3

247 51 7
                                    


Jimin

Dari sekian banyak tempat, Jeongguk hampir selalu memilih satu tempat yang hampir bisa diakses semua orang ketika mereka bermesraan atau sekadar cium tangan. Pasalnya, tidak ada yang tahu kalau keduanya menjalin hubungan spesial beberapa minggu ini. Tidak pula ada yang bakal menduga dengan perangai awut-awutan Jeongguk dan perfeksionis Jimin yang jarang didekati orang.

Malam-malam panjang yang sempat ia lewatkan nyatanya jadi sebuah penegur untuknya tidak terlalu lama tidur. Di antara waktu semasa ia dan Jeongguk berbagi kepuasan, saling menghangatkan, atau sekadar memandang gugusan bintang di langit malam. Seluruhnya dilewati dengan terjaga. Seolah tangan tidak kasat mata itu menegurnya berkali-kali. Bangun, bangun. Entah apa yang coba dibisikkan takdir padanya. Ia yang seratus persen tidak ada di bawah pengaruh pelet atau obat-obatan jadi sedikit kebingungan. Untuk apa tubuhnya menegang ketika pelataran kulit Jeongguk menyentuh keningnya. Buat apa ia harus merasa khawatir padahal Jeongguk disini setia menantinya dan tidak teburu-buru. Entahlah.

Ujaran sang ibu mengiang-ngiang, beberapa hari ini. Jimin tidak tahu apa sebabnya. Ia jadi menaruh curiga pada banyak orang. Ketika wanita itu berkata kalau Jimin ditugaskan mencari siapa saja yang ia curigai punya darah Bisma di dalam badannya. Seluruh jajaran foto berpigura di ruang tengah kediamannya juga bekerja sebagai pengingat. Soal turunan-turunan sebelumnya yang menenteng gigih satu busur anak panah yang selama ini ia gunakan untuk berlatih. Menancapkan ujung-ujung benda pipih itu pada target yang ada. Setelah ibunya yang belum berhasil mematahkan kutukan yang mengalir, Jimin jadi punya beberapa beban lagi. Menemukan satu orang yang hampir mustahil bisa ia ambil dan jadikan patokan kalau bakal ia binasakan. Mendengarnya bicara pada diri sendiri saja sudah ngeri, apalagi ia harus melakukannya pakai tangan kosong.

"Jim!" suara Lisa mengaburkan fokusnya pada beberapa materi pembelajaran yang ditentengnya. Perempuan itu berlari di koridor dengan menggenggam sesuatu. Kain panjang berwarna kekuningan. Sedikit transparan dan warnanya mirip seperti matahari pagi yang sinarnya turun sampai membayang di dinding. "Kamu lihat, Jeongguk, tidak?" tanyanya yang masih ngos-ngosan.

"Ndak," aku Jimin, "kenapa, memangnya?"

"Ini, nih." Disodorkannya kain yang tidak berlipat itu pada Jimin. "Punya dia. Kayaknya ketinggalan di aula, deh. Sudah agak lama sampai kumal begini."

Rasa penasaran menghantarkan Jimin untuk mendekap kain misterius di hadapannya. Merasakan sensasi dingin yang menyambangi kulit beserta tubuhnya. Ia seakan mendapat efek kejut yang tidak mengagetkan. Justru seakan bertemu dengan sesuatu yang selama ini hilang. Seperti ini adalah benda yang seharusnya ada di tangannya. Bukan pada Jeongguk atau pada siapapun di dunia.


Hutan Pinus, Batu, Malang

2019


Jeongguk

Jujur. Jeongguk sebenarnya dengar seluruh ramalan yang dilontarkan oleh sang mama. Tidak sedetik pun terlewatkan tapi ia tidak tahu menahu bahwa sosok berbahaya yang coba ia hindari berwujud seindah dan seagung ini. Menjelma jadi sosok yang teramat sempurna dan sayang dilewatkan. Lelaki jangkung langsing yang bisa jadi incaran siapa saja. Wajahnya yang hampir tidak pernah senyum dan selalu ada di fase marah-marah. Mengapa Tuhan gariskan takdir ini begitu berat? Jalanan terjal sudah tidak lagi mendeskripsikan hidupnya. Ini sudah masuk gang buntu. Kembali pun buang-buang waktu.

"Kalau dengan membunuh aku, artinya kamu bisa bebas dari kutukannya. Tidak apa-apa." Cengkeraman Jimin masih bertaut erat di kerah kemeja Jeongguk yang sudah penuh dengan percik tanah basah. "Tapi kalau aku mati dan kamu masih harus bawa kutukannya, bukankah jadi senjata makan tuan?" Ia sunggingkan senyum paling tulus yang bisa ia usahakan. "Kan, Jimin? Kamu tahu betul kalau sesuatu yang tidak pasti itu yang paling kamu benci."

Pemuda yang ia kasihi diam saja. Tidak bergeming. Busur dan anak panah masih penuh di balik punggungnya. Selendang secerah mentari itu juga melingkar apik di pinggangnya yang ramping. Ah, betapa indah kutukan ini. Mungkin dosa ternikmat tidak bakal bisa mengalahkan sosok yang tengah memadamkan perasaannya sendiri ini. Gejolak itu bisa Jeongguk rasakan. Dari getar tipis di buku-buku jari kekasihnya dan gerak kelopak matanya yang seolah hendak menghindar. Jimin juga membenci situasi ini. Sebesar apa yang Jeongguk rasakan.

"Jimin ...." bisik Jeongguk perlahan, "kita bicara baik-baik soal ini, ya? Pasti ada jalan."

"Aku tidak merasa kalau penjelasan keluargaku kurang soal ini," jawab pemuda manis itu, "dan kita ndak punya solusi soal ini."

"Please," pinta Jeongguk, "aku bukan takut mati. Tidak." Diusapnya dengan perlahan pelataran pipi Jimin yang masih berasa hangat. Inilah sang Nawang Wulan yang diperingatkan ibunya. Tidak ada yang menyangka bahwa Bidadari ilmu pengetahuan ini begitu keras kepala. Angkuh tapi ringkih. Terlampau sempurna sampai seseorang tidak bisa melihat lubang besar di dalam batinnya. "Tapi aku takut kalau kamu membawa penyesalan ini seumur hidup."

Jimin tidak bergeming.

"Srikandi," gumam Jeongguk. Nama itu seakan diingat tubuhnya lebih dari gerakan repetitif merokok yang itu-itu saja. "Dendammu pada Bisma, tidak boleh menyelimuti dua manusia yang tidak ada kaitannya," ujarnya, "Memang tipis sekali, ya, sekatnya?"

Helaan napas ditarik Jimin beberapa kali. "Jaraknya bisa hilang kalau tidak ada mitos sialan ini." Akhirnya erangan frustasi itu tidak hanya berasal dari Jeongguk yang mengemis kasih. Nyatanya Jimin juga pening. Lelaki itu tidak sepenuhnya tidak punya hati. Ia cuma melindungi dirinya sendiri yang terlampau tidak bisa ditinggal. "Kenapa harus kamu, sih? Kenapa bukan orang lain?"

"Ya, memang itu jalannya. Kamu ingat, kan, kalau Jaka Tarub juga menikah sama Nawang Wulan." Jeongguk bisa mengambil posisi duduk di atas batu dan membenahi busananya yang sudah tidak tahu berupa apa. "Bisma juga hampir menikah sama Amba," katanya, "tapi kalau kita, ya, jangan sampai gagal nikah atau lebih-lebih, kamu ninggal aku."

"Jijik, Jeongguk." Jimin benar-benar menunjukkan ekspresi tidak tahan. "Tapi aku benar-benar ndak tahu caranya."

Jeongguk membelalak. "Tunggu," katanya.

"Apa?"

"Bagaimana kalau cara mematahkan kutukannya itu kita menikah?"

"Diajari siapa, sih, kamu punya sifat kebelet kawin begini?"

"Nature," bisiknya pakai nada suara all around you waktu masuk bioskop. "Kita belum coba, kan?"

"Ya, tapi ndak langsung bisa besok juga," protes Jimin. "Kamu mau aku bilang apa ke ibuku? 'Bu, ini aku ketemu sama turunannya Jaka Tarub. Jadi menikah saja sama dia,' begitu?" Entah ketularan atau bagaimana, Jimin jadi ikut-ikutan meninggi-ninggikan suaranya sendiri. "Tolol," gumamnya.

"Coba lusa, aku mampir ke rumahmu."

"Mau apa?"

"Bilang, lah. Kalau anaknya mau dilamar orang."

Jimin diam beberapa saat. "Sumpah?" tanyanya. "Jangan bercanda, deh."

"Ya, kalau kamu tidak percaya, tunggu saja lusa."

"Jeongguk!"

Ia terima saja pukulan-pukulan ringan yang jatuh ke punggung dan dada. Sudah tahan banting. Tidak sekali-dua kali Jimin berlaku seperti ini. Beruntunglah, selama yang ia tahu, anak ini tidak pernah main tangan kalau sedang marah. Hari ini dihitung saja cheating day. Dianggap hari istirahat dari hubungan mereka yang melaju sekencang kereta api. Tidak berhenti bahkan walau sudah sampai di stasiun tujuan. Semoga sampai nanti.

.fin.

Yuganta [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang