"Gak perlu," tolak Joan saat berada di samping motor Nadhif.
"Anggap aja gua dari panitia yang mantau lo."
"Gak bisa, Dhif."
"Terus? Lo mau dikatain ngehindar dari tugas ini?"
"Gue gak bisa sama lo. Gue pake ojek aja, banyak kok."
Nadhif mengambil helm yang ada di motor Alby dan memasangkan pada kepala Joan. "Kenapa? Lo gak bisa karena bayangin ini Bagas?" tanyanya sambil menaiki motornya dan mengeluarkan dari parkiran.
"Apa salahnya kalau lo anggap gue Bagas, gue gak bakal marah dan pasti lo kayak gitu rasanya sakit banget, kan? Yang sakit itu lo, lo yang rasain, jadi buat apa ditahan?"
Joan hanya mematung. Jadi, ini semua salahnya? Dia yang bodoh dan dia egois.
"Apa perlu gue angkat ke atas motor?" tanya Nadhif. "Ini kepentingan lo dan gue berniat bantuin aja," sambungnya.
Joan menarik napas singkat dan duduk di belakang Nadhif. Demi ibu, batinnya.
Tidak ada yang mereka bicarakan sepanjang jalan dan rasa canggung yang tidak dapat dihindari. Nadhif hanya perlu mencepat laju motornya karena ia pergi tanpa sepengetahuan semua temannya, kecuali Jian, perempuan yang memohon kepadanya untuk menemani Joan.
Di belakang sana, Joan terlihat begitu pucat. Padahal hal biasa masuk ke setiap celah mobil yang padat bersama Hana atau Jian. Namun, entah kenapa sekarang dia merasa takut. Bayangan kematian Bagas terulang kembali di dalam ingatan, dia takut hal itu terjadi untuk kedua kalinya.
Saat menyelip mobil dari arah kiri, mendadak saja motor lain keluar dari depan mobil itu. Nadhif pun menekan rem secara mendadak dan Joan hampir lupa cara untuk bernapas. Tangan Joan tanpa sadar memegang bahu Nadhif.
"Gak apa-apa," ucap Nadhif karena melihat wajah Joan yang sangat pucat. "Gue lebih takut, Jo. Maaf, ya," batinnya.
Joan meminta Nadhif untuk menunggu di warung yang berada tidak jauh dari rumahnya, mengantisipasi jika ayahnya berada di rumah, walau itu tidak akan terjadi.
"Gue pake motor lo, ya?" tanya Joan. Nadhif meragukan permintaan perempuan itu. "Gue bisa kok bawa motor," sambungnya memastikan laki-laki itu.
Nadhif tertawa dan menyerahkan kunci motornya. "Hati-hati, stangnya berat sebelah."
"Ha? Lo jatuh?" tanya Joan dengan mata yang ia besarkan.
Laki-laki itu langsung berdiri dan menutup mata Joan dengan telapak tangannya. "Jangan begitu, Jo, serem." Joan tidak bisa menahan senyumnya. "Nah, gitu, kan mantep kalau senyum. Lagian stang doang yang berat sebelah, bukan berarti gua abis jatuh," sambungnya.
Tidak tahu harus mengatakan apa lagi Joan langsung mengambil alih kunci motor milik Nadhif, lalu menyalakan motor dan pergi dari depan laki-laki itu untuk menghilangkan rasa canggungnya.
Untung saja Nadhif tidak mengantarnya hingga depan rumah. Jika iya, sudah dimarahi oleh Syarif dan tidak diizinkan lagi kembali ke sekolah. Walau Syarif pulang hanya sebentar, tapi tetap saja perlu diantisipasi.
"Mobil ke mana, Kak?" tanya Syarif yang tengah berada di ruang tengah. "Itu motor siapa?"
"Kakak ditahan temen sekolah, lagi ada acara. Ini mau beberes dulu, nanti balik lagi, Yah," jawab Joan.
Syarif tersenyum bangga kepada anaknya, tidak salah ia membesarkan anaknya. "Mau Ayah antar?" tawar Syarif.
"Gak usah, Yah. Di depan ada teman Kakak. Dia tadi juga pulang, nanti mau barengan," jawab Joan walau harus berbohong.

KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH - Ryujin ✔
Teen FictionDitinggalkan oleh sosok yang paling dia sayangi untuk selamanya membuat Joan merasa kehilangan, tetapi di samping itu pria yang memiliki paras serupa dengan Bagas muncul di kehidupan Joan-Nadhif, kembaran Bagas. Ia mencoba menjadi sosok Bagas yang d...