27.

18 4 0
                                    

Selamat membaca.

“Nggak sama gue. Gue sama Chika.” Geral menggeleng tidak tahu.

“Ral, besok kumpulin semua anak Lithium di pagar belakang sekolah. Ada yang pengen gue bicarain.” Ujar Gara dengan tiba-tiba.

“Gar, yang bikin gue heran itu. Kok bisa seperfect itu yang Qillo susun, nggak mungkin dong dia tau lokasi Lintang dengan pasti gitu aja.” Ucap Asur.

“Ini semua ulah Zaqillo?”

Chika menoleh pada Geral yang duduk di sampingnya. Cowok itu tidak menjawab melainkan meraih tangannya dan mengelusnya.

“Firasat gue makin kuat aja, gue yakin banget ada mata-mata diantara kita-kita ini!” Ucap Angga dengan serius.

“Bisa jadi Zaqillah!” Timpal Chika.

“Bukan...” Bantah Gara segera. “Zaqillah cuman bahan buat kecoin kita, jauh sebelum Zaqillah ada.” Lanjutnya dengan datar.

“Kita aja yang terlambat sadar.” Sahut Geral yang menatap Chika lurus.

Ceklek.

Gina keluar dari ruangan di mana Lintang di tangani.

“Gar, mau liat keadaan Lintang?” Tanya wanita itu yang diangguki Gara.

Cowok itu dengan segera bangun dan masuk menemui sahabatnya yang kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Begitu Gara masuk matanya langsung terarah pada gadis yang kini membuatnya khawatir bercampur gelisah itu.

Gara menarik nafas kasar melihat Lintang yang sungguh betah memejamkan matanya. Entah kapan gadis itu bangun, Gara duduk di kursi dekat ranjang Lintang memandang utuh gadis itu. Ada perban di tangannya, di wajahnya terdapat sebuah luka bekas gores, kakinya kirinya di gips. Sangat menyebalkan pemandangan itu di mata Gara.

“Bodoh!” Gumamnya mengusap pipi Lintang.

Jika di pikir-pikir ini pertama kalinya Lintang dan Laska jalan berdua seperti ini. Pertama kalinya juga Lintang terluka separah ini, tapi percayalah Gara sungguh lebih terluka saat dirinya gagal melindungi Lintang.

“Jadi orang tolol banget!” Umpatnya lagi.

Gara sungguh hanya merasa bersalah. Apalagi saat melihat Lintang terbaring lemah seperti ini, siapa yang tidak sakit? Yang Gara butuhkan adalah Lintang, Gara butuh gadis ini, Gara ingin dia sadar dan memberikan Gara pelukan hangat, atau bahkan hanya sebuah senyuman yang selalu membuat Gara tahu bahwa tidak ada yang lebih baik dari Lintang. Gara benar-benar merasa dibuang setiap kali ia gagal melakukan sesuatu.

Sepertinya sudah cukup dengan kunjungannya, Gara harus keluar sekarang. Gara tidak bisa berlama-lama melihat gadis menyebalkan satu ini tiba-tiba menjadi bisu dan tidak berdaya. Akhirnya Gara memutuskan untuk keluar dari sana, bukan apa-apa hanya saja. Jika Gara semakin lama melihat Lintang seperti itu maka yang tersisa hanya penyesalan dan perasaannya yang tidak stabil.

“Gara pulang ya.” Ucap Gara kala berhasil keluar dari ruangan yang dengan pemandangan menyebalkan itu.

Gina tampak kaget dengan ucapan itu tapi wanita itu juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Begitu pun dengan mereka yang lainya.

“Lo baik-baik aja kan?” Asur bangun dari duduknya memandang Gara.

“Gue mau pulang.”

Gara langsung pergi setelah mengatakan hal itu. Tidak banyak yang bisa Gara ucapkan, malam itu Gara berubah seratus enam puluh derajat dari Gara yang biasanya. Tatapannya kosong, ekspresi wajah yang kadang terlihat datar dan bisa juga berubah gelisah, Gara bukanlah Gara yang biasanya. 

Gara naik diatas motornya begitu sampai di parkiran. Yang ada di pikirannya adalah ia gagal melindungi Lintang, dirinya benar-benar kecolongan malam itu.

Gara menarik gas dengan kecepatan penuh meninggalkan rumah sakit itu. Jalanan akan menerima perasaan berkecambuk yang sedang dirasakannya. Rasanya Gara berhasil dilumpuhkan dengan kejadian ini.

...


Gina duduk menemani Lintang yang belum sadarkan diri. Gina ingin sekali menjadi seorang dokter sekarang jika dia bisa, wanita itu sangat khawatir akan kondisi putrinya ini sampai Gina rela melakukan apapun agar Lintang segera sadar. Jika waktu dapat di putar kembali Gina ingin mengulang kejadian di ruang tv kemarin sore, bisa dikatakan Gina menyesal memberikan ijin kepada Laska untuk membawa putri kecilnya ini.

Gina sudah memutuskan untuk memberi tahu Alvano tentang hal ini. Sudah sepatutnya Alvano tahu hal ini, biarkan Alvano yang mengambil keputusan untuk putrinya ini. Gina tidak akan tega melakukan sesuatu yang membuat Lintang merasa sakit, tapi jika itu perlu sepertinya itu tidak boleh terlewatkan. Gina ingin Lintang tidak tenggelam dalam luka bertahun, Gina akan melakukannya.

Gina bangun dari dan beranjak ke pintu ruangan itu. Wanita ini akan mengecek keadaan Gara yang ada diluar. Gara pastinya juga ada disini untuk menemani Lintang tapi kali ini cowok itu tidak mau masuk. Hanya itu yang dikatakannya.

“Gara udah makan?”

 Gara yang duduk di kursi menoleh dan memandang Gina di ambang pintu.

“Udah sadar ma?”

Pertanyaan itu yang selalu di ucapkannya kala melihat Gina. Gina tersenyum dengan berusaha tetap tenang didepan cowok satu ini. Semalam Gara kembali dan tidur di kursi panjang depan ruangan Lintang, wajahnya sungguh menunjukan kelelahan disana. Pasti tidak nyaman tidur di kursi itu tapi Gara tidak mau masuk saat Gina menyuruh untuk tidur pada sofa yang ada di dalam ruang rawat Lintang.

“Gara mau lihat sendiri?” Tanya Gina.

“Gara nggak mau masuk ma...” Ucapnya dengan lirih dan kecewa.

“Gara?” Gara menoleh pada sang suara.

“Papa...” Ucapnya bangkit berdiri.

Alvano berjalan ke arahnya dengan seragam pilotnya lengkap. Pria itu menoleh pada Gina yang ada di ambang pintu. Dengan segera pria itu menyerobot masuk dan mendapati putrinya yang masih terbaring lemah di atas ranjang.

“Nak, ini papa..” Ucapnya menyentuh puncak rambut Lintang.

Tapi tak ada jawaban dari gadis itu.

“Lintang, ini papa...” Ucapnya sekali lagi memastikan apa yang baru saja terjadi.

Alvano menoleh pada Gina.

“Apa ini Gin?” Tanyanya.

“Lintang belum sadar dari semalam.” Jawaban Gina sesuai kenyataan yang ada.

“Dimana dia?” Tanya dengan nada yang berubah sedikit marah.

Alvano berjalan keluar menuju Gara yang kini berdiri memandangnya.

“Dimana cowok itu Gar!?” Tanya berubah marah.

“Laska pa?” Tanya Gara.

“Cowok yang semalam jalan sama Lintang!!” Ucapnya penuh penekanan.

Gara memandang pintu ruangan di samping ruang rawat Lintang. Alvano ikut menoleh dan tanpa aba-aba melangkah maju menerobos pintu itu. Gara yang seketika mengerjap mengikuti pria itu mencegah hal apapun yang mungkin akan terjadi.

“Kamu Laska?”

Tunjuknya memandang pada Laska yang baru keluar dari kamar mandi sambil mendorong tiang infusnya.

Laska yang sedikit bingung mengamati wajah didepanya lamat-lamat. Ini ayah Lintang, Laska tahu itu. Laska bisa menebak seperti apa situasi saat ini.

“Saya Laska om, saya minta maaf.” Ucapnya.

“Sini kamu!” Alvano mendekat meraih kerah baju milik Laska dengan kencang. “Kamu pacar Lintang?”

“Iya om..” Laska mengangguk kuat.

“Bisa bawa motor nggak kamu?!” Alvano sudah menegang tidak mampu menahan emosi.

Nona Gandari (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang