37. Dua Atma Pergi Bersama?
***
Jerdian melangkahkan kaki di sepanjang jalan setapak. Pikirannya terbawa pada ucapan Dokter yang memeriksa Juandra beberapa waktu lalu. Di dalam tubuh Juandra sudah terjadi penumpukkan racun sehingga fungsi ginjalnya sudah tidak dapat lagi di bantu dengan melakukan Hemodialisis. Satu-satunya cara adalah melakukan transplantasi ginjal pada cowok itu. Jerdian berpikir, kira-kira siapa yang akan rela membagi ginjalnya untuk orang lain? Kalaupun ada, itu juga belum tentu cocok dengan tubuh Juandra. Dirinya ingin, tapi mengingat dia yang merupakan perokok dan kerap kali mengkonsumsi minuman yang mengandung kafein, ia agak ragu. Syarat untuk menjadi pendonor adalah memiliki ginjal yang sehat, dna Jerdian ragu apakah ginjal miliknya masuk dalam kategori sehat atau tidak.
Jerdian berdiri di pinggir jembatan Gandaria. Tempat favoritnya ketika ingin sendiri. Terlihat sedikit kerutan di dahi cowok itu, pertanda bahwa otaknya sedang bekerja keras di dalam sana.
Sampai kemudian, telinganya mendengar suara sendal yang berhenti menapak, membuat kepalanya sontak menoleh untuk mengetahui siapa orang yang kini berdiri di sampingnya. Jerdian tersenym simpul, melihat sosok gadis mungil yang tengah beridiri sambal tersenyum kecil. Andrea. Entah apa rencana semesta, kenapa ia selalu dipertemukan dengan perempuan itu ketika keadaan dirinya sedang tidak baik-baik saja.
"Hai," sapa seorang perempuan dengan setelan baju santai dan rambut di gulung ke atas, menyisakan anak rambut yang berterbangan tertiup angin. "Lo pasti lagi ada masalah ya? Soalnya, setiap gue ketemu sama lo disini, muka lo selalu keliatan jelek."
"Berarti kalo lo ketemu gue bukan di tempat ini, gue keliatan ganteng di mata lo, iya?" respon Jerdian, sambil terkekeh kecil.
"Virus narsis Juandra udah nular ke lo, ya?" Pertanyaan itu membuat Jerdian berdecih. Bisa-bisanya mulutnya kelepasan bicara. Jujur, dia agak malu saat ini, tapi nasi sudah menjadi bubur, menarik ucapannya kembali rasanya tak mungkin. Beberapa menit setelahnya, mereka berdua tertawa bersama, entah apa yang lucu. Dengan sedikit inisiatif, Jerdian mengajak Andrea untuk duduk di salah satu bangku yang ada di hamparan rerumputan, di dekat jembatan. Tempat dimana perempuan itu mengobati kembarannya, dulu. Jerdian tak mengerti dengan dirinya sendiri, mengapa ia tak mengusir Andrea, padahal ia datang kesini untuk menyendiri, menenangkan pikiran. Cewek itu menyodorkan sekaleng minuman bersoda yang ditolak oleh lelaki di sampingnya. "Itu kan punya lo, keliatannya juga lo cuma beli satu."
"Tapi, lo lebih butuh ini, Ian." Perempuan berjaket warna merah maroon itu berujar dengan nada yang sedikit memaksa, membuat Jerdian mengambil alih minuman itu.
Satu teguk. Dua teguk. Tenggorokan Jerdian terasa lebih segar. "Semakin dewasa, hal-hal yang gue pengen malah semakin sederhana. Se-simple ditanya 'ada cerita apa hari ini?' atau 'apa harimu berjalan baik?' itu udah cukup bikin gue ngerasa sedikit lega setelah ngelewatin seharian penuh dengan rasa penat. I don't know why, but, itu juga bikin gue ngerasa kalo gue nggak sendiri dan masih ada yang peduli. Lo tahu, senang rasanya jika ada manusia yang bisa memanusiakan manusia lain."
Andrea bergeming di tempat, mendengarkan Jerdian yang sepertinya akan memulai sebuah kisah panjang yang mungkin agak memilukan. Bicara soal kalimat yang cowok itu lontarkan, ada benarnya juga. Merasa bahwa kehidupan ini sudah berjalan rumit, lelah rasanya kalau terus membuat keinginan yang malah mempersulit. Selain itu, bertemu orang dengan rasa manusiawi yang tinggi adalah sesuatu hal yang patut untuk di syukuri. Karena sekarang, banyak orang yang ceritanya ingin di dengar, namun mereka menutup telinga untuk cerita orang lain. Meskipun egois adalah sikap dasar manusia, tapi bukankah seseorang diberi akal untuk lebih bisa mengontrol dirinya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi (Sudah Terbit)
Roman pour AdolescentsJerdian dan Juandra, si kembar yang berlomba-lomba untuk menutupi lukanya masing-masing. Terlihat saling ingin menjatuhkan, padahal mereka saling sayang. Mereka hanya tak tau bagaimana caranya menunjukkan rasa sayang seperti orang pada umumnya. Mamp...