Jika Harus Memilih, Aku Ingin Pergi

1 1 0
                                    

Keramaian kota akan selalu kuingat sebagai sesuatu yang sangat tidak menyenangkan. Malam-malam yang tenang menjadi sebuah barang mewah yang sulit untuk didapat, siang hari lebih-lebih lagi. Terlalu banyak orang yang harus ditemui dan disapa.

Aku mungkin telah membenci manusia sehingga tak ingin disebut sebagai salah satu diantara mereka. Tidak sama sekali. Jika harus memilih, lebih baik kiranya aku terlahir sebagai serigala di Siberia Timur. Memiliki kehidupan yang bebas dan menyenangkan.

Manusia telah lama membuatku kecewa. Suatu hari, mereka berjanji akan menjadi lebih baik dan menghilangkan kekecewaan itu, tetapi ungkapan kata tak lebih dari sebuah kebohongan. Tahun berganti tahun, hanya kecewa yang menusuk semakin dalam melubangi jantung kehidupan.

Aku telah menyerah untuk berharap kepada manusia manapun. Aku telah kecewa dan menolak untuk semakin tersakiti.

Manusia berkata bahwa dirinya ialah makhluk paling beradab dan sempurna karena memiliki akal. Hanya saja, mereka tak lebih baik daripada hewan-hewan lain. Mereka bodoh dan saling berkhianat.

Menjadi manusia bukanlah sebuah berkah, melainkan kutukan untuk hidup terkekang tanpa memiliki hak berbicara lantang dan memilih kehidupan sendiri. Manusia hanyalah sampah di antara garis edar matahari dan planet-planet.

Mimpi-mimpi yang telah kumiliki seiring waktu pudar berganti mimpi yang baru, tepat setelah aku mengerti bahwa cita-cita awal itu tak mungkin terwujud. Aku kecewa bahwa tak seorangpun mengerti. Aku kecewa mereka memaksa agar aku terus berjuang di atas jalan berduri berujung neraka.

Mengapa manusia yang berakal tak dapat menghormati keputusan seorang manusia yang lainnya? Mengapa mereka sangat senang mengatur anak-anaknya dan anak-anak orang lain? Bahkan dengan kekerasan dan ancaman?

Apakah ibu sang serigala akan melakukan hal yang sama? Apakah ia akan menangisi kematian seorang anak setelah ia dengan tega membunuh anak itu sendiri dengan tangan iblisnya?

Namun mereka tetap menyebut bahwa serigala itu binatang, tanpa mereka sadari bahwa kekejian mereka melebihi makhluk binatang. Apakah tersebut yang disebut akal pikiran? Orang lebih baik tak memilikinya jika benar.

Gerimis mulai turun, kilat-kilat menyambar, kucing-kucing jalanan mencakar-cakari pintu rumah sebagai pertanda ingin berizin berteduh dari dingin sejuk angin dan air hujan. Manusia tak mengizinkan dan melempari mereka dengan air kotor serta caci maki.

Aku mulai merenung kembali. Apakah manusia memang demikian? Berdiri sebagai kutukan atas bumi yang semula suci dan damai?
Seratus tahun yang telah lepas, leluhur-leluhur serigala memangsa dan menyerang beratus-ratus konvoi dan hewan peliharaan, setahun kemudian manusia membalas dengan kematian ratusan ribu serigala dan menyebut bahwa serangan atas konvoi-konvoi mereka ialah hal biadab.

Namun, pada akhirnya merekalah yang lebih biadab. Para leluhur menyerang karena lapar dan hanya ingin makan, tetapi mereka menyerang untuk membuat bantal dan karpet meja, sebagian lagi menggantung kepala leluhur di dinding papan.

Sekarang kutanya sekali lagi, siapa yang lebih biadab?

Tiga puluh tahun kemudian mereka melakukan perang besar dan saling membantai atas diri kaum mereka sendiri, lalu berpesta di atasnya sebagai seorang pahlawan tanpa cela.

Mereka menguasai segalanya, padang rumput, gunung-gunung, pantai, lautan, bahkan angkasa. Meninggalkan para leluhur untuk menyingkir kepada keterasingan dan kini meninggalkan kaum mereka sendiri dalam keterasingan yang sama.

Sekarang sebut aku serigala, bukan lagi manusia! Aku tidak ingin menjadi manusia! Mereka biadab! Kepada kaum lain, kepada kaum mereka sendiri. Mereka tak pantas disebut suatu kesempurnaan, mereka ialah cela atas dunia fana ini. Mereka kutukan!

Jika memang harus memilih, aku ingin meninggalkan kota ini, meninggalkan segala keramaian dan terang benderang cahaya lampu. Meninggalkan desing mesin dan bau asap knalpot motor yang melaju tanpa ingat kerikil telah menjadi debu.

Jika memang harus memilih, aku ingin pergi ke dalam pengasingan kaumku yang terusir dan tertindas. Kaum yang dianggap dan dicela biadab tanpa pengecualian, tanpa kami diberi waktu untuk menjelaskan, tanpa kami diberi kesempatan untuk diadili secara adil.

Hai manusia! Engkau biadab picik! Engkau tuduh kami pembunuh, sedang engkau pembantai! Engkau usir kami dari tanah air sendiri, lalu engkau tumpahkan darah kaummu dengan berkata, "Ini tanahku, enyah kau!"

Engkau lupa bahwa engkaulah sang penjajah atas tanah-tanah dan padang rumput kami. Engkau ambil semua, lalu kau katakan bahwa semua itu milikmu. Engkau perampok! Penjajah! Engkaulah sang kutukan bumi dan engkaulah yang seharusnya enyah!

Your Lucia,
May 13, 2022

Catatan Bucu Kota: Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang