Perihal datang dan pergi di dunia menjadi hal yang tidak asing bagi setiap manusia. Semua yang pergi belum tentu kembali, karena ada yang datang untuk singgah dan ada yang untuk menetap. Namun, tidak menutup kemungkinan pergi untuk selamanya.
Berat langkah meninggalkan sekolah yang sangat nyaman, tapi tidak ada kenangan kecuali tumpukan pelajaran dan segala aktivitas yang monoton.
"Jangan lupa untuk membawa yang baik dan meninggalkan yang buruk, karena gak ada yang sempurna di atas dunia ini kecuali Yang Maha Kuasa," ujar kepala sekolah yang berada di hadapan Joan.
Walau acara perpisahan sekaligus penyerahan sertifikat sudah selesai, laki-laki paruh baya yang seumur dengan ayahnya masih memberikan wejangan seraya menunggu mobil yang menjemput Joan datang.
Betapa bangganya Syarif dan Serin melihat anaknya menjadi siswa pilihan dari kedua sekolah. Terkadang, setiap musibah akan membawa hikmah pada beberapa pihak. Contohnya seperti Joan, mungkin saja jika bukan karena kehilangan Bagas dia tidak akan seperti ini.
Secara formalitas, Joan dijemput oleh pihak sekolah. Akan tetapi dia tetap pulang dengan kedua orang tuanya, karena hari ini diberikan izin pulang lebih cepat. Lagi pula, tidak ada waktu lagi kembali ke sekolah.
Sepanjang perjalanan pulang, Serin terus menanyakan apa yang dilakukan oleh anaknya tiga bulan terakhir, padahal setiap bulannya mereka selalu datang untuk memastikan anaknya.
"Tante Anka sering anterin kamu makanan, ya?" tanya Syarif di sela pembicaraannya dengan Serin.
"Iya, Yah. Kadang Jeffrian yang datang," jawab Joan dengan rasa ragu. Namun, bukan kadang lagi, memang selalu dia yang datang ke asramanya. "Kenapa, Yah?"
"Ayah kamu heran aja, kenapa keluarga mereka baik banget sama kita," timpal Serin.
"Ha, gitu. Tapi, dari awal emang baik, kan, keluarganya?"
"Iya, baik. Mana tau baiknya ada maksud tersembunyi buat jadiin anak ayah jadi menantunya."
Jawaban Syarif membuat dua perempuan yang ada di dalam mobil tertawa lepas. Laki-laki itu memang dikenal sangat posesif kepada anaknya, bahkan semua saudaranya mengakui hal itu. Namun, dia tidak semenyeramkan yang orang lain bayangkan. Jika serius, datang ke rumahnya. Begitulah prinsip Syarif.
"Lagian belum waktunya buat begitu, Bu," ujar Syarif. "Masih banyak yang harus Joan lakukan. Selama masa pendidikan dijalani, kata cinta itu sebisanya jangan ada. Joan sendiri udah ngerasainnya. Lihat tuh, waktu teman dekatmu itu masih ada, apa yang kamu bisa?"
Senyum yang tadinya merekah, hilang seketika. Dia benci ketika segala hal dalam hidupnya dikaitkan dengan kejadian yang menimpa Bagas sehingga menghilangkan nyawanya.
"Toh, itu udah di luar kendali kita dan itu juga udah takdir dia," sambung Syarif tanpa rasa bersalah, tapi tidak ditanggapi oleh Joan. Lebih baik memejamkan mata agar ayahnya berhenti berbicara.
Serin mengusap bahu suaminya untuk menghentikan topik yang ia bicarakan. Kehilangan seseorang untuk selamanya bukanlah hal yang mudah.
Sesampai di rumah, Joan kembali menjadi dirinya yang lama, mengurung diri di dalam kamar sekaligus menghindar dari ayahnya yang selalu menyiksa hatinya. Walau sudah biasa mendengarkan hal semacam itu dan bukan kepada dirinya saja, tetap saja masih membuat hatinya terluka.
Di luar sana, Joan mendengar suara Anka yang ingin bertemu dengannya. Namun, Serin mengatakan jika anaknya sedang beristirahat tanpa memastikan apakah iya atau tidak. Joan mengambil ponselnya yang masih ada di dalam tas dan mencari nomor Jeffrian, ia merasa tidak enak dengan Bundanya laki-laki itu.
"Jep, ini gue," ucap Joan setelah panggilannya terhubung.
"Tau elah. Kenapa?"
"Di rumah?" tanya Joan yang dibalas dengan gumaman di seberang sana. "Bilang sama bunda kalau nanti aku ke rumah, ya."

KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH - Ryujin ✔
Teen FictionDitinggalkan oleh sosok yang paling dia sayangi untuk selamanya membuat Joan merasa kehilangan, tetapi di samping itu pria yang memiliki paras serupa dengan Bagas muncul di kehidupan Joan-Nadhif, kembaran Bagas. Ia mencoba menjadi sosok Bagas yang d...