Bencana

309 42 2
                                    

"Bu, di mana Mas Ilham? Mengapa Mas Ilham tidak datang menjemputku bersama dengan Ibu dan Paman?" tanyaku sambil melihat ke dalam mobil, tapi di dalam hanya ada Ibu dan Paman yang datang menjemputku pulang hari ini.

Aku kemudian melihat Ibu memalingkan wajahnya dariku. Entah mengapa beliau melakukan itu. Aku pun jadi bingung. Apa secara tanpa aku tahu, perkatataanku tadi ada yang telah membuat Ibu marah?

Rasa bersalah lansung memenuhi hatiku.

"Bu, maafkan Nina. Apakah Ibu sekarang marah sama Nina? Tolong, Bu. Nina sudah lama tidak bertemu dengan Ibu. Jangan palingkan wajah ibu, Nina mohon," kataku lirih.

Untungnya Ibu tak lama kembali melihatku, tapi di pipinya kini ada air mata yang mengalir deras. Aku yang awalnya merasa lega, kini panik.

"Bu ..." Aku memeluk Ibu untuk menenangkannya.

Mengapa Ibu menangis? Seharusnya Ibu senang kan, aku sudah sembuh sekarang. Tapi mengapa?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benakku saat ini. Aku yang masih belum bisa menemukan alasan, mengapa Ibu menangis dan tampak begitu sedih, akhirnya melihat ke arah Paman.

Paman duduk di kursi kemudi, sedang aku dan Ibu duduk di kursi tengah mobil.

Tanpa bicara pun, Paman sepertinya sudah tahu mengapa aku melihat ke arahnya sekarang. Paman kemudian terlihat ingin berbicara, tapi Paman juga tampak ragu setelah beberapa waktu membuka mulutnya, paman masih belum bisa mengeluarkan satu patah kata pun.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Paman? Aku bingung. Mengapa ibu menangis terdengar sedih sekali. Harusnya ibu bahagia kan hari ini, Nina sudah sembuh dan bisa pulang. Tapi mengapa ...?" suaraku gemetar. Aku tak dapat meneruskan untuk bertanya. Air mata juga mulai membasahi pipiku.

Paman terlihat kesusahan. Paman menatap Ibu dan Ibu yang masih menangis di pelukanku, walau tak melihat Paman secara lansung, seolah tahu maksud Paman menatapnya, ibu menganggukan kepalanya.

Paman menghela nafas berat. Suara hembusan nafas paman terdengar jelas di telingaku.

"Nina ..., maaf. Paman dan Ibumu telah berusaha mencegah semua ini terjadi. Tapi kami ternyata masih tak kuasa mencegahnya." Paman melihatku dengan tatapan sedih dan pilu, lalu melanjutkan: "Ilham suamimu sudah menikah lagi, Nina. Oleh karena itu sekarang dia tidak ada di sini untuk menjemputmu. Sekali lagi Paman dan Ibumu—Nina!"

Aku hanya mendengar teriakan Paman di akhir, sebelum semua pemandangan di depan mataku berubah gelap dan aku kehilangan kesadaran.

(*)

Entah berapa lama, aku tak sadarkan diri. Saat aku bangun, aku sudah berada di kamar asing.

"Ini di mana?" tanyaku. Berharap ada seseorang di kamar ini juga yang menjawab dan menjelaskan.

"Ini di rumah sakit, Teh." Suara lembut Ibuku menjawab, arahnya dari sampingku.

"Ibu." Aku tak dapat menahan kesedihan di hatiku, dan aku pun merengek kepada beliau. "Nina ingat. Apa yang dikatakan paman tadi ...Hiks. Ma–mas Ilham ... menikah lagi? Itu tidak benar kan, Bu?"

Aku masih tidak mau mempercayainya. Mas Ilham suamiku yang baik dan lembut hatinya, tidak mungkin mengkhinatiku, apalagi menikahi wanita lain. Tadi, aku pasti salah dengar!

Aku terus mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa apa yang kudengar sebelumnya hanyalah sebuah kesalahan atau mimpi buruk. Namun satu gelengan kepala dari ibuku dan matanya yang kini mulai mengeluarkan air mata lagi, menghancurkan harapan terakhir dan keyakinan rapuh di hatiku.

Hancur sudah. Aku bahkan seolah mendengar suara retakan dari hatiku yang perlahan hancur lalu jatuh.

Suamiku, Mas Ilham ... kata Ibu, Mas Ilham sudah menikah lagi sebulan yang lalu.

(*)

Aku hanya dirawat sebentar di rumah sakit. Satu jam kemudian, aku, ibu dan paman kembali masuk ke dalam mobil dan kami mau pulang.

Di sepanjang jalan, aku tak bisa berhenti memikirkan Mas Ilham. Aku masih tidak mau percaya suamiku yang aku cintai mengkhianatiku pada akhirnya.

Namun saat aku sampai di rumah dan tak menemukan sosok Mas Ilham di antara wajah orang yang menyambut kepulanganku, akhirnya mau tidak mau aku harus menerimanya. Mas Ilham memang sudah pergi.

"Nin ..." Sepupuku Sarah lansung memelukku saat aku baru keluar dari mobil.

"Sarah." Aku balas memeluknya erat. Tak tahan, aku pun menangis lagi di pelukan Sarah. "Mas Ilham ..." Suaraku gemetar. "Apa dia benar sudah meninggalkanku, Sarah?"

Aku hanya ingin bertanya sekali lagi. Bolehkan? Mungkin jawaban dari Sarah akan berbeda.

Tapi aku tahu itu hanya sebuah harapan bodoh dan sia-sia. Apa yang dikatakan Sarah selanjutnya intinya tetaplah sama.

"Jangan pikirkan si brengsek itu lagi, Nin! Dia tidak pantas untuk kamu tangisi. Si brengsek itu harusnya kamu hina dan ludahi saja!" kata Sarah terdengar sangat marah. Pelukannya di tubuhku pun juga terasa menguat.

"Ya, Aku akan melupakannya," kataku bohong.

Bagaimana mungkin begitu mudah melupakan seseorang?

Kecuali aku kehilangan diriku lagi seperti sebelumnya. Tapi aku tak mau itu terjadi. Aku tak akan kalah lagi oleh bisikan-bisikan aneh di kepalaku yang kadang masih terdengar  menyuruhku untuk mati dan berteriak diriku gila.

Aku tidak gila. Aku hanya sedang sakit, dan aku pasti bisa sembuh sepenuhnya nanti. Walaupun mungkin aku harus meminum obat semur hidupku. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh Bu Risma, Psikiaterku yang telah merawatku selama aku berada di rumah sakit jiwa. Beliau berkata, asal aku stabil, itu cukup.

Ya, aku memang sedang sakit. Sakit jiwa kata mereka. Tapi aku tak ingin disebut seperti itu sebenarnya. Hanya sakit biasa. Sebuah penyakit bernama Skizoprenia yang sama saja menurutku dengan penyakit fisik lainnya. Cuma perbedaannya penyakit ini menyerang otakku.

Tak ada bedanya dengan penyakit fisik normal biasanya kan?

Setiap penyakit pasti memiliki obat, dan aku pun masih meminum obatnya sampai saat ini. Asal aku tak berhenti, aku tidak akan kehilangan diriku lagi. Aku tidak akan 'jatuh sakit' lagi. Aku juga tak akan kembali membuat keluargaku dan Mas Ilham malu setelah ini.

Tapi mengapa?

Mas Ilham tetap pergi meninggalkanku dan tak mau menunggu?

Menurut cerita dari Paman, setelah aku berhenti menangis. Wanita yang dinikahi oleh Mas Ilham sebulan yang lalu dan kini menjadi istri keduanya adalah seorang janda beranak satu dari desa sebelah. Mas Ilham sekarang pun ada di rumah istri keduanya itu dan belum pulang ke rumah ini selama sebulan, sejak pernikahan keduanya dipergoki oleh keluargaku.

"Yang iklas ya, Teh." Ibu terus menguatkanku.

Aku tidak berani untuk menangis lagi di depan keluargaku. Mereka semua kini harusnya bahagia karena aku sudah kembali ke mereka.

"Iya, Bu. Nina akan ikhlas," jawabku bohong lagi untuk menenangkan ibu, agar beliau tidak terlalu memikirkan keadaanku.

#Ide yang ditulis ulang kembali

Menjadi Wanita KuatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang