Detik dan detik berlalu mengantarkan orang-orang tertidur lelap di malam yang tenang, kecuali aku.
Kupikir. Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak terakhir kalinya dapat tertidur di malam hari.
Lama. Sangat lama sepertinya. Aku sudah tak ingat kapan dan bagaimana.
Jantung yang terus berdetak mengusik ketenangan yang sangat ingin kurasakan. Aku ingin dia berhenti, tapi itu mustahil.
Dia tetap berdetak selama aku masih hidup, meski semua itu tak diharapkan.
Mungkin, seperti inilah dunia ini bekerja. Mereka tetap melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, meski tak seorang pun menginginkan atau berharap.
Seperti... keberadaanku.
Semasa dahulu aku kecil, aku penuh dengan mimpi. Penuh dengan harap. Ada banyak hal yang ingin dilakukan. Ada banyak tempat ingin dikunjungi.
Banyak.
Sangat banyak.
Namun, dunia tetap menjadi dirinya sendiri. Melakukan apa yang mereka inginkan tanpa mempedulikan keinginan seorang anak manusia yang polos nan naif.
Waktu yang berlalu cepat dan lambat lantas menyadarkan akan semuanya. Mimpi yang terang hanya diwujudkan dengan tidur lelap atau memakai ganja.
Dunia ini bukan untuk pemimpi, bukan pula untuk orang-orang yang berharap. Mereka pada akhirnya akan berakhir di satu lubang yang sama: kesendirian dan keputusasaan.
Mimpi dan harapan yang tersisa, satu persatu perlahan hilang, runtuh, hancur, sampai suatu waktu... tak lagi tersisa.
Ketika seorang menyadari bahwa mimpinya telah tak lagi bersisa, dia kemudian menyadari bahwa dirinya hampa dalam kesendirian. Dia menyadari terlalu lama mengejar mimpi, teman baik satu-satunya yang dia miliki.
Tak ada orang lain dalam hatinya. Sekali lagi, dia sekarang sendirian.
Mimpi telah meninggalkannya.
Dalam ruang kehampaan, dia hanya berdiam diri. Tak melakukan apapun. Tak berkata apapun. Hingga suatu waktu telah berlalu panjang, dia menangis.
Menangis sejadi-jadinya. Menangis membasahi bantal-bantal yang dia jadikan alas kepala. Hal yang terus terjadi berhari-hari kemudian.
Seorang kemudian bertanya, "Mengapa kamu menangis?" Dia menjawab tidak tahu.
Seorang itu bertanya lagi, "Apa yang kamu tangisi?"
Dia menjawab tak mengerti. Dia tak menutup-nutupi, dia memang tak mengerti apapun, baik tentang dirinya sendiri maupun perasaan yang secara paksa masuk mengisi kehampaan hati.
Apa yang dia ketahui hanyalah satu: dia ingin menangis.
Dia telah tak berarti untuk dirinya sendiri.
Kemudian waktu-waktu berjalan cepat, hari terasa seperti jam, jam terasa seperti menit dan menit seperti detik. Semuanya berlalu tanpa ada kesan atau kenangan.
Setelah itu, tiba-tiba waktu terasa berat baginya. Dia menyadari bahwa kehidupan telah menolak memberi ruang-waktu agar dirinya tetap ada.
Kesendirian yang sepi bertambah-tambah sepi.
Tak seorang lagi mengharapkan, bahkan kutu sekalipun.
Ya, itulah aku.
Seorang yang tenggelam dalam lautan tak berujung. Dalam kehampaan tiada arti.
Seorang yang telah melupakan dan dilupakan dunia. Seorang yang telah kehilangan mimpi-mimpi dan harap.
Seorang yang tak lagi mengerti arti dari sebuah emosi. Seorang yang... menyerah pada kehidupan.
"Dear God, pulangkan aku ke rumah-Mu. Tarik nafas dan detak jantung ini. Damaikanlah aku. Bebaskanlah aku. Your Lucia. "
;
Your Lucia,
March 18, 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Bucu Kota: Kumpulan Cerpen
Short StorySastra merupakan tulisan berseni tinggi, tapi sayang seni yang dibalut kata romantis sering membuat lupa diri atas kepahitan dunia nyata. Orang lain harus hidup dalam mimpinya mengejar ideal dan utopis tanpa mengetahui kepingan kisah para sampah yan...