16. KAKI JENJANG TRISNA

85 11 2
                                    

"Tak ada realita yang memilukan, saat ekspektasimu tidak berlebihan."

___________

Selamat Membaca~

🍂

Meski larut, keheningan kota tak juga dapat di capai. Kebisingan kendaraan lalu lalang masih menjadi musik di jalanan. Beberapa orang masih betah nongkrong di trotoar jalan utama. Berbeda dengan pemuda berambut hitam bercampur blue-dark style mullet yang mengasingkan diri di lorong sempit. Api hidup saat ia menghisap nikmat rokoknya lalu menghembuskannya. Asap benda bernikotin itu mengepul di kegelapan. Tubuhnya di sandarkan ke pagar pembatas belakang sebuah rumah makan. Hanya sinar ponsel yang menerangi wajahnya, sedangkan jarinya sibuk menggulir layar.

Tak lama kemudian, kenyamanannya terusik oleh suara teriakan berisi makian dan cacian pedas, bersamaan dengan itu suara pukulan juga samar-samar terdengar. Asalnya dari balik pagar pembatas. Kesal, pemuda itu memanjat pagar semen tersebut, menonton apa yang sedang terjadi di bawah. Seorang pemuda sebayanya tengah memarahi pekerjanya dengan cara yang bisa di bilang kasar dan kurang ajar. Anehnya, pekerja yang di marahi hanya tertunduk, sekali-kali melontarkan ucapan maaf.

"Lo gak tau berapa kerugian gue?! Lo bisa ganti, gak, semua piring yang lo pecahin?! Bisa ganti, gak?!" bentaknya. "Udah tau miskin malah bikin masalah! Dasar anak haram gak tau di untung lo! Masih mending gue mau nerima lo jadi pekerja di sini! Kalo nggak ada Mama di depan, udah gue siram air panas lo!" Tangannya menonyor kasar kepala pekerja yang di marahinya.

"Maaf, Bang."

Kepalanya meneleng, sefatal itukah kesalahannya? Dalam posisi berjongkok di atas pagar pembatas, matanya menyipit menelisik pekerja yang di marahi sembari menikmati tontonan tak beradab di depan matanya.

"Gini, deh. Sebagai hukumannya, buka baju lo!"

"Mau ngapain, Bang?"

"Gak bakal aneh-aneh gue. Buka aja! Lo berdiri satu kaki di sini sampe pagi. Kalo satu kaki lo turun sekali aja, gue bakal suruh lo jadi pengemis di lampu merah besok buat ganti piring yang udah lo pecahin!"

"Tapi, Bang—"

"Atau lo gue pecat?!"

"Ja—jangan, Bang."

"Ya udah, lakuin! Gue awasin dari CCTV belakang. Awas aja kalo lo berani kabur, hukumannya bakal tambah parah!"

"WOI ANJING! PUNYA OTAK GAK LO?!"

Pemuda berambut mullet itu meloncat ke balik pagar. Serentak dua orang yang sedang berkomunikasi itu menoleh padanya. Ia mendekat keluar dari kegelapan.

"BANG DERY?!" kaget pekerja yang di marahi, tak lain adalah Albi dan yang memarahinya adalah Bayu. Mata Albi melebar, dalam benak ia bertanya-tanya, kenapa Dery bisa ada di situ?

"Lo siapa, hah?!" tanya Bayu menantang. Tatapan angkuhnya begitu mendominasi saat menatap pemuda memakai kaos tanpa lengan yang di padukan dengan celana jeans robek-robek di bagian lututnya itu.

Kakinya melangkah membawanya berdiri membelakangi Albi. Wajah datar Dery memandang jijik laki-laki di depannya. "Lo gak perlu tau siapa gue," jawabnya, bernada angkuh.

AFEKSI (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang