CHAPTER 27

4 1 0
                                    

Relationship is a school, not a playground

Aku berjalan ke arah kamar Caca dan Puri, bisa ku pastikan jika sekarang ini Caca sedang bersantai sembari menonton TV. Setelah melempar masalahnya padaku, Caca hidup tenang sedangkan aku tdak. Aku mengetok pintuk kamar Caca dan Puri tidak sabar. "Iya.... iyaaa" Caca membuka pintu dan melihatku tidak suka, alasannya apalagi kalau bukan aku yang sudah merusak waktu bersantainya. 

"Ca bisa gak sih lu berenti ngasih nomor gue!" ucapku marah ke Caca. Namun apa yang bisa ku harapkan dari seorang Caca? Dia bahkan meresponku seperti tidak terjadi masalah. 

"Walaikumsalam. Apakah sebaiknya sebagai seorang muslim kita saling memberikan salam terlenih dahulu?" jawab Caca yang sama sekali tidak memperdulikan aku yang sudah marah. 

"Assalamulaikum" pada akhirnya aku mengucapkan salam. 

"Walaikumsalam, ada apa nih mas?" jawab Caca meledek. 

"Serius Ah! Bisa gak sih lu jangan asal kasih nomor gue ke cow yang lo gak mau?" ujarku menatap Caca kesal, ini bukan pertama kalinya Caca melakukan hal seperti ini kepadaku. Aku selalu menjadi tumbal Caca jika ada cowo yang ingin mendekatinya tapi dia gak suka cowo tersebut. 

"Emang siapa yang nge-chat lu?" tanya Caca santai.

"Gak penting siapa, yang penting Lo berhenti!" jawabku tidak mau tahu dan tidal ingin tahu siapa nama dari orang yang kali ini mengirimiku pesan tidak jelas. 

"Roland? Michael? Budi?" tanya Caca menyebutkan satu per satu nama cowo yang tidak jelas itu. 

"Ca, lo kasih nomor gua ke siapa aja?" tanyaku mulai curiga dengan Caca yang menyebutkan banyak sekali nama - nama cowo. Caca hanya mengedikkan bahunya, tanda dia tidak tahu. 

"JANGAN BILANG RAHMAT?" tanya Caca dengan nada yang tidak santai

"Willie" jawabku 

"Hah Willie siapa?"

"Rahmat siapa?" aku dan Caca bertanya bersamaan

"Gatau" jawab Caca, aku menatap Caca malas. 

Puri keluar dengan handuk yang terikat di kepalanya, menatap aku dan Caca. "Ada apa sih rame - rame? masih pagi" ujar Puri 

"Tau nuh Niko, tar siang aja apa berantemnya" ujar Caca menimpali ucapan Puri. Tidak ada rasa bersalahnya sama sekali, padahal Caca penyebab keributan pagi ini.

"Nih temen lu asal - asalan ngasih nomor gue" aku menjawab pertanyaan Puri dan melihat Caca kesal.  Tapi Puri sama saja dengan Caca, bukannya membelaku Puri malah mengonmentari aku dan membela Caca, Puri mengatakan kalau aku tidak perku membalas pesan yang masuk. Tentu saja aku tidak terima dengan ucapan Puri itu, harusnya ini semua salah Caca. 

"Coba lo pikir, kalau ada cowo yang nanya nomor kita? Gak sopan dong kalau kita gak kasih. Tapi kalau kita kasih nanti dia di teror. Lo mau Caca di teror nomor gak jelas?" ujar Puri tapi tetap saja aku tidak bisa menerima ucapan Puri. 

"Pertanyaannya, lo mau gue di teror?" tanyaku menatap Puri kesal. Belum sempat menjawab pertanyaanku, tiba - tiba ada suaara ketukan pintu lagi. Kali ini bukan Caca lagi yang byka melainkan Puri. 

"Iya bentar" jawab Puri sembari berjalan ke arah pintu. Saat Puri membuka pintu, ada Jo dengan membawa barang - barang gede. 

"Sayang, bisa gak sih kamu kalau belo barang online jangan kirim ke aku terus" keluh Jo membawa barang tersebut masuk kedalam, yang ternyata adalah barang milik Puri. 

"Woy Nik, udah marah sama Caca?" Jo menatapku, aku memberi kode kalau Caca juga ada di ruangan yang sama dengan kami. 

"Eh Ca, udah di marahin Niko?" tanya Jo beralih menatap Caca.

"Kok lu tau Niko marah - marah?" tanya Caca penasaran. 

INGATLAH HARI INITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang