Setelah menempuh waktu 8 jam perjalanan dengan kereta api, akhirnya kujejakan kaki di Kota Solo.
Perasaanku bercampur aduk antara senang, excited, resah, dan takut juga. Ini adalah pertamakalinya aku akan hidup jauh dari rumah. Jauh dari orangtua, jauh dari kehidupanku di Jakarta yang terasa serba mudah.
Ini memang keputusan yang kuambil sendiri. Merantau ke Kota Solo dengan harapan aku bisa memulai hidup yang baru. Kebetulan pula aku keterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Sriwedari itu.
Kedatanganku ke sini juga dengan harapan untuk memulai semuanya kembali dari nol. Melupakan segala kenangan manis dan pahitku dari Ibukota. Dan tentu saja, membangun jati diri baru, menenggelamkan diriku yang sudah terkenal sebagai binan di Jakarta.
Aku Revan Anggara, usia 18 tahun. Dikaruniai tinggi badan yang lumayan, sekitar 180-an cm, dengan berat badan proporsional. Sebagai gay di Ibukota, tampil kece sudah menjadi tuntutan, jadi jangan heran dengan dada gue yang bidang, dan perut kotak-kotak, juga bicep dan tricep yang lekukannya cukup menantang.
Tapi, di sini aku ingin menjadi Revan yang baru. Tidak ada lagi Revan yang berkeliaran di Grindr, Hornet, dan Twitter. Aku di sini akan menjadi Revan yang 'baik', yang lebih taat kepada Tuhan YME, dan patuh pada kedua orangtua.
Kota Solo hari ini benar-benar cerah. Pukul 16.00 pun matahari masih terasa teriknya. Pun begitu, angin sore yang sejak tadi menerpaku memberi sedikit penyegaran.
Aku berjalan celingukan keluar dari pelataran parkir Stasiun Solo Balapan, mencari di mana taksi online yang sudah kupesan. Aku cukup rempong dengan satu koper besar, ransel, dan beberapa tas jinjing.
Terik mentari dan hawa panas membuat tubuhku berkeringat, sehingga lekuk tubuhku yang tak berkaosdalam sedikit nyeplak ke kemeja putih yang kukenakan. Aku merasa beberapa mata memandangku risih.
Panasnya Solo kala itu juga membuat beberapa tukang becak, beberapa pedagang pinggir jalan, dan pekerja proyek tampak banyak yang singletan dan bertelanjang dada.
Melihat pemandangan tersebut, darahku rasanya mengalir lebih cepat. Aku menelan ludah beberapa kali.
Coba lihat lekuk lengan bapak tukang becak itu. Dengan singlet yang ia pakai, membuat otot-otot di lengan hasil kerja kerasanya terpampang nyata. Coklat, legit, dan basah dengan bulir-bulir keringat.
Atau, tengoklah bapak pedangang buah itu. Ia duduk bertelanjang dada, sambil mengipas-ngipaskan koran karena kepanasan. Memang perutnya buncit, tapi tetap membuatku 'kepanasan'.
Lihat ketiaknya yang menyembunyikan rambut lebatnya. Rasanya ingin aku mendekapkan wajah di dalamnya. Merasakan tekstur rambut, dan aroma maskulinnya, sambil memilin kedua puting susunya yang coklat menantang.
Lalu, amati pekerja proyek itu! Lihat tubuh basah mereka yang hanya terbalut rompi proyek. Rasa hati ingin sekali aku numpang ke bedeng mereka, menikmati kontol-kontol hitam mereka, dan membiarkan mereka menyetubuhiku secara bergiliran.
Fuck! Kenapa aku malah jadi sange, sih?! Eling, Revan. Tujuan ke kota ini salahsatunya untuk menghilangkan sisi binal itu! Fokus! Tegur batinku.
Setelah berjalan agak jauh, akhirnya aku sudah duduk di mobil Toyota Agya hitam itu. Aku duduk di jok belakang, serong kiri dari tempat duduk pak driver.
Sebisa mungkin aku mengalihkan perhatianku dari memandangi Pak Driver yang stocky uwu itu. Polo shirt abu-abu ketat yang ia kenakan membuat lengan-lengannya terlihat begitu kokoh.
Tapi, mohon maaf. Aroma Stella jeruk dan bau keringat Pak Driver membuat kepalaku nyut-nyutan. Coba kalo hanya bau keringatnya saja. Mungkin aku masih bisa menikmatinya. Bau Stella Jeruknya itu lho! Hoooeeekkk, aku benci aroma itu!

KAMU SEDANG MEMBACA
GAIRAH ANAK KOS
RomanceWARNING! CERITA 18+! MENGANDUNG MUATAN-MUATAN SEKSUAL DAN HUBUNGAN SESAMA JENIS!!! BAGI YANG TIDAK SUKA, DIMOHON UNTUK SKIP, UNTUK YANG INGIN MEMBACA, YUK KITA NIKMATI BERSAMA-SAMA. Revan, 18 tahun, seorang gay yang masih 'perawan'. Memutuskan meran...