Alienasi Zine

8 1 0
                                    


 "Di! Hei! Kau melamun lagi?"

Suara itu mengembalikan fokusku pada Mikael yang duduk persis di depanku. Dia dengan wajah ramahnya terlihat begitu damai. Aku tidak mengerti apa yang membuat Mikael begitu spesial di mataku. Kadang aku merasa seharusnya tidak ada yang begitu spesial pada laki-laki itu. Barangkali memang karena kekuatan cinta saja yang membuat Mikael menjadi sesuatu yang berarti di pandanganku.

"Kau terlalu banyak melamun tahu! Aku tahu kita ini butuh banyak ide tapi bukan berarti kau ini bisa hilang dalam pikiranmu begitu saja ketika sedang mengobrol."

"Maaf" ucapku. "Aku nggak bermaksud."

Mikael mengacak-acak poniku. Aku menepis tangannya.

"Kau tahu, aku menghabiskan lima belas menit untuk menata rambutku pagi ini? Kau tidak bisa sembarangan begitu membuatnya berantakan."

"Kau lebih keren kalau terlihat berantakan" Mikael menggoda dan wajahnya menjadi sungguh menyebalkan ketika begitu.

Mikael menggeser laptopnya ke arahku. "Bagaimana? Ini desain yang sudah aku rancang semalaman. Menurutku warna merah dan hitam cocok untuk tema zine kita. Buku-buku pergerakan banyak yang dicetak dengan warna itu."

"kenapa nggak warna merah kuning coba? Lebih melawan kan? Kiri banget" ujarku menggoda Mikael.

"Kau mau hilang?"

"Penakut! Kan kita bisa bilang, warna ini terinspirasi dari produk makanan cepat saji kok, kiri apanya? Kapitalis banget gini juga."

"Bener juga sih" Mikael menganggukkan kepalanya, "Tapi serius, bagaimana?"

Aku meraih laptop Mikael dan memperhatikan desain zine yang sudah ia rancang. Sebenarnya aku benar-benar yakin saja pada desain Mikael karena aku sendiri juga sebenarnya tidak begitu mengerti soal seni.

"Menurutku sih sudah bagus." Aku mengacungkan kedua jempolku,

"Jadi sudah siap cetak nih bos?"

"Aku baru kepikiran apa menurutmu kita perlu tambah kolom review musik atau film gitu ya? Biar lebih segar aja sih! Maksudnya biar ada hiburannya juga jadi nggak serius-serius banget."

"Tapi bukannya memang zine ini diperuntukkan buat jadi anti tesis majalah kampus yang infonya cuma tentang kegiatan-kegiatan yang diadain sama birokrasi kampus ya?"

"Iya, tapi kan banyak juga musik atau film yang bisa menggerakkan semangat perlawanan kan? Seni juga seringkali jadi media buat melawan, yakan?"

"Benar sih, jadi kita undur waktu terbitnya? Atau kau sudah punya tulisan jadi?"

Aku menggelengkan kepalaku. "Jangan undur waktu tapi aku belum punya tulisannya sih. Kau apa tidak punya kenalan yang suka menulis review film atau musik?"

Mika tampak mencoba mengingat daftar kenalan-kenalannya. Mika termasuk salah satu manusia yang punya banyak kenalan karena dia termasuk sosok yang tergolong mudah bergaul. Mika juga sosok mahasiswa aktif yang punya segudang kegiatan. Aku tidak mengerti bagaimana ada manusia yang punya banyak energi seperti dia.

"Ada!"

"Siapa?"

"Besok aku bawa dia kehadapanmu bos!"

"Oke"

"Kau mau makan dulu sebelum kita pulang?"

"Ke tempat biasa?"

Mika mengangguk.

Tempat biasa yang dimaksud adalah warung milik bu Imah. Warung makan yang harganya bersahabat dengan para mahasiswa. Seporsinya hanya sepuluh ribu rupiah, dengan itu kau sudah bisa memilih lauk dengan ayam atau ikan serta tambahan tempe sambal teri dan sayur-mayur seperti kangkung tumis, bayam rebus, dan lainnya. Kalau dengan telur jadi lebih murah yaitu hanya sekitar tujuh ribu rupiah. Es teh manisnya yang segentong dan sangat nikmat hanya dihargai lima ribu rupiah. Dan yang paling membuat warungnya bu Imah sangat ramai yaitu karena di warung ini bisa ngutang. Kata pepatah di warung-warung sih, hiroshima mati karena bom dan warung mati karena bon, tapi entah kenapa warung bu Imah tidak ada matinya seperti nama warugnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SengapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang