Ibu Mertua

119 22 0
                                    

Untuk mengisi hari-hariku yang kosong sejak kepergian Mas Ilham dari hidupku, dan setelah mencoba berdamai juga dengan diriku sendiri, aku akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktuku dengan menulis.

Dulu, menulis adalah salah satu kegiatan yang paling aku sukai sebelum sakit. Aku bisa membuat dunia yang aku inginkan, dan di sana aku bebas melakukan apapun terhadap tokoh dalam ceritaku. Biasanya sih, walaupun aku membuat jalan cerita yang sedih untuk sang protagonis, tapi di akhir aku akan memberikan sebuah ending bahagia untuk setiap cerita yang aku tulis. Namun untuk cerita yang aku tulis sekarang, aku ingin membuat sebuah ending yang tidak bahagia untuk pertama kalinya.

Apakah itu akan jauh lebih bagus? Soalnya di kehidupan nyata, kebanyakan sebenarnya sebuah cerita tak selalu berakhir dengan baik. Seperti cerita cintaku dengan Mas Ilham.

Awal cerita cinta kami dulu sangat indah. Tapi lihatlah sekarang?

"Teh!"

Saat aku sedang mengasihani diriku sendiri, Ibu tiba-tiba memanggil. "Ada apa, Bu?" balasku, lalu bangun dari kursi dan berjalan keluar dari kamar.

Kamarku ada di belakang, tapi saat keluar dari kamar karena rumahku tidak terlalu besar, aku bisa lansung melihat ke ruang tamu. Mata hitamku membulat. Ternyata ibuku memanggil karena ada Mas Ilham yang akhirnya pulang.

"Mas!" Aku menjerit senang. Aku lansung bergegas ke depan untuk menyambut kepulangan Mas Ilham.

Aku tak ingat dengan perasaan putus asa dan kesedihan yang aku rasakan selama beberapa hari kemarin sejak aku tahu Mas Ilham telah menikah lagi. Yang ada dalam pikiranku saat ini adalah Mas Ilham akhirnya kembali kepadaku. Harapan yang sudah mati di hatiku kini seketika hidup dan bersinar lagi.

"Mas, aku senang kamu pulang. Apa Mas mau makan? Ada ikan mujaer goreng di belakang. Nina ambilkan dulu buat Mas, ya?" Aku terus saja berbicara. Tapi Mas Ilham anehnya hanya diam.

"Mas?" Aku pun sadar akhirnya ada sesuatu yang salah dari Mas Ilham yang sekarang duduk tak bersuara, hanya menatapku, tapi tatapan mata itu ... dingin sekali. Tak ada kelembutan ataupun kasih sayang seperti dahulu.

"Mas." Aku ingin memanggil Mas Ilham lagi. Berharap Mas Ilham akan menjawabku kali ini.

Bibir Mas Ilham bergerak, akhirnya Mas Ilham mau bicara kepadaku. Aku merasa lega.

Namun, kata-kata rindu atau cinta yang aku harapkan tidak pernah keluar dari kedua belah bibir Mas Ilham yang terbuka, justru kalimat yang tak ingin aku dengar diucapkan oleh Mas Ilham sebagai gantinya. "Aku ingin bercerai darimu, Nina. Aku harap kamu mau setuju dan menerimanya."

Bagai petir di siang hari yang panas, aku tertegun. Aku harap tadi pendengaranku yang bermasalah. Tidak mungkin kan, Mas Ilham meminta cerai dariku?

"Mas ..., Apa yang kamu katakan tadi?" Aku bertanya mau memastikan.

Aku mohon, Ya Tuhan. Mas Ilham tidak sungguh-sungguh mau meminta cerai dariku, kan?

Namun doa yang kupanjatkan ternyata tak dikabulkan oleh Tuhan.

Mas Ilham masih menatapku dengan dingin. Suaranya yang lembut kini terdengar tajam di telingaku. "Aku ingin bercerai darimu, Nina."

Air mata meleleh dari pelupuk mataku, membasahi pipi dan aku pun mulai terisak. "Ma–mas ...."

Aku mendekati Mas Ilham dan mencoba menyentuh tangannya, tapi Mas Ilham menepis tanganku kasar. "Aku pergi. Aku datang kemari hanya ingin mengatakan itu kepadamu. Aku sudah lelah dengan semua gunjingan dan hinaan orang lain di luar. Kata mereka, aku punya istri yang gila."

Mas Ilham lalu berdiri, kemudian berjalan melewatiku, tanpa sempat melirikku sedetik pun.

Waktu Mas Ilham lewat dapat kucium wangi berbeda dari tubuhnya. Itu bukanlah wangi dari parfum yang biasa Mas Ilham pakai, yang dulu selalu aku belikan untuknya sejak kami pacaran di SMA.

Wangi parfum yang dipakai Mas Ilham kini lebih berat, membuatku yang menciumnya sedikit saja merasa tidak enak dan dadaku sesak.

"Teh." Ibu lansung memelukku erat. Dapat kurasakan tubuh ibu pun kini gemetar menahan tangis.

Aku pun yang tak kuat lagi, akhirnya ikut menangis sambil balas memeluk Ibu.

***

Dua hari kemudian, Ibu mertuaku tiba-tiba datang ke rumah.

Tanpa salam atau pun basa-basi, Ibu mertuaku itu langsung memberikan sebuah amplop coklat kepadaku.

"Apa ... ini, Bu?" tanyaku bingung.

Ibu mertuaku mendengus. Dengan sikap angkuh, Ibu mertuaku pun berkata; "Buka saja!" perintahnya.

Aku yang masih bingung, tetap membuka amplop coklat itu sesuai perintah dari Ibu mertuaku tersebut.

Saat amplop coklat itu dibuka dan aku melihat isinya, mataku membulat dan tubuhku pun membeku. Kulihat ada puluhan lembar uang pecahan seratus ribu di dalamnya. Aku pun segera menutup amplop coklat itu kembali dan tak berani memegangnya lagi. Oleh karena itu, aku letakan amplop coklat itu di atas meja, lalu menyodorkannya balik ke Ibu mertuaku.

"Ada apa ini, Bu? Mengapa Ibu tiba-tiba memberiku uang sebanyak ini?" tanyaku semakin bingung.

Meskipun sejujurnya, aku dalam hati sudah memiliki satu dugaan tak mengenakkan. Namun, aku masih berharap dugaaanku itu hanya pikiran burukku saja.

Tapi sekali lagi, takdir tak berpihak untukku. Tuhan tak mendengarkan doa dan harapanku.

Ibu mertuaku kini matanya menyipit melihat ke arahku. "Ini adalah uang agar kamu mau bercerai dengan Ilham anakku. Dia sekarang sudah punya istri yang lebih baik darimu dan tidak gila. Maya pun juga bisa memberikan uang yang banyak untuk Ilham, jadi anakku tak perlu bekerja keras lagi. Kami bisa hidup enak saat ini. Jadi berhentilah menggangu hidup Ilham, jika kamu masih mencintai anakku dan ingin hidup Ilham lebih bahagia. Maka lepaskanlah dia, Nina."

Aku terdiam untuk sementara waktu. Mencoba memahami apa yang dikatakan Ibu mertuaku tadi.

"Apakah ibu datang kemari atas permintaan dari Mas Ilham?" tanyaku dengan suara pelan.

Ibu mertuaku mengerutkan dahinya, alisnya tertekuk ke bawah. "Ya. Ilham sendiri yang meminta Ibu untuk datang kemari berbicara denganmu, sebab katanya dua hari yang lalu, saat Ilham datang menemui pun, kamu menolak untuk bercerai darinya, Nina?"

"Ibu bohong," kataku tidak percaya atas omongan ibu. "Mas Ilham tidak meminta ibu datang menemuiku, kan? Apa wanita yang bernama Maya itu yang telah menyuruh ibu?"

Ibu mertuaku tersentak kaget. Matanya membulat dan bibirnya terbuka.

Sekarang aku yakin tebakanku benar. Bukan Mas Ilham yang meminta ibu menemuiku, tapi istri kedua Mas Ilham yang bernama Maya itu!

Ibu mertuaku awalnya diam. Beliau bungkam tanpa suara beberapa detik, tapi kemudian ibu mertuaku membentak. "Sudah cukup!"

Beliau bangun dari kursi lalu memelototiku. "Mau Ilham atau pun Maya yang menyuruh ibu datang kemari, itu semua sudah tak penting lagi! Yang terpenting saat ini adalah kamu harus mau bercerai dari Ilham, Nina!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menjadi Wanita KuatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang