.

"Nay, lo udah dicariin sama bos. Malah ngelamun di sini," ujar Sena dengan nada ketus. Nayara pun tidak mengeluarkan sepatah kata dan hanya menunduk lalu berjalan ke ruangan bosnya.

"Makin aneh tu anak. Ngelamun mulu entar kalo jiwanya diambil babi baru tau."

———

"Aduhhh kenapa sih gue bodo bangett!!"

Rasanya Nayara ingin berteriak sekencang mungkin. Namun, di sekeliling danau itu tidak sepi meski hanya ada beberapa orang. Selepas dari kerja part timenya, Nayara memang suka berdiam diri di pinggir danau. Sambil ditemani minuman bersoda, ia melepas rasa frustasinya.

"Nayara, sejelek-jeleknya kelakuan lo, lo harusnya ga bertingkah kayak gitu."

Nayara berdialog dengan dirinya sendiri untuk mengurangi kestresannya. Sambil melempar batu ke arah danau, ia terus mengingat adegan Ara menghentikannya. Memang ia beruntung karena Ara menghalanginya. Jika tidak, bisa-bisa ia masuk penjara.

Naya melirik jam di handphonenya. Sudah pukul 21.00. Ia harus segera pulang ke rumah dan tidur agar besok ia tidak terlambat ke sekolah. Langkah kakinya sangat pelan karena enggan pulang ke rumah. Ia lebih suka kedamaian yang ada di tepi danau dibanding rumah yang menusuk. Meskipun jalan menuju danau memutar dari arah pulangnya, namun ia merasa senang untuk pergi ke danau.

Saat ini, ia sudah ada di depan pintu berwarna coklat. Ia ragu-ragu untuk membuka pintu rumah itu. Benar saja, ketika ia membuka pintu, aroma alkohol langsung menyeruak. Ibunya—Sera— saat ini terbaring di sofa. Ia pun perlahan masuk menuju kamarnya.

"Habis darimana kamu?"

Deg! Nayara merasakan jantungnya berdetak semakin pelan dan menekan. Ia melirik arah sofa dan melihat Sera sudah bangun. Sorot mata Sera terlihat tajam dengan rambut coklat sebahunya yang berantakan membuat Nayara merinding. Ia kemudian membalikkan badannya untuk menghadap ke arah ibunya.

"H-habis dari—"

Perkataannya terpotong ketika ibunya memecahkan botol di tangannya. Sorot mata Nayara terlihat lebih jelas dan menunjukkan sosok kejamnya.

"Muka si bajingan ini! Kenapa.. aku yang melahirkannya tapi mukamu terlihat seperti si bajingan itu?!"

Ibunya memegang kepala Nayara dengan keras. Nayara hanya pasrah sebab kejadian ini memang sudah biasa, namun hatinya yang belum terbiasa. Rasanya, Nayara ingin memeluk ibunya.

"Ma-maaf.."

Hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Nayara. Ia ingin menangis, namun matanya sudah kering. Ia juga sudah lelah untuk melawan atau kabur. Saat ini, ia hanya ingin beristirahat.

"Pergi!"

Sera berteriak sambil mendorong anak satu-satunya ke lantai. Nayara pun dengan cepat pergi ke kamarnya dan mengunci pintu. Ketika ia memegang dadanya, detak jantungnya masih belum normal. Emosi yang dikeluarkan ibunya tadi cukup membuatnya takut. Tanpa bersih-bersih dan hanya mengganti baju, ia pun tertidur.

——

"Wah.. mata pelajaran hari ini bu Rani.."

"Serius? Wah, gue lupa ngerjain fisika.."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PersonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang