Bab 8

20 1 0
                                    

Bab 8
Apel di Malam Minggu?

Menjelang tiga pekan saat Atta berjanji akan datang melamar Ifa belum jua terwujud. Membuat Ayah Ifa mulai tak sabar karena gusar. Setelah pulang dati Masjid lelaki paruh baya itu berjalan hilir mudik sambil sesekali melirik jam dinding. Tepat pukul tujuh, gegas meraih ponsel lalu menghubungi nomor telepon Atta.

[Assalamu'alaikum, Om. Apa kabar?]
Terdengar ucapan salam dari Atta di ujung telepon.

[Wa'alaikum salam, kami sekeluarga alhamdulillah semua baik-baik saja. Bagaimana dengan kau, Atta?]

[Alhamdulillah, saya juga baik-baik saja, Om.]

Sejenak kemudian tiba-tiba hening.

Baik Atta maupun Ayah Ifa rupanya sama-sama canggung. Keduanya nampak bingung hendak berkata apa. Sebenarnya dalam hati. Ayah Ifa ingin bertanya perihal kejelasan rencana lamaran dari Atta. Namun karena ia berada di pihak keluarga perempuan jadi merasa rikuh sekaligus sungkan untuk mengucapkannya. Selain tak ingin dinilai terlalu mengharap, Ayah Ifa juga berkewajiban menjaga harga diri anak gadisnya. Agar tak terkesan memohon-mohon untuk segera dilamar. Toh, rencana lamaran ini bukanlah sesuatu yang dinanti atau diharap-harap oleh Ayah Ifa.

Di sisi lain, Atta pun tidak tahu harus mengatakan apa perihal janjinya itu. Karena sampai detik ini, Papanya tetap bersikukuh dengan adat istiadat mereka. Papa Atta bersikeras tidak akan perbah datang untuk melamar Ifa, meski sudah dibujuk oleh paman Atta, Marco.

[Atta, kau kan berencana mau melamar Ifa. Memangnya kalian sudah berapa lama pacaran?] tanya Ayah Ifa dengan intonasi menyelidik.

Di tengah kebuntuan, entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba melintas di pikiran lelaki paruh baya itu.

Di seberang sana, Atta seperti gelapan saat ditanya demikian. Pemuda itu terdiam sebentar.

[Alhamdulillah kami tidak pernah pacaran, Om] jawab Atta tanpa ragu.

[Lantas, kenapa kau mau melamar anak gadisku? Apa kalian sudah saling mengenal sifat masing-masing?]

[Saya sudah lama memperhatikan Ifa dari jauh. Dan juga banyak bertanya kepada teman maupun guru ngaji Ifa di kampus, Om. Alhamdulillah semuanya mengatakan Ifa gadis yang baik dan juga sholehah tentunya.] Atta menjawab tenang.

[Tapi itukan hanya sebatas cerita dari orang lain saja. Kau sendiri apa pernah bergaul lebih dekat dengan Ifa untuk memastikan kebenaran pendapat orang-orang itu?]

"InsyaAllah yang orang katakan tentang Ifa itu benar, Om. Mereka tidak mungkin bohong.]

[Tidak bisa begitu Anak Muda. Jangan membeli kucing dalam karung. Maksudku sebelum kalian benar-benar memutuskan untuk menikah nantinya. Kalian berdua harus saling mengenal lebih dekat dahulu. Ta'aruf kan artinya perkenalan, iya, toh?]

[Iya, Om. Tapi --]

Ucapan Atta menggantung karena mendadak Ayah Ifa langsung memotong perkataannya.

[Begini saja, Atta. Supaya kalian bisa saling mengenal lebih dekat lagi, maka malam ini sebaiknya kau datang mengunjungi Ifa ke rumah.]

Atta terdiam sejenak, entah apa yang sedang ia pikirkan.

[Aku tunggu kau malam ini juga.]

Klik.

Pembicaraan di telepon pun terputus. Tanpa memberikan kesempatan kepafa Atta untuk menyahut.

Di sebuah masjid yang berada tepat di samping markas lembaga mahasiswa islam, Atta tercenung bingung sambil menatap gamang ponsel di tangan. Dia merasa bimbang apa yang harus dilakukan. Pemuda itu menyandarkan punggung di dinding pojok bangunan masjid seraya menatap kosong ke arah langit-langit yang berwarna putih bersih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menuju HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang