bab 1

15 1 0
                                    

Drett.....

Drett....

Drett....

Pagi-pagi hpku sudang berbunyi, dan ketika ku lihat sudah ada tiga panggilan tak terjawab dari Yuli adik iparku, ada apa dia pagi-pagi meneleponku? aku baru saja selesai mencuci baju, akhirnya ku putuskan untuk menelepon kembali , siapa tau ada keperluan yang sangat penting.

tutt... tutt... tutt...

"Halo mbak, kamu kemana saja? dari tadi aku meneponmu tapi tidak ada jawaban." sosor yuli adik iparku itu.

"maaf yul tadi aku sedang mencuci pakaian, tidak terdengar hp berbunyi, ada apa kamu meneleponku pagi-pagi?" jawabku seadanya karena memang itu kenyataannya.

"tolong antarkan Putra ke rumah mama, hari ini aku akan mendaftarkannya ke sekolah dasar di dekat rumah mama, dua minggu lagi tahun ajaran baru akan masuk, dan Putra belum juga menemukan sekolah yamg cocok untuknya, apakah kau tidak mau Putra sekolah seperti anak-anak lainnya?" kata-kata adik iparku ini sangat pedas terdengar di telingaku karena beberapa waktu ini aku sangat sensitif jika membahas tentang sekolahnya Putra.

"Aku sudah mendaftarkannya ke tiga sekolah tapi sekolah-sekolah itu menolak Putra dan menyarankan Putra sekolah ke Sekolah Luar Biasa, karena dia butuh bimbingan khusus yul". jawabku dengan suara sedikit bergetar.

"Bagaimana mungkin Putra akan sekolah di sana? dia terlihat baik-baik saja."

"Putra tidak fokus dengan pertanyaan yang di berikan guru padanya.. dia tidak bisa menjawab pertanyaan yang di berikan guru, tetapi dia memberikan pertanyaan lain ke pada guru yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan pertama yang di berikan guru kepadanya" aku masih mencoba menjawab setenang mungkin.

"itu karena kesalahanmu yang tidak mengajari Putra berbicara dari kecil, dan tidak membiarkan dia bermain dengan teman sebayanya..! antarkan saja Putra ke sini, biar aku yang mengurus sekolahnya". kepalaku mendadak langsung panas mendengar celotehan Yuli.

"Baiklah, aku akan mengantarkannya ke rumah mama, mungkin dengan ojek saja, karena perjaanku belum selesai" jawabku ingin mengakhiri percakapan panas ini.

"oke.. aku tunggu. cepat ya."
tutt...

Akhirnya sambungan telepon terputus, aku merasa sedikit lega, tapi air mataku jatuh mengalir deras mengingat perkataan iparku tadi, mereka selalu menyalahkanku dengan apa yang terjadi kepada Putra, tidak terkecuali suamiku.

Suamiku pernah berkata jika Putra lambat berbicara karena aku terlalu mengurung Putra di rumah dan tidak membiarkan dia bermain dengan anak sebayanya, bukan aku mengurung anak untuk bermain, tetapi anak-anak lain membulinya karena sikap dan tingkah laku Putra yang di bilang sedikit aneh oleh teman-temannya, seperti dia sering mengulang-ngulang kata dan tertawa karena menganggap kata-katanya itu lucu, pada hal tidak lucu sedikit pun.

Setelah selesai menjemur pakaian yang baru ku cuci tadi, aku memandikan Putra, anakku ini berumur 7 tahun, jika di lihat sekilas tidak ada yang menyangka kalau dia memiliki kekurangan, dan mungkin itulah sebabnya keluarga suamiku tidak mau memasukkan Putra ke Sekolah Luar Biasa, atau mungkin mereka malu jika ada keturunannya sekolah di sana? aku juga tidak tahu.

"Putra selesai mandi kita makan, dan Putra perginke rumah nenek naik ojek ya, karena pekerjaan Bunda masih banyak." kataku kepada Putra sambil memandikannya.

"Iya Bunda, tadi aku main kapal2an ojek motor bun? sangat seru! hahahaha.... ". celoteh anakku Putra, seperti itulah kosa kata yang dia keluarkan, sulit dimengerti dan dia berbicara selalu di akhiri dengan tertawa terbahak-bahak seolah sedang menonton Opera Van Java saja.

"Nanti kalau Putra tiba di rumah nenek jangan nakal ya, jangan tertawa terus, bunda tidak ingin anak bunda di katakan gila oleh orang lain karena sering tertawa", aku berkata begitu karena pernah mendengar Putra di katakan gila oleh teman-teman TKnya dulu.

"Siap bun, Putra janji tidak akan tertawa lagi.. tapi tadi putra tertawa karena sedang membayangkan betapa serunya naik kapal laut bun, dan seaindainya kita punya kapal, Putra akan membawa orang-orang naik kapal menusuri sungai dan meminta upah kepada mereka". jawab putra menerangkan tentang yang dia fikirkan kepadaku.

Jika ada yang mengerti sebenarnya dia berkata sambil tertawa itu adalah imajinasinya yang se olah-olah nyata, dan dia terbawa perasaan dengan imajinasinya yang tinggi itu, tapi sayangnya orang-orang tetap menganggap anakku lain dari pada yang lain.

Setelah selesai menyuapi Putra aku menepon ojek langgananku untuk membawa Putra ke rumah neneknya, menyuapi? ya,, jika ke adaan terdesak aku selalu menyuapi anakku itu untuk makan, jika tidak akan butuh waktu lebih dari setengah jam untuk makan saja, dia akan makan sambil berbicara dan tertawa, mungkin ada hal lucu yang sedang dia fikirkan ketika sedang makan, dan terkadang fikirannya seperti menerawang jauh dan sedang memikirkan hal yang sangat serius, sehingga akan membuat waktu makannya semakin lama.

Hhhhh.... Putra,,, terlalu banyak bulian yang aku terima karena anakku ini yang tidak biasa, dia bisa berbicara di saat akan berumur empat tahun, sebenarnya dia bisa mengucapkan kata, hanya saja tidak terlalu sering, dia akan berbicara ketika benar-benar terdesak, seperti ingin kencing, makan atau mau minum.

Berbagai upaya yang sudah aku tempuh demi membuat Putra bisa cepat berbicara seperti anak-anak lain pada umumnya, seperti terapi bicara sekali seminggu di Puskesmas, tapi aku hanya sanggup manjalankan terapi bicara untuk Putra hanya tiga kali pertemuan, mengingat sekali terapi bisa menghabiskan uang seratus ribu, setara dua hari gaji ayahnya yang bekerja sebagai kuli di sawah.

Akhirnya sang terapis menyarankan anakku untuk memasukkan sekolah lebih awal, yaitu di umur 4 tahun, banyak kerabat yang menentang keputusanku untuk menyekolahkan Putra lebih awal, ada yang menganggap sekolah PAUD hanyalah membuang-buang waktu dan uang, karena anak-anak hanya bermain-main dan bernyanyi, itu bagi yang punya pikiran dangkal dan tidak mau membuang-buang uang.

Awal sekolah PAUD putra memakai popok ukuran xl, aku sengaja memakaikan popok pada anakku karena dia ingin kencing ketika benar-benar sudah sesak, aku takut jika dia akan kencing di celana di sekolah dan di tertawakan oleh teman-temannya, tentu hal itu akan membuat mentalnya sedikit terpukul, Putra anakku sedikit sensitif, dia gampang menangis jika mendengar hal buruk di tujukan padanya.

Sempat aku menyesali mengapa semuanya terjadi kepada anakku, tatapi ketika memandang wajahnya ketika tidur, air mataku jatuh tak terkendali, meminta maaf kepada yang kuasa dan memelum ankku erat-erat sambil meminta maaf padanya.

Terkadang aku sering memarahinya karena tidak bisa menahan sakit hati dari ocehan orang-orang yang berkata buruk dan menyalahkanku tentang keadaan Putra, aku beruntung karena kelargaku masih memberikan semangat kepadaku, terutama ibuku, karena Putra adalah cucu beliau satu-satunya karena aku adalah anak pertama dan adik-adikku masih sekolah.

Bukan serial Taare Zameen PaarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang