002. Perjalanan 25 Menit

68 19 7
                                    

Word count: 2792 for story only.

.

.

.

.

.

SEPASANG bola mata hitam milik Jerel bergulir bolak-balik dari handphone lalu ke arah pintu utama bangunan Student Center. Satu video tentang materi perkuliahan tadi sudah Jerel tonton sampai selesai, tapi sosok yang dinanti belum juga masuk ke pandangan. Tidak mau ditemani hanya ditemani oleh sepi, Jerel membiarkan lagu-lagu yang berasal dari playlist yang ia buat bersama teman perempuannya itu melantun satu per satu untuk menemaninya.

Bergulir lagi manik jernih itu ke arah pintu kaca besar yang memperlihatkan apa-apa saja yang ada dalamnya kecuali si puan yang ditunggu-tunggu.

Sebetulnya, temannya itu sudah memberi tahu, kalau dia tidak akan secepat itu keluar dari gedung yang menampung potensi para mahasiswa ini. Jerel pun sudah mengiyakan, tapi rasa nggak sabar seperti menggigitinya tanpa ampun. Indra penangkap visualnya ingin tahu bagaimana penampilan perempuan itu; pakai baju warna apa, rambutnya ditata seperti apa, apakah dia memakai pewarna bibir yang berwarna pucat, gelap, atau malah yang terang? Hidungnya sudah tidak bisa menunggu untuk menghirup parfum apa yang dipakai perempuan itu hari ini, yang beraroma permen kapas kah? Atau yang beraroma lily of the valley yang harumnya bisa menempel di jok mobil sampai tiga hari? Telinganya juga pengen cepat-cepat mendengar renyahnya suara yang berceloteh tentang apa yang terjadi padanya selama mereka tidak bertemu.

Ah, gila! Jerel menggigit bibir bagian dalam, mencegah diri untuk tidak tersenyum lebar sendirian kayak orang nggak waras. Ia juga menggelengkan kepalanya yang mulai dipenuhi hal-hal tentang Hawa Jayeswari-berharap dengan begitu bayangan-bayangan indah dalam khayalnya bisa rontok sementara.

Tangannya sekarang memukul-mukul pelan roda kemudi mengikuti ritme lagu yang muncul. Itu lagu yang secara sadar dan tidak sadar sering Hawa nyanyikan.

Be in love, we know

Heart to heart, you feel it too, right?

Hey love, hey love, please wait for a while

Sekarang otak dan rungunya seperti tidak berfungsi dengan benar sebab alih-alih suara si penyanyi asli, yang sampai pada pendengaran Jerel justru suara merdu Hawa. Ia terlalu hanyut sampai suara ketukan di kaca mobil mengganggu ketenangannya.

Tok tok ...

Tok tok ...

Siapa, sih, ini?

Jerel menolehkan kepalanya ke kiri, matanya memicing kurang senang. Namun apa yang tampak pada penglihatannya adalah sosok yang sejak tadi berterbangan dalam kepalanya. Kontan, sorot tajam pada netranya melebur dan melembut.

Hawa Jayeswari tersenyum lebar di luar sana-duh, bukannya lebar lagi, sepertinya perempuan itu tertawa? Agak sedikit menahan geli karena mata kucingnya sampai sebentuk garis saja.

Jerel nggak tahu apa yang lucu sampai ia-Anjrit! Jantung Jerel langsung berdebar melampaui frekuensi normalnya saat mendapati nggak cuma Hawa yang ada di luar sana. Ada Albert Karalam, teman satu program studinya sejak hari pertama, yang juga teman Hawa karena mereka ada di bawah naungan UKM yang sama.

Ini bukan debaran manis yang membuat nyaman, lebih seperti ia tertangkap basah saat sedang melakukan percobaan tindak kriminal. Padahal tindak kriminal apa? Jerel kan cuma menjemput Hawa?

Tapi toh, meski begitu, Jerel akhirnya ikut tertawa juga mendapati dua orang yang dikenalnya itu tertawa.

Cepat-cepat Jerel membuka kunci pintu dan menurunkan kaca mobilnya yang sebelah kiri. Suara Albert langsung menyerbu gendang telinganya.

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang