"Christo?"
Kepala Christo mulai terlihat bergerak lemah. Kelopak matanya mengerjap dan perlahan-lahan terbuka. Bola matanya memutar, seakan mendeteksi dimana ia berada sekarang.
"Syukurlah lo udah bangun."
Bola matanya bergerak ke arah asal suara hingga sepasang retinanya menangkap senyum sesosok remaja yang berusia 112 hari lebih tua darinya, sebentar, lalu kembali menatap langit-langit.
"Masih pusing? Mau minum nggak?"
Christo masih bergeming. Sama sekali tak meladeni anak itu. Manik matanya masih setia menatap langit-langit.
"Chris--"
Baru saja anak itu ingin menyentuh jari-jarinya, Christo sudah menarik tangannya menjauh.
"Jangan pegang-pegang saya, saya najis."
Deg. Hati Neil bagai dihujam jarum-jarum penyesalan. Sakit rasanya melihat orang yang paling disayanginya terluka sedalam itu karena dirinya.
"Chris... gue minta maaf."
Suaranya tercekat. Ia hampir menangis. Hanya mendengar Christo kembali menyebut dirinya dengan 'saya' seperti saat mereka masih menjadi orang asing saja sudah membuat pertahanannya runtuh. Sungguh, melihat orang yang disayangi menjauh ternyata sesakit ini. Apakah ini yang anak itu rasakan ketika Neil tidak menganggapnya ada selama hampir 4 hari? Ah, tidak. Ia yakin Christo jauh lebih hancur.
"Lo boleh marah sama gue. Tapi tolong izinin gue tetep disini, ya? Gue mau jagain lo."
"Nggak usah. Orang suci kayak Mas nggak pantes deket-deket sama orang najis kayak saya. Mending Mas keluar sekarang."
"Nggak, Chris. Nanti kalau lo butuh apa-apa gimana?"
Christo dengan cepat menegakkan tubuhnya yang masih lemas untuk berada di posisi duduk. Seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Saya nggak butuh apa-apa! Bahkan saya nggak butuh dirawat disini!"
Beberapa detik kemudian, tawa yang terdengar memilukan itu terdengar lagi dari mulut Christo, disertai dengan lelehan air dari kedua bola matanya.
"Perasaan tadi saya udah suruh Paman buat bunuh saya... kenapa Mas halangin?"
Neil menggeleng. Air matanya ikut tumpah melihat Christo seperti ini. Karena dirinya, karena kata-katanya, karena perbuatannya Christo hancur hingga seputus asa ini.
"Mas jijik kan sama saya?! Kenapa nggak biarin saya mati aja tadi?!"
Cukup. Neil sudah tak tahan lagi untuk tak merengkuh Christo dalam pelukannya. Ia dekap tubuh itu, erat. Ia biarkan wajah Christo tenggelam di dadanya, dan diusapnya lembut punggung yang naik turun karena terisak itu. Ia yang sudah membuat luka di hati malaikatnya. Ia harus bertanggung jawab untuk mengobatinya.
"Nggak. Gue nggak jijik sama lo. Gue nggak mungkin jijik sama adek gue yang paling gue sayang. Maafin gue."
"Saya bukan adiknya Mas! Saya nggak punya kakak!"
Neil menggeleng pelan, menyangkal pernyataan Christo barusan.
"Lo adek gue. Gue kakak lo."
Tangan kanan Neil meraih tangan kiri Christo lembut –takut menyakiti tangannya yang tertancap infus itu, lalu menempelkan tangan itu di dada Neil. Tangan kiri Neil masih senantiasa merengkuh Christo.
"Selamanya, disini, Christo Arcahaya Prabuaksara itu adeknya Prince Neil Brahmayudha. Nggak ada yang bisa ngubah itu."
Neil melepas pelukannya lalu kembali mendudukkan diri di kursi samping brankar. Ia genggam kedua tangan Christo lembut. Kedua pasang mata sembab mereka bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
絆 (kizuna)
Teen Fiction絆 /kizuna/ • (n) bonds (between people); (emotional) ties; relationship; connection; link. Pepatah mengatakan, darah lebih kental daripada air. Artinya, ikatan antar manusia yang memiliki hubungan darah jauh lebih kuat daripada ikatan antar manusia...