Pertama: Sunda Kelapa

23 4 1
                                    

Aku tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa pada pukul 04.30 pagi. Ya, lebih tiga puluh menit dari jadwal yang telah kusepakati dengan Anne. Sebelum datang kemari, aku mencuri start dari gadis Melayu melankolis itu: berburu keindahan pagi di Blok M; mengabadikan wajah polos Little Tokyo dengan Scooby—kamera Canon 5DR S andalanku—sebelum wajah metropolitan terpoles oleh polusi dan tersentuh kembali oleh kesemrawutan aktivitas.

Langit, tentu saja masih gelap saat aku menginjakan kaki di Sunda Kelapa. Lampu-lampu besar yang bersumber dari kapal-kapal yang diparkir mengelilingi pelabuhan menjadi satu-satunya peneranganku untuk menemukan keberadaan Anne. Kakiku melangkah dengan lebar ke arah utara, Scooby yang bergelayut manja pada tali Canon yang melingkar di leherku ikut berayun-ayun.

Mataku menyapu sekeliling laut yang tampak sepi dan sunyi, bau amis ikan bercamput besi berkarat yang berasal dari kapal dan kargo-kargo bertumpuk menyapa indera penciuman. Sesekali, aku menggosok-gosok tangan saat angin subuh memeluk tubuhku yang dibalut jaket hijau lumut. Beruntung, aku mengambil keputusan yang tepat untuk tidak mandi sebelum berangkat ke sini. Atau, aku akan masuk angin saat menghadapi hawa dingin di pelabuhan tertua di Batavia.

"Kau telat, Langit!" Akhirnya, aku menemukan keberadaan si gadis Melayu. Rupanya, tubuhnya yang mungil itu bersembunyi di antara himpitan kapal pinis khas Bugis. Rambutnya yang sebatas bahu tertiup angin hingga menutupi sebagian wajahnya. Dia berdiri memasang ekspresi jengkel, bersama seorang pria parubaya berkumis Chaplin yang aku tebak sebagai nelayan yang akan mengantarkan kami menjelajah kawasan pelabuhan menggunakan sampan.

"Sori." Aku membalasnya dengan acuh, lalu menyapa pria parubaya yang mimik wajahnya jauh lebih bersahabat daripada ekspresi Anne—yang saat ini memelototiku seolah-oleh dia bisa melenyapkanku dengan tatapan lasernya.

"Pak Mamat, ya?" Tanganku terulur mengajak bersalaman. Pria bertopi dengan kaus belel horizontal itu menyambut uluran tanganku, dan kali ini wajahnya lebih ramah lagi.

"Iya, Mas Langit." Pak Chaplin—aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan itu—tersenyum lebar, lalu bertanya, "Bagaimana, mau jalan sekarang saja?"

Aku melirik arlojiku, pukul 04.40. Aku harus segera mencapai mercusuar, untuk mencari titik spot foto yang bagus guna mengabadikan momen sunrise Sunda Kelapa.

"Kita jalan sekarang saja, Pak." Anne dengan sukarela menggantikanku menjawab. Dia menyeretku menuju sampan yang diparkir tak jauh dari tempat kami mengobrol tadi.

"Woi, woi! Apaan, sih!" Jelas, aku protes. Cengkeraman gadis kecil ini kuat juga ternyata. "Sakit, Anne," ringisku.

Kami berhenti dihadapan sampan berwarna biru. Dia membalikan badan, lalu menatapku dengan pandangan garang. "Kau membuatku menunggu lama," ketusnya.

"Gue udah minta maaf." Jawabanku yang menyebalkan, tentu, membuat Anne makin senewen.

"Minta maafmu gak tulus, Langit," lirihnya.  Matanya mulai berkaca-kaca, napasnya tak beraturan dan sebentar lagi dia pasti akan menangis jika aku terus bersikap menyebalkan.

Sudah kubilang, 'kan? Dia gadis yang melankolis!

Oke, cukup Langit! Jangan bikin anak orang nangis di pagi buta seperti ini. Aku berdehem pelan, lalu berkata sehalus mungkin, "Iya, Anne, gue beneran minta maaf. Jangan marah lagi, ya, kita jalan sekarang, oke?" Tanpa menunggu responsnya, aku merangkul pundak perempuan itu. Aku menaiki sampan terlebih dahulu, lalu membantu Anne untuk ikut naik. Kita duduk saling berhadapan di tengah-tengah, sedang  Chaplin versi lokal itu berada di ujung kanan sampan.

"Sudah siap, ya?" Pak Chaplin bersiap mendayung. Kami mengangguk, lalu sampan yang kami tumpangi bergerak dengan perlahan ke arah mercusuar merah dan hijau peninggalan Belanda.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

36.000 KAKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang