02 Negosiasi

40 4 0
                                    

Veren menelan ludahnya, entah mengapa ia merasa sedikit curiga dengan pria yang tengah duduk di depannya ini. Belakangan ini pria paruh baya itu sering mengunjungi café ini setiap kali café hendak tutup. Awalnya Veren tidak menganggap hal itu dengan serius dan ia hanya beranggapan jika pria itu menyukai café ini, namun mengetahui jika pria itu tiba-tiba meminta untuk bicara empat mata dengan dirinya, ia semakin begidik ngeri.

Terlebih, selama ini juga ia merasa pria itu sering memperhatikannya.

"Duh! Kenapa aku selama ini menganggap semuanya enteng sih?" batin Veren.

"Veren, pokoknya kamu harus bersikap tegas! Aku tidak masalah jika harus kehilangan dia walaupun dia pelanggan setiaku!"

Seperti itulah yang dikatakan John sebelum Veren menemui Aaron yang saat ini masih tersenyum begitu ramah dengannya. Penampilan dan paras Aaron sama sekali tidak menyeramkan, malah ia tampak seperti pria yang baik-baik.

Tetapi tetap saja, bagi Veren, pria itu perlu dicurigai.

Tidak lama menunggu, John datang dengan sebuah minuman yang Aaron minta untuk Veren pesan. John memberikan isyarat melalui matanya untuk meminta Veren tetap waspada terhadap Aaron. Veren yang paham, ia pun mengangguk kecil sebelum John pun mulai meninggalkan keduanya sendirian.

Aaron menatap pin nama Veren sebelum dia membuka pembicaraan keduanya yang sebelumnya sangat canggung,"Jadi nama kamu Verena... Nama yang bagus..."

Veren sudah menduga jika Aaron sudah melihat namanya melalui pin nama. Ia pun tidak mengelak akan hal itu,"Ya... nama saya Verena. Ada urusan apa bapak ingin bertemu dengan saya empat mata?" tanya gadis itu dengan terang-terangan.

"Sepertinya kamu orangnya sangat to the point ya..."

Veren hanya diam, bahkan untuk mengangguk pun ia tidak. Seperti yang John katakan, ia harus menimbulkan kesan tegas kepada pria paruh baya yang sedang duduk di hadapannya ini. Ia tidak ingin pria itu malah mempermainkan dirinya,

Aaron memuji sikap Veren di dalam hatinya dan sebagai outputnya, ia tersenyum pada gadis itu.

"Berapa usiamu?"

"Apa saya punya kewajiban untuk menjawab itu? Bahkan Anda saja belum menjawab pertanyaan saya yang sebelumnya," jawab gadis itu dengan tegas. Meskipun ia tegas, tetap saja ia masih harus bersikap sopan kepada Aaron.

Aaron mengangguk karena kini ia berpikir sudah cukup untuk berbasa-basi dengan Veren, karena tampaknya Veren tidak nyaman dengan dirinya jika ia terus melakukannya.

"Oh ya, saya belum memperkenalkan diri saya... Saya Aaron dan baiklah, saya akan to the point saja... saya membutuhkan bantuan Veren menggantikan seseorang,"

"Seseorang? Apa ini sebuah pekerjaan?"

"Apa dia ingin menawarkanku pekerjaan yang menjanjikan? Kalau dilihat sih penampilannya, dia terlihat biasa saja sih..." batin Veren sembari mengamati fisik Aaron. Pria itu hanya memakai kaos biasa dengan celana jeans pensil, bahkan arloji yang ia pakai juga hanyalah arloji yang biasa saja. Karena itulah, sangat sulit untuk menebak apa yang menjadi profesi dari Aaron yang sesungguhnya.

"Hmm... saya tidak tahu apakah ini adalah sebuah pekerjaan, tapi yang jelas saya ingin nak Veren berperan sebagai seseorang,"

"Berperan? Apa pria ini ingin merekrutku sebagai aktor?" batin Veren dengan bingung.
"Tidak, tidak... aku rasa tidak mungkin!"

Perkataan itu masih ambigu bagi Veren dan terlihat jelas ia masih bingung,"Bisakah Anda jelaskan dengan detail? Saya masih belum begitu mengerti," tuntut Veren dengan serius.

"Saya ingin Veren hidup sebagai anak saya selama beberapa tahun ke depan..."

Deg!

"Tenang saja... saya akan mengakomodasi kamu untuk segalanya. Kamu tidak perlu khawa-"

"Bukankah seharusnya seorang anak itu tidak bisa digantikan?" Perkataan gadis itu membuat Aaron tertegun sejenak.
"Begitu juga dengan orang tua, bukankah orang tua itu seharusnya tidak bisa digantikan?" tanyanya dengan kepala yang tertunduk. Gadis itu menundukkan kepalanya bukan karena ia takut, melainkan ia sendiri tidak ingin siapapun melihat raut wajahnya yang sudah sangat emosional.

Veren sempat terdiam kaku, mendengar kata 'anak' membuatnya teringat dengan beberapa ingatan dari kehidupannya yang tidak menyenangkan. Tangannya sungguh bergetar karena ia sangat ingin melupakan momen-momen menyakitkan itu. Semua kenangan menyakitkan itulah yang menjadi alasan mengapa Veren tidak memercayai hubungan yang tidak sedarah.

"Tidak juga... tidak harus memiliki ikatan darah untuk bisa menyayangi seseorang sebagai keluarga sendiri,"

Veren hanya diam, ia tahu jika perkataan itu benar, hanya saja dirinya menolak untuk menerima perkataan itu. Apa yang ia rasakan selama ini membentuknya menjadi gadis yang begitu sensitif ketika ada sesuatu yang berkaitan dengan kekeluargaan.

"Hah... sepertinya aku terlalu emosional," batin Veren yang mulai menyadari ketidaknyamanan yang ia rasakan. Secara perlahan, ia meyakinkan dirinya untuk tetap baik-baik saja dan bersikap biasa saja.

Melihat Veren yang tampaknya kurang menyukai dirinya, Aaron mengeluarkan hapenya dari saku celananya. Ia membuka galeri dan menunjukkan foto seorang gadis yang memiliki paras yang begitu mirip dengan Veren. Veren yang masih tertunduk pun tidak sengaja melihat foto gadis yang ada di layar itu dan ia terdiam. Untuk sejenak ia berpikir, apa itu dirinya yang ada di layar itu, hanya saja ia tidak ingat ia memiliki pakaian itu dan...

Ia tidak ingat ia bisa tersenyum selepas itu.

"Ini..."

"Dia adalah Camellia dan dia adalah anakku..." Perkataan itu membuat Veren mengangkat kepalanya dan menatap Aaron yang terlihat menutupi kesedihannya dengan senyuman. Veren tentu saja menyadari hal itu, karena ia sering berada di posisi itu... Hal ini membuat Veren penasaran dengan apa yang terjadi pada gadis itu sehingga Aaron meminta dirinya menggantikan gadis itu.

"Dia mengalami kecelakaan ketika ia sedang berlibur. Sudah hampir enam bulan berlalu namun hingga saat ini, Camellia masih belum sadarkan diri... aku dan istriku sangat menyayangi Camellia, namun istriku terlalu rapuh... belakangan ini ia sering sakit-sakitan dan ia semakin mengurung dirinya di kamar..." ucap Aaron dengan nada yang begitu pilu. Veren bisa merasakan kepiluan yang menusuk hatinya. Jauh di dalam dirinya, ia ingin membantu Aaron untuk menggantikan Camellia namun gadis itu terlalu takut untuk merasakan kembali derita masa lalunya...

"Saya harap nak Veren bisa membantu saya... Saya mohon demi istri saya..." lanjut Aaron lagi dengan sangat.

"Maaf, pak Aaron... saya harus menolak permintaan Anda..." balas Veren.

"A-apa pun saya akan berikan! Katakan saja apa yang kamu inginkan, saya akan mewujudkannya!" ujar Aaron dengan sangat. Veren membuang pandangannya, ia tidak ingin bersimpati pada Aaron walaupun sebenarnya ia sangat iba kepada pria malang itu.

"Aku tidak boleh terlihat iba dengan permintaannya. Ayo, Veren, tunjukkan kalau kamu tidak tertarik dengan tawarannya!"

"Yah... bagaimana jika Anda membelikan saya sebuah rumah yang paling elit di daerah Dutamas?"

"Rumah itu adalah rumah kedua orang tuaku ketika dulunya kami masih tinggal di kota ini, yang mana saat ini rumah itu tengah ditempati oleh keluarga lain. Bagaimana caranya ia bisa membeli rumah itu selain membelinya dengan harga yang begitu mahal kepada pemilik rumah yang sekarang? Tentu saja ia tidak ingin menghamburkan uangnya untuk hal ini kan?" batin gadis itu dengan percaya diri.

"Juga, saya ingin kuliah kedokteran di London," lanjut Veren lagi,

"Dia pasti akan mundur... bukannya aku ingin menilainya dari penampilannya, hanya saja aku sangat yakin kalau permintaanku ini adalah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Aku yakin setelah ini dia akan menyer-"

"Baiklah... saya akan mengabulkan semua permintaan nak Veren... terima kasih banyak karena sudah mau menerima permintaan saya ini, nak Veren. Saya akan menemui nak Veren secepat mungkin begitu semua berkas sudah diurus..."

Veren terdiam tak berkutik dengan hati yang menjerit tidak percaya dengan apa yang ia lihat dan ia dengar,

"Hah! Dia sedang tidak main-main dengan perkataannya, kan?!" 

Aku Hanyalah PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang