Rumah di Atas Awan

238 22 6
                                    

Di sebuah Villa super mewah, aku berdiri menatap gunung. Ditemani segelas wine yang katanya ratusan tahun. Nikmat sekali. Entah kapan terakhir kalinya mulut miskinku bau alkohol.

"Bratva!" Seseorang menegurku dalam sapaan ala Rusia.

Aku enggan menoleh. Pria itu menghampiriku dari belakang. Berdiri di sampingku dan menatap gunung yang sama. Hamparan hutan yang nampaknya tanaman hidup.

"Di villa ini banyak Wine sungguhan, Kamerad. Vodka juga ada. Kenapa tidak datang?"

"Aku tak punya uang," jawabku seadanya.

"Aku bisa jemput di Surabaya. Mau kujemput sekarang?"

Aku enggan menjawab. Pria itu juga tahu alasanku tak bisa datang di Villa ini. Dia tepuk pundakku lagi dan bicara agak melankolis.

"Divon, kamu berubah sejak menikah."

"Begitukah?"

"Iya. Kamu bahkan tak tahu dunia ini mau kiamat!"

Aku kontan memutar mata. Sudah hafal akan kemana arah bicaranya.

"Ayolah, Eric. Kita baru bertemu setelah tiga tahun. Bisakah kau tunda itu?"

Eric berwajah serius saat meminum wine yang sama. Tapi versi sungguhan dari minuman yang kupegang. Cairan asli. Bukan barang virtual dari gumpalan data komputer.

"Divon, menurutmu, berapa populasi manusia tahun ini?"

Ah, dia mulai lagi.

"24 milyar," jawabku ketus.

Pria itu terbahak-bahak. Kali ini memintaku saling berhadapan. Menunjukan mata biru dan rambut pirang dari genetik kaum Slavic. Logatnya pun sangat Rusia saat bicara dengan bahasa Indonesia.

"Salah besar, Divon. Populasi manusia hanya empat milyar. Dan jumlah itu akan terus menyusut. Kamu dibohongi NeuVIR."

Aku menghela panjang saat dia masih bicara. Enggan mendengar ucapannya. Segala macam spekulasi yang nyatanya tidak terbukti.

"Dunia ini butuh pahlawan, Divon. Mereka tidak sadar kalau dunia mau kiamat. Tanda-tanda akhir jaman!"

"Tolong berhenti bahas itu." Aku menegur sebelum dia makin cerewet. "Aku kesini demi pekerjaan, Eric. Bukan demi omong kosongmu."

"Itu bukan omong kosong, Kamerad! Bukti-buktinya sudah banyak. Milyaran orang akan tewas kalau kita memilih diam."

"Dan istriku bisa kelaparan kalau topik ini kita lanjutkan."

Eric mengangkat sebelah alis. Dia angkat pula kedua bahunya setelah sadar aku tetap keras kepala. Memilih pasang telinga dan mendengar keinginanku.

"Aku sudah lama menikah, Eric. Aku menghubungimu karena kamu bilang ada lowongan. Tolong jangan mengajakku membahas lagi teori-teori konspirasi. Kamu bisa, kan?"

Pria itu diam sesaat. Bersedia mengalah demi temannya yang sedang susah.

"Tenang saja, Bratva. Pekerjaan ini prospeknya bagus. Kamu lihat villa ini? Semuanya milikku."

Bibirku tersenyum simpul. Lebih antusias untuk membahas topik ini. Eric pun tahu betapa miskin kehidupanku.

"Aku sudah mendaftarkanmu," katanya.

"Serius? Kapan interview? Dan di perusahaan mana? Aku bersedia di posisi apapun."

Hatiku makin semringah. Tak percuma menghubunginya dari Surabaya. Aku butuh pekerjaan. Meski sayangnya, pandanganku berkedip-kedip saat Eric hendak bicara.

PIP!

"Maaf, pulsa anda tidak mencukupi untuk melanjutkan panggilan ini. Panggilan akan terputus dalam hitungan ..."

"Siaaalll!"

***

Secara perlahan balkoni Villa berubah jadi ruang tamuku. Sebuah ruangan jelek dari komposit daur ulang. Gelas Wine pun ikut menghilang dari tanganku, begitupun getir alkohol di rongga mulut. Tanda bahwa aku telah kembali ke tubuh asli.

Bukan hologram seperti tadi.

PIP!

"Anda baru saja terhubung di sektor 36, kode 6834B, Kota Ubud, Negara Bagian Balinusa."

PIP!

"Durasi panggilan 55 menit 53 detik. Segera isi ulang pulsa anda sebelum melakukan panggilan lagi."

PIP!

"Layanan ini dipersembahkan oleh NeuVIR. Solusi bagi segala kebutuhan anda."

PIP!

Beberapa layar persegi bermunculan di depan mata. Panel-panel pemberitahuan dari layanan komunikasi. Menunjukkan jumlah pulsa yang tersisa tiga digit. Seakan sedang menyindir, betapa miskin kehidupanku sejak dipecat dari NeuVIR.

"Sayang, kamu baik-baik saja?"

Suara perempuan menegurku dari dapur. Suara Cha Hyunjae, istriku. Wanita Korea yang kunikahi saat bekerja di perusahaan lama. Aku yakin dia cemas karena suaminya teriak-teriak.

"Tak ada apa-apa, Cha. Tenang saja."

"Mas sudah lapar?" tegurnya lagi. Sepertinya sedang sibuk menyiapkan makan siang. Kuhampiri wanita itu dan memeluknya dari belakang.

"Aku mencintaimu." Kuucapkan sebuah kalimat yang tak bosan dia dengarkan.

Istriku membalasnya dengan senyum. Tangannya masih sibuk memotong bawang berwarna biru, warna khas makanan palsu yang kami cetak dari mesin. Hanya orang kaya yang sanggup beli makanan asli. Bagi orang miskin seperti kami, harus puas dengan hidangan serba sintetis.

"Mau Kimchi?" Dia sebut nama masakan khas negara asal.

Aku hanya mengangguk. Makin tak tega saat istriku memencet mesin rekayasa karbon. Dia ambil pula lobak biru, jahe biru, udang, dan segala makanan yang tercipta dari molekul di udara. Butuh waktu lama mencetaknya. Terkadang seharian kalau udara sedang buruk. Dia pencet lagi mesin itu untuk persiapan makan malam.

"Mas yang sabar ya? Umurmu sudah 21. Sudah tua. Mas mau hidup sampai 40, bukan?"

Amarahku hilang saat istriku balik badan. Selama lima tahun kami menikah, wanita 20 tahun itu tak mengeluh kuajak susah. Mungkin karena lahir di negara miskin.

"Cha, asalkan bersamamu, aku mau sampai 50."

Istriku tertawa kecil karena sebuah rayuan absurd.

Hidup sampai 50 tahun?

Apa itu mungkin?

"Mas ke balkoni dulu, gih. Destilatornya rusak." Dia sebut mesin lain yang kami gunakan mencetak air.

Aku beranjak setelah memberi sebuah ciuman. Membuka pintu balkoni dan memeriksa sebuah benda melayang-layang. Destilator generasi lama. Entah berapa kali kureparasi karena tak sanggup beli yang baru.

Cari kerja semakin sulit. Perusahaan lebih memilih mempekerjakan robot daripada menggaji orang. Apalagi menggaji pria sepertiku. Syukur-syukur masih punya rumah. Sekalipun rumah kecilku hanya kontrakan di gedung kumuh 200 lantai.

"Huuff, untung masih punya skill," gumamku menghibur diri.

Destilator pun kembali berfungsi. Benda itu mulai terbang menuju awan di bawah sana. Memanen air dari gumpalan kumulonimbus.

Cukup tinggi, bukan?

Gedung-gedung di Surabaya memang menjulang menembus awan.

Kontrakanku berada di blok lantai paling atas. Kira-kira 900 meter di atas permukaan tanah. Harga sewanya tergolong murah karena tak ada lagi yang bisa kami lihat selain hamparan awan hujan.

Aku duduk di tepi balkoni. Melihat kendaraan berterbangan di bawah sana. Terkadang melihat puncak dari gedung di sekelilingku. Terkadang pula aktivitas para tetangga yang entahlah siapa namanya.

Tahun 2222 ...

Surabaya semakin sesak.

NeuVIR 22Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang