"Muka lo kenapa, kusut banget?"
Tak mengidahkan pertanyaan Zia, Naura langsung saja menghempaskan tubuhnya di kursi. Demi Tuhan, sepanjang perjalanan hingga sampai di kantor, mulut Naura seakan tak diberi kesempatan untuk berhenti mengumpat.
Lupakan pagi bahagia karena ia berhasil menaruh banyak garam dimakanan Keral. Karena setelahnya, si setan itu justru mengirimkannya pesan emoticon muka batu dengan tulisan poor babu.
Sialan memang. Napas Naura kembali memburu mengingatnya.
"Tensi darah dibuat naik lagi?" tebak Zia yang sudah paham.
"Sumpah! Penasaran gue! Apa yang udah dilakuin nenek moyang gue dimasa lalu sampai-sampai gue dikutuk punya nasib sial?"
"Coba mandi kembang 7 rupa deh," saran Zia ngasal.
"Perlu kali, ya?"
"Ya, coba aja."
Kemudian Naura terdiam, berpikir sejenak. Apa perlu ia coba supaya kesialan beserta kotorannya, bila perlu sama orangnya sekalian enyah? Astaga! Bahkan di dalam pikirannya saat ini ada terselip ingin menyewa dukun juga.
"Mau mati aja gue!" celetuk perempuan itu tanpa dosa sambil menelungkupkan wajahnya.
"Kapan? Biar gue siapin kain kafannya. Bonus juga deh, sama batu nisan. Biar gue marmer sekalian tu kuburan."
"Ziiaaaa! Bangke banget lo!"
Sontak saja yang punya nama tertawa. "Lagian, kalau lo mati. Gue yakin di dalam kubur sekalipun Keral pasti gangguin lo."
Dan, Naura pun setuju dengan kalimat tersebut.
"Lo tau, apa yang buat gue double kesal hari ini?"
"Apa memang?"
Naura bergerak, memutar badannya ke arah Zia, "Lo tau Cecil, kan?
"Tunggu... Cecil teman SMA yang pernah lo ceritain itu?"
"Ralat, Zia. Musuh gue."
"Ah ya, maksud gue itu."
Menghela napas berat, Naura melanjutkan, "Dan gue nggak akan sekesal ini kalau itu wanita random yang Keral tiduri. Tapi ini, Cecil. Lo bayangin, Cecil, Zia! Si ular kadut." Kembali, Naura menghela napas berat. "Gue yakin si setan itu pasti lagi merencaniin sesuatu."
"Bukannya setiap hari Keral memang punya rencana," celetuk Zia. Dahi Naura berkerut. "Ya, buat lo kesal. Bener, kan gue?" lanjutnya.
"Iya, sih," jawab Naura spontan.. Lantas mendengar cekikikan Zia, Naura langsung memberikan plototan tajam. "Zia, gue tabok lo ya?!"
Tanpa dosa, Zia menyengir. "Lagian, siapa juga yang bisa nolak pesona Keral. Dan gue yakin, perempuan di kantor ini juga sama kayak teman–eh sori, maksud gue musuh lo itu."
"Heran gue. Apa juga daya tariknya?" Naura menggeleng, tak habis pikir. "Tinggi kayak jelangkung. Putih kayak mayat dikasih formalin. Bawel kayak emak-emak nawar di pasar. Ribet kayak tukang parkir. Nyebelin kayak squidward. Banyak minusnya di mata gue."
Mengangkat tangan, Zia mengelus pundak Naura. "Gue rasa mata lo perlu di setting ulang."
Tunggu... maksud perempuan ini, matanya rusak gitu? Sialan!
"Si banyak minusnya di mata lo itu, ada plusnya juga, Naura."
Naura berdecak. Pembohongan publik ini. Jangan dipercaya ygy.
"Plusnya, itunya besar."
Wh-what? Naura melotot.
"Maksud gue, plusnya itu. Isi dompet tebal. Black card berjejer rapi. Tampang bikin bangga. Kehidupan ekonomi, sosial, budaya, IPA, IPS, dan apapun itu bakal terjamin." Dengan cengengesan Zia memaparkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Enemy
RomanceNaura kira, hidup lurus tanpa menyakiti orang lain akan membuatnya bahagia. Namun ternyata, filosofi kehidupan yang ia banggakan itu salah. Bermula dari kepergian orang tuanya. Berlanjut pada hutang orang tuanya yang beralih menjadi tanggungjawabnya...