Dalam Remang

2 1 0
                                    

Di ruang kamar yang remang, seorang duduk di depan sebuah meja di dalam telepon genggam yang kupegang. Memutar-mutar cangkir sloki yang berisi cairan berwarna kuning keemasan.

Dia hanya menatap dalam diam.

"Menurutmu, orang sakit dapat sembuh karena dikunjungi seorang teman lama?" ucapnya membuka keheningan.

"Menurutmu, orang yang sakit sembuh karena obat atau karena sebuah doa seorang yang mengunjunginya?" lanjutnya pelan.

"Mungkin keduanya, mungkin bukan keduanya, mungkin salah satunya saja."

Keheningan kembali menguasai kamar yang remang dalam kesendirian. Dia mulai mengangkat cangkir sloki dan meminum isinya dalam sekali teguk.

"Bagiku, tak ada seorangpun yang bisa menolong seseorang, kecuali dirinya sendiri. Apa yang orang lain lakukan hanyalah menunjukan jalan, terbaik atau terburuk, mereka tak melakukan suatu hal lebih daripada itu.

"Seorang anak muda pernah datang padaku untuk meminta bantuan menghukum seorang yang selalu menganggunya di sekolah. Aku hanya terdiam, lalu tertawa. Dia tampak tak senang pada sikapku, tetapi itu bukan masalah. Dia tak perlu senang, bahkan memang tak memerlukan diriku.

"Aku mengeluarkan belati dan meletakkannya di atas meja. Anak muda itu tak berbicara apapun. Lalu aku berkata, 'Silakan pergi atau belati ini akan bersarang di badanmu.' Dia tampak mengigit bibirnya dan bertanya apa maksudku berkata demikian.

"Kukatakan padanya, 'Jika kau takut mendengar ucapan itu, orang lain juga takut, aku juga takut. Untuk menghadapi ketakutan itu kau harus lebih berani, lebih kuat. Bawa belati ini, selesaikan urusanmu sendiri.'"

Dua atau tiga detik kemudian, video yang diputar telah berganti pada video lainnya yang tersimpan di dalam ruang penyimpanan telepon genggam. Aku mematikannya, lalu memandang kepada sesosok bayangan yang duduk tanpa sepatah katapun di sebelah ranjang.

"Dia bukan orang yang baik, tapi bukan pula orang jahat," cakapku padanya.

"Aku tak peduli soal itu. Tak ada orang baik ataupun jahat. Mereka hanya berbuat baik atau jahat, tak pernah menjadi salah satunya."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Tak ada yang harus kau lakukan."

"Jika aku tak melakukan apapun, masalahku tak akan terselesaikan." Aku mencoba untuk merayu agar ia dapat berbicara dan memberikan jawaban yang kuharapkan.

"Jika demikian... lakukan apa yang ingin kau lakukan."

"Tapi... tapi aku tak tahu harus melakukan apa...."

Ia terdiam beberapa saat, "Kau tahu, sayang, aku yakin kau tahu. Kau hanya takut jika yang kau lakukan berakhir tidak benar. Kau takut jika masalah akan timbul lagi."

Aku tak segera menjawab. Pikiranku melayang pada sebuah fantasi ketika aku mencoba menyelesaikan masalah-masalah yang kini menggerogoti seperti penyakit parasit, tetapi hanya membuat parasit itu semakin erat akarnya.

Menjadikan kepedihan luka yang tertanam semakin dalam kurasakan. Ia benar bahwa aku takut semua hal akan bertambah buruk.

"Bagaimana jika aku gagal dan seluruh dunia membenciku?" tanyaku padanya.

Ia tertawa pelan, "Menurutmu aku harus membencimu juga?"

"Jangan!" tegasku.

"Jika kau tak suka aku membencimu, maka aku akan tetap mencintaimu." Tampak segaris senyum tipis di wajahnya dan melanjutkan, "Dunia telah menjadi buruk. Kau telah menjadi yang terburuk. Keduanya tak akan menjadi lebih buruk lagi.

"Masalahmu memang bukan masalahku, tapi aku mencintaimu dan telah bersumpah melindungimu. Terima kekalahanmu dan hadapilah. Kau tak perlu berperang untuk menang, kau hanya perlu berperang lalu pulang. Aku akan menunggumu. Selalu."

Aku benar-benar tak terlalu paham apa yang ia katakan, ia berkata dengan bahasa yang sulit kumengerti. Memang demikian sejak mula-mula aku bertemu dengannya, ia bukan seorang yang bisa dipahami dan mungkin tak akan pernah.

"Kau sangat beruntung bisa melakukan apapun yang kau sukai dan kehendaki. Membicarakannya seperti semuanya hanyalah hal sepele bagimu."

"Semuanya tidak sepele. Bagiku kau bukanlah hal sepele!"

Ia tampak agak murka dengan pernyataanku, sekaligus menegaskan bahwa aku bukanlah sesuatu yang sepele baginya.

Ah betapa indahnya mendengar ungkapan bahwa masih ada seorang yang tak membenciku, bahkan mencintaiku! Apa ia bersungguh-sungguh?

"Aku memang belum bisa memahamimu, tapi aku tau kau tak senang menunggu. Aku juga tau kau bukanlah orang yang lemah. Mau kau ikut berperang bersamaku?"

Cahaya matanya tampak berbinar dalam keremangan cahaya rembulan yang masuk melewati celah-celah jendela kamar. Tampak kebahagiaan yang luar biasa besar sekaligus aneh dalam pandanganku pribadi.

Dengan semangat ia berkata, "Apakah ini berarti aku kembali ditugaskan, Mayor?"

"Ya! Engkau kembali kutugaskan untuk menjadi pengawal dalam kehidupanku. Sebagai kawan seperjuangan. Sebagai kekasih yang kucintai."

"Terimakasih telah memberikanku kesempatan lagi. Terimakasih. Kali ini aku pasti akan menjagamu dengan benar. Pasti."

Aku yakin ia benar-benar menyatakannya dengan tulus. Sangat jarang aku melihatnya tersenyum semanis itu.

Kupikir aku tak pernah suka untuk melibatkannya, tapi aku mulai menyadari bahwa ia memiliki kebahagiaan hanya dengan bersamaku. Aku pula kesepian selama ia tak lagi bersamaku.

Aku tak pernah tahu bahwa aku telah melakukan hal yang benar atau salah. Pemahamanku mulai kabur dan berkabut.

Semakin banyak dan keras perjuanganku mencari arti dan kebenaran itu, semakin dalam pula aku tenggelam dalam lumpur hitam kelam.

Terserahlah! Aku hanya tahu bahwa kini aku pun telah mencintainya tanpa syarat. Aku hanya ingin bersamanya!

Your Lucia,
May 8, 2022

Catatan Bucu Kota: Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang