Setelah 4 hari tidak update gara-gara susah merangkai kata untuk di jadikan kalimat, aku menjadi semangat lagi mengetik karena melihat ada yang mengunjungi novel ini dan menambahkannya ke daftar pustaka,, terima kasih untuk yang sudah mampir,,, kehadiran readers memberi semangat baru untukku kembali merangkai kata menjadi sebuah kalimat di novel ini.***
Sore ini aku ingin mengajak Putra bermain ke luar, sekedar jalan-jalan sore saja, bang Rudi sedang memanaskan motornya, tiba-tiba ada tetangga yang sedang jalan dengan anak perempuannya yang baru berumur tiga tahun melewati rumahku.
"Hallo dek Nayla, mau kemana?". sapa Putra sambil mengusap kepala Nayla gadis kecil itu.
Nayla hanya memberikan senyuman manisnya kepada Putra.
"Hai juga bang Putra, Nayla mau pergi ke warung depan, abang mau pergi jalan-jalan ya? sudah rapi banget". jawab Mira ibunya Nayla.
"Iya tante,, putra mau pergi jalan-jalan sebentar sama motor ayah". jawab Putra.
"Nayla boleh ikut nggak bang?"
"Boleh tante, ntar biar Nayla duduk di depan".
"Terima kasih bang Putra, Tante hanya bercanda, tante pergi dulu ya". pamit Mira sambil berlalu.
"Putra kok tadi pegang kepala Nayla? kalau Naylanya takut dan nangis gimana?" tanyaku kepada Putra karena tidak biasanya dia bersikap seperti itu.
"Tapi Nayla nggak nangis kok bun, kemarin aku pegang Nayla juga nggak nangis, aku pengen punya adik cantik bun, biar ada teman bermain, teman-teman Putra jahat sama Putra, mereka ngetawain Putra". kata Putra dengan wajah yang tiba-tiba murung.
"Kenapa Putra tiba-tiba pengen punya adik?, ntar kalau punya adik jajan Putra jadi berkurang karena duitnya harus di bagi dengan adik".
Aku kasihan dengan Putra karena tidak ada teman yang mau bermain dengannya, mungkin karena kekuranggannya di anggap aneh dan di jadikan bahan tertawaan oleh teman-teman sebayanya.
"Nggak apa-apa bun kalau semua uang jajan Putra buat adik, yang penting jika Putra punya adik dia pasti sayang sama Putra dan Putra ada teman main juga biar nggak sendiri lagi". Ada sedikit harapan ku lihat di mata Putra.
"Ya sudah kalau Putra mau punya adik, mulai sekarang Putra harus rajin menabung ya, biar uangnya bisa buat beli adik, jangan lupa selalu rajin shalat dab berdo'a sama Allah, minta adik yang baik dan sholaha sama Allah ya nak". jawabku sambil mengusap sayang kepala Putra.
"Ayah sama bunda kan ada duit, kenapa nggak beli sekarang aja bjn, mumpung kita lagi jalan-jalan sore. Yah, kita singgah dulu ke tempat bidan El ya yah, kemarin teman Putra beli adiknya di sana yah". Pinta Putra kepada ayahnya.
"Putra, kalau kita belum usaha Allah belum mau ngasih adik buat Putra, makanya bunda tadi minta putra menabung, dan berdo'a sesudah shalat, supaya Allah cepat ngasih adik sama Putra, kalau kita sungguh-sungguh dalam berusaha dan berdo'a, Insya Allah, Allah pasti akan mengabuljan apa yang kita minta". jawab Suamiku sambil tersenyum sedikit di kulum.
Maklumlah, sebagai kita harus pintar menjawab pertanyaan anak yang sedikit sensitif, apa lagi untuk anak-anak, kita harus bisa memfilter ucapan yang akan di katakan, jangan sampai generasi penerus kita menjadi generasi karbitan alias dewasa sebeluk waktunya.
"Baiklah bun, mulai sekarang Putra janji akan rajin shalat dan menabung, Putra ingin punya adik cantik dan dan rambut yang panjang".
Sore itu wajah Putra sangat cerah, karena harapan ingin punya adik perempuan, mungkin memang sekaranglah waktunya untukku melepas inplant yang sudah enam tahun terpasang di tangan kiriku, sebenarnya sudah pernah di bongkar tiga tahun yang lalu, akhirnya di pasang lagi dengan yang baru, mengingat Putra masih butuh bimbingan khusus.
Aku takut jika Putra cepat punya adik perhatian kepadanya menjadi berkurang, aku tidak ingin dia cemburu kepada adiknya sendiri, sehingga aku dan suamiku sepakat akan memberinya adik jika Putra menginginkannya, semoga keinginan Putra cepat terkabul, aamiin.
***
"Dek, Putra sudah tidur belum?"
"Sudah bang, kenapa emangnya bang?"
"Tolong bikinin aku kopi donk".
"Kok bikin kopi? sudah jam sepuluh malam ini, emangnya belum ngantuk bang?".
" Kalau ngantuk ya tinggal tidurlah, kopi nggak ngaruh kok sama aku, nggak akan bikin mata melek". Jawab suamiku sambil memainkan androidnya.
Itulah ke istimewaan suamiku, tidak akan membuat matanya melek kalau ngopi malam hari, kalau sudah waktunya tidur dia pasti akan tertidur juga walau pun baru saja minum segelas kopi.
"Ini kopinya bang, oh ya bang, gimana kalau aku lepas saja inplant ini, kan Putra katanya mau punya adik, lagian juga sudah waktunya kita merencanakan punya anak lagi, umur Putra sudah tujuh tahun". kataku kepada suami sambil mangaduk kopi dalam gelas biar gulanya cepat larut tentunya.
"Terserah kamu sajalah dek, lakukan menurutmu mana yang terbaik untuk keluarga kita".
"Ya bang, lagian aku juga sudah ingin menimang bayi lagi, teman SMPku saja sekarang anaknya sudah ada tiga orang, pada hal dia hanya duluan setahun menikah dari kita". jawabku sambil melipat kain, kemarin aku belum sempat melipat kain karena ada yang menungguku mempermak baju sekolah anaknya, katanya baju anaknya itu kebesaran, pekerjaan rumah jadi sedikit terabaikan.
Tapi aku bersyukur karena orang itu membayar sesuai dengan yang aku minta, terkadang ada pelanggan yang minta diskon, upah jahit enam puluh ribu baya rnya hanya lima puluh ribu, andaikan mereka tau bagaimana rasanya menjahit mungkin mereka tidak akan melakukan hal itu.
Aku hanya berusaha untuk ikhlas mengerjakan pekerjaanku, mingkin rejekiku ada sama pelanggan yang lainnya.
"Tidak perlu kamu bandingkan hidup kita dengan orang lain dek, kalau kita punya anak tiga orang dengan jarak umur yang dekat, bagaimana nanti dengan pendidikan mereka, apa lagi penghasilan kita masih terbilang rendah, kamu bayangkan saja anak pertama mau masuk sma, yang ke dua mau masuk smp, dan terakhir kelas lima sd, apa kah kita akan sanggup mengeluakan biaya yang begitu banyak?
Lebih baik anak di jarakkan, anak yang pertama mau masuk smp dan adiknya baru masuk sd, biar tidak terasa terlalu berat dek, tapi kalau ekonomi kita mapan, aku tidak masalah dengan jumlah anak kita, asalkan kau tidak terlalu kerepotan merawat mereka".
"Namanya punya anak pastilah repot bang, di saat istri kerepotan di situlah di minta kemurahan hati suami untuk membatu meringankan kerepotan istri, yang penting seiya sekata suami istri yang di perlukan bang". Sahutku memberikan pengertian kepada suamiku.
"Apakah selama ini aku membiarkanmu kerepotan dek?"
"Sekali-sekali iya bang, tapi dasar kamunya saja yang tidak peka". Sungutku.
"Jangan-jangan kucing tetangga kemarin yang teriak gara-gara kamu dek?". Tiba-tiba suamiku tertawa.
"Terserah abang, aku mau tidur". Aku berlalu masuk ke kamar tidur.
"Bagaimana dengan adiknya Putra dek? kapan produksinya di mulai??"
"TERSERAH!!!"
Dhuarrr!!!!
Bunyi pintu yang ku banting sangat keras, dasar suami, omongannya tidak di filter dulu, bagaimana kalau terdengar sama tetangga sebelah, kan aku jadi malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan serial Taare Zameen Paar
RandomCerita ini tentang perjalanan hidup seorang ibu rumah tangga yang mempunyai anak yang harus bersekolah di sekolah Luar Biasa, bukan karena anak bisu atau buta, tetapi karena anaknya menderita disleksia, Suatu gangguan belajar yang ditandai dengan ke...