Angkoe, Pemuda Tak Berguna yang Terlahir dari Masyarakat

5 1 0
                                    

Dikisahkan, Angkoe kecil ialah seorang yang tidak berguna bagi orang tuanya. Dia tidaklah pandai, malas shalat, dan tak mau mengaji di masjid.

Orang tuanya yang pedagang nasi bermasakan Padang pun sering menghujatnya dengan cacian, "Kamu tak berpendidikan! Bodoh! Main terus kerjamu! Nasib baik saya ingat kamu masih anak saya!"

Begitulah kiranya masa kecil Angkoe berlalu. Meskipun disela-sela hujatan ibu dan ayahnya, masih ada belas kasih yang dia dapatkan.

Angkoe yang sejak kecil sering dicap bodoh dan tak berpendidikan oleh orang tuanya sendiri pun menjadi orang yang terbelakang. Menjadi betulan bodoh. Menjadi seorang preman di sekolahnya dan bersikap tidak sopan kepada teman sepermainan.

Orang tua Angkoe yang menyadari bahwa anaknya telah menunjukkan ciri-ciri sampah masyarakat pun mulai mempertimbangkan agar Angkoe direhabilitasi di pesantren. Menuduh bahwa perkara duniawi telah menjadikannya seorang yang tidak bermoral dan kasar.

Angkoe yang mengetahui rencana orang tuanya pun menolak karena telah memiliki mimpi untuk diwujudkan, tetapi tak bisa berdaya upaya ketika dipaksa untuk bertaubat dengan ancaman parang.

Kini Angkoe yang telah dewasa, memahami kitab kuning, dan hafal beberapa ayat sekaligus tafsir-tafsirnya kembali ke orang tuanya. Sayang sungguh disayang, raut wajah Angkoe tampak tak senang melihat orang tuanya sendiri setelah sekian lama berpisah.

Angkoe yang telah lulus dari pesantren dan dielu-elu bakal menjadi ustadz pun meminta restu orang tuanya yang sudah mulai tua renta untuk pergi merantau. Meminta izin untuk berjihad menyebarkan agama.

Disangka atau tidak, niat Angkoe tidaklah semanis ucapannya. Angkoe tak berniat untuk berjihad, melainkan lari dari cengkraman orang tuanya dan memulai hidupnya sendiri yang lebih damai. Mencari mimpi yang pernah dipaksa untuk dilupakan.

Di tanah rantau, Angkoe pun mengajar agama, tetapi tak lama. Dia kemudian banting kemudi menjadi penjaga malam. Melihat keahliannya, dia pun ditawari menjadi centeng klub malam dan sepakat karena tergiur gaji yang cukup tinggi.

Angkoe sebagai manusia merupakan seorang yang baik dan mudah diajak bergaul, tetapi jika disandingkan dengan fakta bahwa dia merupakan seorang jebolan pesantren, tampaknya sulit untuk percaya.

Seorang kemudian bertanya kepada Angkoe, "Hai Angkoe, jika benar engkau seorang santri. Mengapa engkau bekerja di tempat haram seperti ini?"

Angkoe tersenyum tipis seraya berkata, "Orang tuaku sering menyumpahi aku dengan perkataan bodoh dan tak berpendidikan. Mungkin Tuhan mengkabulkan salah satunya dan menjadikan diriku seorang yang bodoh sehingga mau bekerja di tempat ini."

Orang-orang tampak tak terlalu senang mendengar ucapan Angkoe, lalu seorang lain memberanikan diri bertanya, "Apakah engkau sekarang membenci orang tuamu?"

"Tidak, kawan. Aku tak membenci mereka. Mau bagaimanapun mereka tetap orang tuaku, tapi mungkin aku tak ingin menemui mereka lagi."

Melalui perkataan Angkoe, aku menyadari bahwa di dunia ini ada seorang sepertinya. Mungkin ada banyak, tanpa pernah orang-orang sadari.

Angkoe adalah orang baik yang muncul dari didikan kasar. Angkoe adalah seorang pelindung pemaksiat yang muncul dari didikan pesantren.

Angkoe hanyalah seorang manusia biasa yang memiliki mimpi yang mungkin cara tercepat untuk mencapai mimpi itu ialah dengan berkumpul pada ahli maksiat.

Mungkin pula Angkoe berkumpul kepada ahli maksiat karena mereka menerimanya sebagai bagian, sebagai kawan atau keluarga yang pantas dihargai, baik pribadi maupun cita-citanya.

Mungkin Angkoe merupakan seorang yang mengejar duniawi, tetapi dipaksakan untuk menanggalkan semuanya demi kepentingan akhirati.

Mungkin Angkoe merupakan salah satu "Pemuda Tak Berguna" disebut oleh Aryo Wisanggeni yang tidak memprioritaskan ilmu agama dan akhirat. Lebih memilih menjadikan silat atau ilmu duniawi sebagai prioritas utama.

Namun, aku pikir yang menjadikan Angkoe "Pemuda Tidak Berguna" bukanlah cita-citanya, melainkan masyarakat itu sendiri. Dia bisa saja menjadi seorang yang berguna bagi agama tanpa perlu menanggalkan mimpi duniawi.

Masyarakat timur terlalu senang mencampuri urusan pribadi orang lain. Menolak menyebut anak sendiri sebagai orang lain. Kupikir, inilah kehidupan yang ironis. Kehidupan yang menyadarkanku bahwa mungkin aku merupakan Angkoe yang lain. Seorang yang dipaksa untuk menanggalkan mimpi.

Tidak! Angkoe menolak! Aku menolak! Kami menolak menanggalkan mimpi! Tuhan bersama orang yang berjuang! Dia tidak pernah bersama orang yang menindas!

Your Lucia,
July 23, 2022

Catatan Bucu Kota: Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang