17. Si Antagonis.

1K 62 22
                                    

Bagi seseorang yang tengah dilanda rasa putus asa, salah satu cara untuk mengakhiri segala penderitaan yang dialami adalah dengan cara mengakhiri hidup. Mungkin itu juga yang ada difikiran Juwita saat tanpa fikir panjang mengambil benda tajam yang ada diujung kakinya untuk ia goreskan pada lehernya.

Menurutnya, ketimbang memutus urat nadi yang ada dipergelangan tangan, memutus yang ada dileher dirasa lebih efektif.

Jujur saja Juwita takut, membayangkan benda tajam itu menggores kulitnya yang pucat serta darah yang mengucur dari sana seketika membuat kepalanya pening. Tapi tak apa, toh setelah itu ia tak akan merasakan apa-apa lagi 'kan? Batinnya.

Mati adalah pilihan terbaik fikirnya dari pada harus mengulang kembali penderitaan yang ia alami beberapa tahun silam.

Juwita memejamkan mata, kepingan-kepingan kenangan bersama Ethan yang melintas dikepalanya tanpa sadar membuat sebuah senyum melengkung dari bibirnya. Terekam jelas dimemori, bagaimana kehadiran laki-laki itu selama setahun terakhir begitu banyak mengubah hidupnya.

Bersama Ethan hidup Juwi yang suram berubah menjadi lebih berwarna. Bersama Ethan pula Juwita bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai dan dihargai.

Setetes air mata mengalir dari sela kelopak matanya yang tertutup. Membayangkan bagaimana kecewanya lelaki itu atas keputusannya ini tiba-tiba saja membuat hatinya nelangsa. Tapi sungguh, Juwita tak punya pilihan lain.

"Selamat tinggal, Ethan"

Juwita sudah sangat siap bila mana benda bening nan tajam itu menggores lehernya. Namun belum sempat hal itu terjadi, pecahan kaca itu sudah kembali terlempar kelantai.

"UDAH GILA KAMU YA!"

Ethan datang tepat ketika jemari Juwita bergerak menggores permukaan lehernya. Juwita sampai terhuyung akibat tepisan kencang yang dilakukan Ethan pada lengannya.

Masih berusaha menetralkan deru nafasnya yang tersengal, jantungnya hampir melompat keluar ketika melihat tindakan nekat Juwita. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada wanita itu jika ia terlambat sepersekian detik saja.

Ethan melirik pada kerah kemeja Juwita yang terdapat noda cairan berwarna merah pekat. Dan Juwita pun bisa merasakan cairan hangat itu menyentuh kulitnya. Pandangannya memburam, tubuhnya limbung nyaris ambruk jika Ethan tak sigap menangkap.

Suara gaduh dari dari lantai atas mau tak mau mengundang rasa penasaran karyawan lain. Gemuruh langkah menaiki tangga membuat Satya yang sedari tadi termangu didepan pintu beranjak dengan tergesa dari tempatnya berada. Berusaha mencegah siapa saja yang berniat naik dan berakhir membuat situasi semakin runyam.

Beruntung karena divisi marketing sedang survei lokasi bersama nasabah, jika tidak bisa dipastikan pekerjaan Satya dalam mengurusi rekan kerjanya yang kepo akan bertambah.

Serius, setelah ini Satya akan minta promosi naik jabatan pada Ethan untuk membalas jasa-jasanya selama ini.

"Suara apaan tuh diatas? Kok kayak ada yang berantem gue denger" Sandy melongok kekiri kekanan karena pandangannya terhalang oleh tubuh Satya.

"Ngapain sih lo Sat, minggir gue mau lewat" kesal Sandy karena pemuda jangkung itu tak juga beranjak.

"Tau nih, ngapain sih ngalangin jalan" sambung Reisya.

"Kalo kata gue sih mending kalian turun lagi. Ini perintah dari pak Ethan langsung, ga boleh ada yang naik sampai satu jam kedepan" ujar Satya sambil sesekali menoleh kebelakang.

Mau tak mau Sandy ikut menatap kearah pandang Satya. Dari celah tubuh pemuda itu, Seno bisa melihat sosok Ethan sedang duduk bersimpuh dengan seorang wanita didalam dekapannya. Dilihat dari rambutnya yang menjuntai dari sebelah lengan Ethan, bisa Seno pastikan wanita itu adalah Juwita.

SECRET AFFAIR | HEESEUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang