BAB -1-

3 1 0
                                    

Maaf apabila ada kesalahan dalam pengetikan, selamat membaca

.....

Suara pedang yang saling bersentuhan terdengar begitu nyaring. Bau anyir, amukan, dan teriakan kesakitan menjadi latar musik yang mengiringi. Di tengah medan perang tersebut, kedua pimpinan kubu terlihat saling mengadu pedang. Peluh keringat tercampur darah membanjiri tubuh mereka tetapi tidak ada satu dari mereka yang berniat menghentikan pertempuran sengit itu. Seperti mempertaruhkan sesuatu yang berharga, mereka enggan untuk melepaskannya.

"Sebaiknya kau menyerah saja!" ujar pria berbadan besar dengan tanda rumit, seperti tato, di lengan kirinya. Ia mencoba menyerang kaki pria berbadan besar dengan luka di mata kanannya namun mampu di tangkis. Pria dengan luka di mata memutar pedang mereka dan menekan ke dada pria bertato. "Dan membiarkan kau memiliki Batu Semesta?" ia semakin menekan pedangnya yang masih terhalau pedang lainnya. "Tidak akan pernah." lanjutnya. Ia tahu pria bertato itu sudah kehabisan tenaga. Ia pun menyadari dirinya tak memiliki tenaga lebih banyak lagi, tanpa basa-basi, pria dengan luka di mata menggores kaki pria bertato. Cukup dalam luka yang di torehkan, berhasil membuat pria dengan tato berlutut dan berteriak kesakitan. Dengan cekatan, pria dengan luka di mata menusukkan pedangnya tepat di jantung pria bertato.

"Hidup Primus!!!" dengan mengangkat pedang yang berlumuran darah, ia berteriak lantang menyatakan kemenangan. Sontak seluruh prajurit menghentikan pertempuran. Teriakan itu menandakan perang telah selesai dan dimenangkan oleh kerajaan Primus.

•••••

Pascaperang keadaan di kerajaan Primus selalu ramai. Mereka menertibkan tawanan perang, menerima mereka sebagai prajurit kerajaan bila bersedia, dan menghukum mereka yang mencoba melawan. Tidak sedikit dari mereka yang mencoba melawan. Bagi yang melawan, mereka akan dihukum dengan seberat-beratnya.

"Bagaimana para tawanan?" Tanya Raja Primus, Boka, bertanya kepada Kepala Menteri kerajaan. Mereka sedang dalam perjalanan menuju ruang rapat. Setelah terjadi perang, biasanya akan diadakan rapat dengan petinggi-petinggi dan juga para tetua kerajaan. Langkah tegas menggema di sepanjang lorong. Kepala Menteri mencoba menyeimbangi langkah Raja Primus yang panjang.

"Tawanan perang sedang ditertibkan Yang Mulia. Para penjaga sedang melaksanakan tugas sebagaimana mestinya Yang Mulia." Ucap Kepala Menteri tunduk. Sang Raja tidak memberi respon apapun, ia terus melanjutkan perjalanannya. "Bagus, terus lanjutkan. Pastikan mereka tidak membuat kesalahan lagi." Perintah Raja Primus dengan nada acaman. Meskipun keriput telah nampak di wajah Sang Raja, namun hal itu tidak mengurangi kewibawaannya. Kepala Menteri menundukkan kepalanya, takut mendengar suara Raja Primus yang tenang namun penuh dengan ancaman. "Tentu Yang Mulia."

•••••

Derap langkah cepat menggema di sepanjang lorong istana. Deru nafas seorang pria terdengar seperti pelari marathon. Ia berhenti di depan pintu coklat besar dengan ukiran kuno yang rumit. Diketuknya pintu besar itu, lalu terbuka lah pintu oleh prajurit yang berada di dalam ruangan. Semua orang yang berada di dalam ruangan menoleh padanya. Membuat keringat dingin semakin bercucuran. Memasuki ruang rapat, tak lupa menunduk memberi salam kepada Sang Raja. "Ampuni hamba Yang Mulia."

"Ada apa?" tanya Raja, dirinya cukup kesal ada 'pengganggu' dalam rapat besarnya ini. Aura tak bersahabat dapat dirasakan oleh seluruh penghuni ruang rapat tersebut. Mereka menundukkan kepala takut-takut Sang Raja akan marah. Pria dengan keringat dingin yang menghiasi wajahnya, menelan ludah pelan untuk membasahi tenggorkan sebelum berbicara, "Mohon ampuni hamba Yang Mulia. Hamba membawa berita buruk." Dengan gemetar, pria tersebut memberikan berita buruk yang terjadi. Dalam diam, ia mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia pun sudah pasrah menerima hukuman yang akan diterimanya, sekalipun nyawa.

From SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang