Sesak sekali. Bertatapan dengan dinding yang dingin. Bulan berkuasa bagai kaisar langit bersama jutaan ajudan kecilnya yang bekelap-kelip. Dan mereka sedang beristirahat. Bersiap-siap mengembalikan kekuasaan pada sang mentari esok. Mereka tidak akan melanggar ataupun berkhianat pada pekerjaan itu. Tak seperti manusia, mereka selalu tunduk pada yang menciptakan.
Sesak sekali. Di tepian ini. Aku bernafas perlahan. Sedikit demi sedikit molekul-molekul oksigen terhirup ke dalam hidungku. Lalu kuhembuskan dengan lembut. Hening. Aku memaksa diriku tenang seperti orang yang sedang terlelap. Harusnya benar-benar terlelap. Tapi aku harus menunda rasa kantuk. Menahan dua kelopak mata yang ingin terpejam kompak. Tidak boleh, sebelum aku menemukannya.
Hanya berdiam sungguh menyebalkan. Aku sadar aku tidak bisa diam. Pikiranku akan pecah lalu membentuk kepingan-kepingan mozaik cerita yang berantakan. Seakan-akan aku ikut serta di dalamnya dan berperan utama dalam cerita yang amburadul. Hingga akhirnya aku bisa terlupa akan dunia fana.
Tapi menunggu jauh lebih menyebalkan. Apalagi dalam kondisi seperti ini, pilihanku hanya kembali membuka pintu dan memasuki cerita karya khayalanku. Berbeda kali ini aku akan memikirkan hal yang mungkin benar adanya. Meskipun hanya prediksi plus feeling yang bisa saja salah. Karena aku bukan Ki Joko Bodo atau Deddy Corbuzier yang bisa menerawang suatu peristiwa yang akan terjadi.
Sudah jam berapa? Aku bertanya dalam hati. Lalu kuambil HP dan melihat jam.
"Sedikit lagi." aku berbisik pada diriku sendiri.
Aku kembali ke posisi awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Letter
Teen FictionOrang yang sedang jatuh cinta. Menilai segala hal secara berlebihan. Penasaran berlebihan, harapan berlebihan, angan-angan dan hipotesa yang sungguh berlebihan. Menciptakan ceritanya sendiri, bagai sutradara profesional. Tak sadar bahwa ceritanya su...