Iyan The Ice Bear

5 0 0
                                    

Malam yang sunyi hanya diiringi suara lantunan musik lof-fi yang terus menggema dibalik ruangan, walaupun seisi alam semesta sedang bermandi malam, jendela yang berulang kali mengetuk dan hawa keberadaan yang membekukan kaki. Remaja dengan lensa mengukir kata demi kata diatas kertas putih yang mulai menjadi hitam.

Pikirannya kosong dan jiwanya hampa, hanya sesal dan meratapi nasib hidup yang tak kunjung berubah, hingga sebuah layar menyala sempat melenyapkan suara lantunan musik sesaat, sembari notifikasi berdenting sekali, gapaian dengan tatapan kosong yang menggapai.

“Terimakasih untuk hari ini, maaf kalau di kelas sempat menjadi kericuhan.” kata yang terpampang dibalik banyaknya obrolan.

“hah….,” tarikan nafas yang ini mengisi segala benak dikepalanya.

“Andai saja, andai saja…” keluhnya sembari menjatuhkan kepala yang tak bertenaga lagi di meja yang selalu diam menjadi saksi bisu.

****

“Tok… Tok…” suara pintu yang menggema dikala fajar masih belum menunjukkan kesombongan cahayanya.

“Iyan, Iyan, bangun ayo  sekolah…” sebuah layak bidadari yang menyentuh jamur dikepala anaknya, sanggup membuat sebuah negoisasi timbul.

“Bentar lagi ma..” balas sang buah hati yang kini akan beranjak SMA.

“Loh pa? kok disini, waduh bisa bahaya ini..” bidadari yang setengah terkejut dengan kedatangan jenderal tertinggi pemilik rumah.

“Bangun o yan,” kata halus dari pria tua dibalik pintu yang masih terkunci rapat.

Entah apa yang terjadi, sebuah sinyal yang kuat membangkitkan tiap saraf yang masih letih dan jantung yang kembali berdetak kencang.

Loncatan kejut dari remaja yang masih suntuk itu sembari melihat ke arah jam yang menunjukkan ketidakadilan pada dunia yang masih tidur.

“Bahaya suara Illahi kembali terdengar, padahal masih jam 4 pagi, oh Tuhan, aku harus cepat,” kata dirinya sambil membereskan kamar layak dunia akan kiamat sebentar lagi.

Seketika pembatas antara anak dan orang tua itu terbuka, pemandangan yang kini terlintas hanyalah sebuah senyuman dari sang bunda dan lipatan tangan jenderal.

“Pagi, ini Iyan mau mandi,” remaja yang masih setengah sadar berjalan pelan didepan mata yang terus menatapi hingga tempat tujuan.

Suara kran air yang dingin terjun bebas dari atas kepala hingga ujung badan yang menjadi penopang, dibalik tenangnya dan ritual membangkitkan nyawa yang sebagian hilang, “Iyan, papa tunggu 5 menit lagi,” titah komando layak alarm tanda bahaya.

Iyan yang kedinginan itu hanya mengenakan handuk dan berlari dengan terjatuh-jatuh menyusuri lorong.

****

Hari pertama sekolah ketika wajah teman baru dan senior yang belum pernah ku kenali, mungkin adalah kesenangan semata anak SMA layak anak SMP yang baru saja naik kelas.

Ini aku Iyan siswa baru dengan botak pelontos dan badan gemuk layak … hmm apa ya? ya bayangkan sendirilah, supaya kalian bisa body shamming ke aku dikitlah, oke lanjut nih, lensa dimata alias mata empat, y-yah adalah kesan pintar tersendiri, padahal ya memang pintar, hahahah

Btw, ini narasi aku yang aku buat rada aneh kah? ya, mungkin saja, baiklah itu sedikit perkenalanku, thor, thor yu-huu, narasi balik ke lu  ye, heheh, mau turun nih…

****

Sebuah sekolah yang tidak elite dan bukan lah swasta terbaik, namun hanya sebatas sekolah yang desa kata sebagian orang, membuat para siswanya dianggap sebelah mata, meskipun entah apa yang membuat sang dewa takdir mengantarkan remaja dari kalangan elite merakyat?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Main Dengan KhayalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang