bab 2

8 1 0
                                    

Sambil menunggu Putra dari rumah mertuaku, aku langsung melakukan pekerjaan rumah yang tadi sempat tertunda, jika ku pikirkan semua omongan pedas orang-orang tentang anakku ingin rasanya aku tidak ada di dunia ini, karena apa pun yang terjadi akulah yang selalu di salahkan.

Pernah suatu hari saat sedang ada tamu di rumah, tiba-tiba anakku menangis, kalau di pikir-pikir wajar jika ada anak-anak menangis jika bertemu orang baru, karena ada rasa waspada pada diri anak, dengan entengnya tamu itu mengatakan kalau anaknya menangis karena aku tidak pernah membawa Putra ketempat keramaian.

"Hai Ranti, pagi-pagi sudah melamun? kenapa sendirian saja? Putra mana?" tiba-tiba datang seseorang menghampiriku yang sedang duduk termenung karena memikirkan keadaan.

"eh..... ada bude, ngagetin aja. ada apa bude?" Ternyata yang datang adalah bude Ita, kerabat ayahku.

"Begini nti, bude mau nanya, apa benar Putra akan kamu sekolahkan di SLB?" tanya nide Ita sedikit hati-hati mungkin karena takut aku tersinggung.

"Benar bude, semua guru di sekolah yang ku temui menganjurkanku menyekolahkan Putra ke sana, dan kepala sekolahnya langsung memberikan nomor hp guru yang ada di sana untuk pendaftaran". terangku.

"oo... bude hanya ingin bertanya saja, oh ya! Putra di mana? biasanya dia selalu berada di dekatmu".

"Putra sedang di rumah mertuaku bude, adik iparku ingin mendaftarkannya sekolah di sana, katanya Putra pasti bisa sekolah di sekolah umum karena dia pikir tidak ada yang perlu di khawatirkan dengan keadaan Putra karena dia terlihat normal seperti anak-anak lainnya."

"maaf sebelumnya Ranti, bude cuma mau ngasih saran, jika memang Putra harus sekolah di SLB lebih baik kamu sekolahkan saja di sana, tidak semua anak-anak yang sekolah di sana itu bodoh, guru di sana lebih fokus mengajar di sana karena satu ornag guru membimbing 4 murid, sedangkan di sekolah umum satu guru mengajar puluhan murid, dan itu bisa berakibat buruk kepada perkembangan Putra, karena dia lebih lamban dalam memahami pelajaran dari anak-anak lainnya". jelas bude Ita panjang lebar.

Ku pikir bude Ita akan menyudutkanku juga, ternyata dugaan itu salah, perkataan bude Ita seolah menjadi angin segar untukku, karena jarang orang yang mau mendukung keputusanku tentang pendidikan Putra.

Lebih banyak menyalahkan dan memojokkanku saja tanpa tau masalah sebenarnya.

Ya,, namanya juga nettizen di dunia nyata, tidak pernah salah dan selalu menyalahkan orang lain.

"Terima kasih banyak atas saran bude, aku memang berencana akan memasukkan putra sekolah disana, tetapi keluarga suamiku seperti tidak setuju, aku tidak tau apakah mereka malu jika punya anak yang sekolah disana, jadi aku akan menunggu kabar dari sana dulu." jawabku kepada Bide Ita.

"Kau tau anakku Adi? aku sangat menyesal tidak menyekolahkannya di SLB, karena aku dulu malu jika anakku harus sekolah di sana, orang-orang menganggap murid yang bersekolah di sana adalah anak idiot, pada hal banyak dulu yang menyarankanku menyekolahkan Adi di sana." terlihat ada sedikit sesal di mata Bude Ita.

"Adi tidak tamat SD kan bude?" tanyaku hati-hati.

"Ya, dia tidak tamat SD, karena dia malu jadi bahan olokan teman-temannya di sana, seandainya dulu aku memasukkannya sekolah di sana pasti sekarang Adi sudah tamat SMA, itulah sebabnya aku menyarankanmu menyekolahkan Putra di sana, jangan malu dengan perkataan orang, mereka hanya bisa berbicara tanpa menilai." penjelasan bude Ita seperti memberi harapan baru padaku.

***
Sore harinya, ketika baru saja selesai menggosok baju yang baru kering dari jemuran , tiba-tiba suami dan Putra anakku datang, pekerjaan suamiku adalah buruh tani, bang Rudi suamiku lebih sering bekerja di dekat rumah orang tuanya karena di sana banyak yang membutuhkan tenaganya.

Alhamdulillah dengan pekerjaan bang Rudi sebagai buruh tani dia sudah memberikan tempat tinggal yang layak untuk keluargaku, walaupun hanya rumah kecil semi permanen dengan satu kamar, tapi sangat tenang karena jauh dari orang tua dan mertua.

karena kami berprinsip sebelum menikah, jika setelah menikah nanti mereka tidak akan tinggal di rumah orang tua, lebih baik mengontrak rumah tinggal dengan keluarga.

Bukannya sombong, tetapi bang Rudi tidak ingin terjadi peselisihan antara keluarganya dengan istrinya, karena banyak kejadian mertua atau ipar berselisih dengan menantu karena tinggal satu atap.

Pekerjaanku sehari-hari adalah ibu rumah tangga, tetapi dia juga menerima jahitan, namanya juga tinggal di kampung menjahit baju adalah alternatif akhir yang di lakukan oleh orang-orang, ada yang datang karena terpaksa membuat baju baru takut bahan yang di kasih orang mubazir.
warga di desa lebih memilih membeli baju siap pakai dari pada pergi membuat baju ke tukang jahit, karena upah jahit lebih mahal dari harga kain, katanya.

"Bagaimana keputusan dari sekolah di sana Bang? apakah anak kita bisa sekolah di sana?" tanyaku sambil membuatkan kopi untuk bang Rudi.

"Tadi pihak sekolah menyarankan Putra di bawa ke psikolog yerlebih dahulu." jawab suamiku.

" Kenapa ke psikolog? kapan kita akan membawa Putra ke sana?" Aku sedikit heran kenapa harus membawa Putra anak kami ke psikolog.

"Pulang dari sekolah tadi Yuli langsung membawa Putra ke psikolog, kata psikolog anak kita menderita disleksia, karena responnya lamban dan dia bingung ketika melihat huruf karena seakan-akan huruf itu seperti bergerak, dan Putra juga menulis huruf banyak yang terbalik, dan psikolog menyarankan Putra untuk sekolah di SLB terlebih dahulu, semoga saja Putra bisa sekolah di sekolah umum setelah mendapat bimbingan khusus dari sana". kata bang Rudi sambil menyeruput kopi yang ku buat tadi.

"Aku sudah menduga Putra mengalami disleksia, karena aku tau itu setelah nonton filmnya Aamir Khan yang berjudul Taare Zameen Paar, tapi abang tidak percaya kepadaku". sungutku kepada bang Rudi.

"Bukannya aku tidak percaya kepadamu, tetapi aku tidak menyukai film bollywood sedikit pun, aku lebih suka melihat aksi Vinz Diesel dari pada film joget di segala kondisi". kelakar bang Rudi sambil menyentuh kepalaku.

"maksudmu apa? joget di segala kondisi? kau tau film itu sangat menginspirasi, air mataku saja mengalir menonton film itu karena saking terharunya." balasku yang tidak mau jika vang Rudi menjelekkan film kesukaanku itu, yaitu film Bollywood.

"kau lihat saja, mereka menyanyi dan menari di segala kondisi, tidak peduli apakah sedang senang atau sedih menari dan menyanyi jalan teroosss... dan lagian butuh waktu lima menit hanya untuk adegan jatuh dan sekali jatuh tapi ulangannya lima kali juga, kau lihat film yang di bintangi Vinz Diesel, hanya butuh waktu beberapa detik untuk Vinz Diesel menabrakkan mobilnya."sahut bang Rudi sambil tertawa lepas.

Jika menyangkut hobi, aku dan bang Rudi seolah tidak bisa berhenti berdebat, mereka adalah dua perbedaan yang menjadi satu, mungkin ini yang di maksud perbedaan itu indah.

Putra hanya tertawa tertawa terbahak-bahak melihat tingkah bundanya yang manyun karena selalu kalah berdebat dengan ayahnya.

*buat readers yang sudah membaca novelku ini, tinggalkan jejak untuk penyemangat ya.. terima kasih sudah mampir...

Bukan serial Taare Zameen PaarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang