第 14 話 - Episode 14 : Last Moments Together

26 2 0
                                    

"Christo mana ya?" gumam Neil panik. Sejak kejadian di koridor itu, Neil belum juga melihat batang hidung Christo, bahkan di rooftop sekalipun. Ponsel Christo juga tidak aktif. Padahal matahari sudah hampir terbenam.

"Gue anter pulang dulu yuk, Neil. Siapa tahu Christo udah di rumah."

Neil tersadar dari lamunannya mendengar ajakan Alfred yang menghampirinya di gerbang utama. Tentu saja Alfred sudah berada di belakang kemudi.

Neil mengangguk lalu naik ke mobil Alfred dan duduk di jok samping pengemudi.

"Sumpah, kalo sampe ada apa-apa sama Christo, gue hajar tuh si King!" geramnya.

Alfred hanya melirik sebentar, lalu kembali fokus mengemudi. Ia ingin menanggapi, tapi ia tahu suasana saat ini sedang tidak baik.

Langit mulai menurunkan hujan setitik demi setitik. Tak lama, mereka tiba di rumah Christo. Motor yang biasa dipakai Christo terparkir di halaman, tapi keberadaan pemiliknya tidak terlihat di mana pun di dalam rumah.

Neil menghembuskan nafas kasar. Ia memijat pangkal hidungnya sembari menyandarkan punggungnya di tembok.

"Kita harus cari kemana, Fred? Daritadi hapenya nggak aktif pula. Mana ujan lagi." gerutunya.

"Lo harus tenang, Neil. Kita telusurin jalan pelan-pelan, ya?"

Neil dan Alfred kembali ke mobil dan melajukannya. Perlahan, mereka menelusuri jalan raya di sekitar rumah Christo. Perhatian mereka tak pernah lepas dari pejalan kaki yang menelusuri tepi jalan di bawah hujan, berharap akan berhasil menemukan sosok yang mereka cari.

Hampir satu jam berlalu, tapi pencarian mereka tak kunjung membuahkan hasil dan membuat Neil semakin kehilangan ketenangannya. Kakinya mulai bergerak-gerak gugup dan kuku ibu jarinya ia gigiti sedari tadi. Air mata sudah mulai membendung di kelopaknya.

"Gue takut, Fred. Keadaannya lagi nggak baik, fisiknya, mentalnya juga. Bukan nggak mungkin kalo dia ngelakuin apa yang pernah gue lakuin dulu, kan?"

"Jangan mikir macem-macem! Udah lo fokus aja merhatiin jalan! Siapa tau Christo keliatan."

Hening. Tak ada lagi pembicaraan antara keduanya selama hampir 20 menit sebelum sesuatu yang mereka lihat di sebuah jalanan sempit yang sepi mengalihkan atensi mereka.

"Neil, itu Christo kan?"

Neil seketika memfokuskan pandangannya ke arah mata Alfred tertuju. Tubuh ringkih yang dibalut seragam biru lusuh yang kini basah kuyup itu menjadi pusat atensi Neil. Ya. Tak salah lagi, itu malaikat Neil yang sempat menghilang. Ia yakin, adiknya itu sudah berjalan tak tentu arah sejak tadi, sama seperti yang ia lakukan dulu saat diusir dari rumahnya.

"Berhenti, Fred!"

Alfred refleks menginjak pedal remnya. Neil berlari keluar, tak peduli hujan yang mengguyurnya. Ia tak mau malaikatnya benar-benar pergi. Ia raih lengan kurus itu agar tak semakin menjauh.

"Chris..."

Beberapa detik hanya mereka habiskan untuk saling melempar tatapan sendu. Neil tahu malaikatnya sedang terluka, dan luka itu semakin jelas terlihat ketika ia melihat jauh ke dalam redup sepasang iris itu. Setelahnya, hanya sebuah dekapan erat yang mampu Neil berikan, berharap agar dengan pelukannya, luka di hati orang di hadapannya ini berkurang rasa sakitnya.

"Pulang, yuk. Lo pasti capek, kedinginan juga."

"Sakit, Kak Neil."

Kata-kata itu keluar juga dari mulut Christo. Raganya jelas sakit, apalagi hatinya. Dan Neil sadar betul apa sumber dari segala rasa sakit Christo saat ini.

"Maaf, Chris. Semuanya gara-gara gue. Gue egois."

Ya, Neil sadar itu. Segala sesuatu yang terjadi pada Christo adalah salahnya. Jika saja ia tak menuruti egonya yang ingin tetap merasakan kasih sayang, mungkin sejak dulu ia akan kembali ke keluarganya dan Christo tak perlu menerima rasa sakit yang diberikan keluarganya.

"Aku mohon buat yang terakhir kalinya, pulang ke keluarga Kak Neil, Kak."

Masing-masing netra mereka yang tidak saling bertemu itu menumpahkan air mata. Percayalah, tak ada satu pun dari kedua insan itu yang ingin merasakan perpisahan. Keduanya adalah malaikat bagi satu sama lain. Tapi jika mereka terus bersama, mungkin sayap salah satu dari mereka akan patah, atau malah sayap dari keduanya.

"Oke. Gue bakal pulang. Tapi besok. Malem ini, izinin gue nginep di rumah lo, buat yang terakhir kalinya." ucap Neil pada akhirnya setelah sebelumnya melepas pelukannya.

Christo mengangguk. Neil menggenggam pergelangan tangan Christo dan menariknya lembut untuk masuk ke mobil Alfred. Di dalam mobil, hanya ada keheningan yang tercipta, hingga mereka sampai ke tempat tujuan.

"Thanks, Fred. Ati-ati pulangnya."

"Sip." Alfred mengacungkan ibu jarinya lalu melaju meninggalkan kedua orang itu.

"Nih, keringin dulu rambut Kakak." kata Christo sambil menudungi kepala Neil dengan handuk.

"Aku siapin air panas dulu, ya? Biar nggak masuk angin." katanya lagi, lengkap dengan senyum terhias di bibirnya.

Christo kemudian berlalu dari hadapan Neil untuk mendidihkan air juga membersihkan dirinya sendiri.

Neil hanya diam. Membayangkan bahwa ini adalah saat-saat terakhirnya untuk mendapatkan perlakuan sehangat ini sungguh membuat hatinya sesak. Ia akan merindukan kasih sayang ini, sungguh.


Sekeluarnya Neil dari kamar mandi, ia disuguhi bau harum dari arah dapur. Sungguh, ia seperti ditarik untuk bernostalgia tentang hari pertama ia bertemu dengan Christo. Nasi goreng yang dijual di warung depan gang, lengkap dengan jeruk peras hangat –walaupun ia ingat bahwa ia meminum es jeruk peras hari itu. Christo pasti membelinya di depan gang tadi saat ia sedang mandi. Ya, harus ia akui bahwa ia terlalu banyak termenung di kamar mandi tadi, hingga Christo sempat melakukannya sebelum ia selesai mandi.

"Makan dulu sini. Kakak laper, kan?"

Neil mengangguk. Ia habiskan waktu makan malam itu dalam diam. Setelah kejadian di bawah hujan tadi, percayalah, hanya kata terimakasih untuk Alfred tadi yang ia ucapkan. Sampai saat Christo akan beranjak dari tempat duduknya untuk meletakkan alat makan yang kotor ke wastafel, barulah ia membuka suara.

"Gue tidur di kamar lo ya malem ini?"


"Gue bakal kangen sama lo." ujar Neil tiba-tiba saat mereka berdua tengah berbaring bersebelahan di tempat tidur Christo.

"Kan kita masih bisa ketemu di sekolah, Kak Neil."

"Lo nggak tau keluarga gue kayak gimana. Mereka nggak pernah berubah."

"Justru itu tugas Kakak."

Christo menoleh ke arah Neil dan tersenyum. Senyum dan tatapan lembut kesukaannya itu, sungguh, Neil juga akan merindukannya setengah mati.

"Kakak yang harus ajarin mereka, tentang ketulusan, kasih sayang, sikap lemah lembut, juga kerendahan hati. Sekeras-kerasnya batu, lama-lama akan terkikis juga kalau terus-terusan kena tetesan air. Kakak harus jadi tetesan air itu buat hati mereka yang keras, Kak."

絆 (kizuna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang