Sebuah Kekecewaan

22 3 0
                                    

"Kagek¹ sore nak jingok² bareng pengumuman, dak?"
"Boleh. Di rumahku bae."
"Oke. Aku ke sano sore kagek."

Begitulah percakapan Khairil dan Rian di telepon saat detik-detik menjelang pengumuman SBMPTN. Mereka sama-sama mendaftar di universitas yang sama, tetapi di jurusan yang berbeda. Khairil mendaftar di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Rian di jurusan Pertanian.

Pilihan keduanya tentu saja bukan tanpa alasan. Dari kelas 10 SMA, Khairil memang menyukai dunia bahasa dan ingin memajukan pendidikan di desanya sebagai guru. Sedangkan Rian memilih Pertanian karena berimpian memajukan petani di desanya. Dua sahabat lama yang sama-sama idealis ini memang sudah satu jiwa dan satu liur. Semasa SMA, mereka selalu berjalan beriringan walau kadang terjadi perseteruan, tetapi itu hal yang wajar dan mereka cepat berbaikan. Perseteruan di antara mereka biasanya karena perbedaan pandangan antara Khairil dan Rian dalam hal menjawab soal dari guru. Namun, di luar itu, keduanya sangat akrab layaknya saudara sendiri.

Kedua jarum jam sama-sama di angka 12. Waktunya Khairil untuk makan dan salat serta mempersiapkan diri untuk pergi ke rumah Rian. Jarak antara rumahnya dan Rian tak terlalu jauh. Kurang lebih 8 menit seperti cahaya matahari ke bumi. Namun, Khairil memilih datang lebih cepat agar bisa mengobrol lebih banyak dengan sahabatnya itu.

Khairil dan Rian tinggal di sebuah desa di daerah Sumatra Selatan. Jarak antara rumah mereka dan Kota Palembang cukup jauh. Jaraknya sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan mobil. Walau jauh dari kota, wawasan mereka tak sempit. Akses internet yang sudah masuk sejak 5 tahun lalu di desa, membuat mereka bisa memperluas wawasan tanpa kalah dari anak-anak kota.

Di rumah, Khairil tinggal bersama kedua orang tua dan seorang kakak. Sang Ayah bekerja sebagai guru honorer di SD. Ibunya menjaga warung di depan rumah. Sedangkan Kakak Khairil adalah seorang sarjana hukum, tetapi belum mendapatkan pekerjaan sampai sekarang. Kabar yang terdengar ke telinga Khairil, kakaknya sudah melamar ke banyak tempat dan berkali-kali ikut tes CPNS. Namun, keberuntungan belum berpihak kepada Kakak Khairil. Inilah juga yang menjadi alasan Khairil ingin berkuliah. Selain memajukan desa sebagai seorang guru, Khairil juga ingin membantu perekonomian keluarga.

Setelah salat, Khairil menuju meja makan. Di sana, sudah ada sang Ayah yang tengah makan siang. Di tengah-tengah Khairil mengunyah nasi, Ayahnya berkata, "Udah nemu kerja?" Mendengar hal itu, Khairil menjadi kaku. Tangannya tampak tak sanggup melanjutkan makan siang. Dia tak bisa menjawab karena tak mau ayahnya kecewa. Ayahnya sangat ingin Khairil bekerja daripada kuliah karena tak sanggup membayar perkuliahan akibat kecilnya gaji guru honorer. Namun, sudah setahun Khairil lulus SMA, belum ada juga pekerjaan tetap yang dia punya. Pekerjaan yang ada hanyalah menjadi fotografer amatir saat ada acara warga atau pemerintah desa. Itupun kalau ada uang untuk menyewa kamera. Saat SMA, itulah pekerjaan sampingan Khairil untuk menopang hidup keluarganya. Banyak uang yang dia dapatkan dengan bermodalkan kamera pinjaman milik OSIS.  Sekarang, dia tak bisa seperti itu karena sudah berstatus alumnus.

Khairil memilih diam saat mendengar pertanyaan dari ayahnya tadi. Ayahnya tak marah karena Khairil diam. Dia paham kalau mencari pekerjaan memang sulit apalagi jarak desa dan kota yang jauh. Namun, dia akan marah kalau Khairil berkata bahwa dia ingin kuliah. Toh, kalaupun Khairil belum mendapat pekerjaan, masih ada keuntungan dari warung yang masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Setelah makan, Khairil bergegas ke kamar untuk mengambil ponselnya. Setelah itu, dia meminta izin kepada sang Ibunda di warung untuk pergi keluar.

"Mak, aku keluar dulu, ye."
"Nak ke mano?"
"Tempat Rian. Nak main bae."

Ibu Khairil pun mengizinkan. Khairil memang tak memberi tahu keluarganya kalau dia ikut SBMPTN. Dia membayar sendiri uang tes UTBK dari tabungannya. Saat pergi tes, dia pergi bersama Rian dengan alasan ingin mencari pekerjaan. Dia terpaksa berbohong kepada orang tuanya, khususnya ayahnya. Jika ketahuan mendaftar kuliah, bisa-bisa merah badannya. Ya, ayahnya memang mendidik anak-anaknya dengan keras agar tidak manja. Namun, Khairil masih selamat saat berkata ingin kuliah jika hanya sampai ke telinga sang Ibunda.

Sesampai di rumah Rian, Khairil langsung memarkirkan sepeda motor bututnya. Mereka berdua berbincang-bincang di ruang tamu.

"Ril, kau ngebayangi ladasnyo³ pas di kampus, dak?"

"Aku, sih, belum ado bayangan, ye. Diterimo bae lah bersyukur. Kalau kau?" Balas Khairil dengan tawa kecil.

"Kalau aku bayanginyo bakal seru nian apolagi kalu melok⁴ organisasi. Kagek, kito melok BEM, peh."

"BEM itu apo, An?"
"Kau belum tahu, ye? BEM itu cak OSIS-nyo kampus. Melok, ye. Kito kan anak OSIS."

"Ai, caknyo dak lagi, An. Cukup sampai SMA bae aku sibuk organisasi."
"Hahaha. Pasti lah penat, ye."

Obrolan pun berjalan panjang sampai mereka tak sadar sudah pukul 3 sore. Kini, tiba saatnya pengumuman SBMPTN bisa dibuka. Namun, sayang sekali. Mereka berdua kecewa.

¹ Nanti
² Lihat
³ Serunya
⁴ Ikut

(Ke) Hidup (An) Mahasiswa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang