29. HANCUR (1)

84 10 20
                                    

"Tidak ada yang berubah, hanya saja caraku memandang dunia tidak seasik dulu lagi."
_______________

.
.
.

Selamat Membaca~

🐝

Keadaan sekolah mulai sepi,  karena jam pulang sudah lewat sejak satu jam yang lalu. Beberapa murid masih ada yang berkeliaran untuk mengikuti ekstrakurikuler yang dipilih. Berbeda dengan Aigal dan Kanaya, dua anak manusia itu masih bersantai di bangku kantin sekolah.

Harapan untuk menemui Albi saat istirahat harus terkubur dalam-dalam. Mereka tidak tahu kalau hari ini Albi bolos. Kanaya terus-menerus menggerutu dengan sikap Albi yang dinilainya mulai lupa kalau Albi punya dia dan Aigal.

"Udahlah, Nay. Besok 'kan juga ada waktu. Tanya besok aja," ucap Aigal menasehati. Telinganya hampir saja budeg gara-gara Kanaya yang tidak capek-capeknya nyerocos.

Kanaya langsung memutar tubuhnya menghadap Aigal. "Bukan itu, Aigal. Kamu mah gak paham-paham. Aku cuma kesel sama Albi yang ngelupain kita," geram Kanaya, menjelaskan diiringi gerakan tangan.

"Dia butuh waktu sendiri, Nay. Kita gak boleh egois maksa dia, kita tunggu aja dia cerita. Gue yakin Albi pasti bakal cerita kok sama kita." Aigal mencoba memahami sikap Kanaya yang memang over protective pada Albi. Aigal juga tak bosan menasehati Kanaya kalau Albi juga punya waktu dan kenyamanan  sendiri.

Kanaya berdecak lantaran Aigal tidak kunjung berada dipihaknya. Ia balik ke posisi awal. "Terus kenapa harus bolos? Biasanya dia ke perpustakaan atau gak ke rooftop," celetuk Kanaya, masih menggerutu.

"Mood-nya udah hancur di sekolah, Nay. Satu lagi, dia pasti gak mau terlibat masalah lagi sama Sergio hari ini. Kita harus pahami Albi, Nay, seperti dia memahami kita," ucap Aigal. Nada bicaranya diusahakan melunak supaya tidakk memancing perdebatan antara ia dan Kanaya yang tengah panik dan kesal.

"Mungkin saat ini dia butuh penenang selain kita. Kita gak tau ketenangan apa yang orang lain inginkan, selera tenang manusia itu berbeda, Nay," sambungnya.

Kanaya terdiam. Semua yang diucapkan Aigal itu benar, lagi-lagi sikap egois menguasainya. "Maaf, Gal. Aku ... panik pas denger Albi masuk BK," lirih Kanaya, menyesal. Raut kesal memudar dari mukanya.

Aigal tersenyum miring. "Lo panik banget, ya?" tanyanya, menatap lama Kanaya.

Mendengar pertanyaan absurd Aigal, Kanaya menoleh perlahan. Alisnya bertaut dengan kedua mata menyipit, mencerna ekspresi Aigal. Bukankah dengan jelas ia mengatakan kalau ia panik? lalu kenapa masih saja bertanya?

"Kalo gue yang di sana, lo panik, gak?"

"Ya, paniklah. Kamu kan juga teman aku, Gal," jawab Kanaya, enteng.

Aigal merapatkan bibirnya seraya mengangguk-angguk. Netranya yang semula jatuh, naik menancap pada paras cantik Kanaya. Kali ini sorotannya makin tajam dan intens.

"Lo suka banget, ya, sama Albi?" tanya Aigal, tiba-tiba.

"Hah?" Kanaya tertegun.

"Sespesial apa sih Albi di mata lo, Nay?"

Kanaya mengernyit, bingung dengan pembawaan Aigal saat ini. "Maksud kamu apa nanya kek gini?"

AFEKSI (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang