Batasan Manusia

21 5 1
                                    

PIP!

"Konfigurasi berhasil. Tunggu beberapa saat sampai lapisan terpasang penuh."

Setelah mendapat uang dari Eric, aku benahi rumah. Terutama mengisi aetherium di mesin reka-atmosfir. Semacam lapisan tipis yang memisahkan partikel udara.

Walau bagaimanapun kami hidup di tempat tinggi. Gedung kami menembus awan. Dengan adanya lapisan itu, kondisi udara di tempat kami sangat mirip permukaan tanah. Termasuk kondisi angin. Udaranya sepoi-sepoi.

"Mas, malam ini gak sedingin kemarin."

Cha menyusulku ke balkoni. Membawakan sepiring masakan. Dia menyuapiku saat tanganku sedang sibuk mereparasi. Membenahi perabot bekas yang kubeli di pasar loak. Ada drone, generator tenaga surya, sampai bermacam-macam peralatan dapur. Aku beruntung menghubungi Eric walau istriku tak boleh tahu.

"Mas baru isi aetherium? Sepertinya grade tiga. Dapat duit darimana?"

"Sumbangan wali murid." Aku berbohong. Biasanya, kami hanya isi pakai aetherium grade lima. Versi paling murahan yang lazimnya untuk gudang. Bukan untuk ruangan yang dihuni manusia. Istriku jelas menanyakannya.

Wanita itu juga bertanya saat melihat setumpukan barang rongsokan.

"Tumben beli banyak?"

"Barang modal," jawabku singkat.

"Ohh, Mas mau jual lagi?"

"Iya. Kondisinya masih bagus. Nanti bagi hasil sama pemilik. Dia yang beli rongsokan, aku yang benerin."

Syukurlah dia percaya.

Cha pindah duduk di sampingku. Mengamati hamparan awan dan kerlip lampu di permukaan. Masih menyuapiku di terangnya cahaya bulan. Kami tak bosan melakukannya.

"Mas, aku kangen Ibu."

Tanganku perlahan terhenti. Permintaan itu kudengar lagi dari bibirnya. Sejak pertama kami menikah, Cha selalu mengeluh ingin kembali ke Korea. Negara kelahiran yang delapan tahun dia tinggalkan.

"Mas, usia ibu sekarang 33 ..."

Aku memilih diam. Meminta maaf dalam hati. Aku menyesal belum sanggup mengabulkan permintaannya. Padahal usia mertua saat ini terlampau renta. Semua karena kemiskinan. Jangankan ke negara lain. Tiga tahun inipun kami tak pernah keluar rumah.

"Mas punya pulsa? Aku minta ya?"

"Menghubungi ibu? Butuh berapa?"

Istriku agak meragu. "Kalau Mas ada 20 ribu Chromel, sekalian telpon Shin Youngwoo, Le Hyun dan Kang Minhyuk." Dia sebut semua nama adik-adiknya.

Langsung kukirim 100 ribu. Setara penghasilanku dalam sebulan. Istriku bertanya lagi darimana asal uangnya.

"Pulsa dari sekolah. Sumbangan wali murid. Pakai saja. Kalau kurang kuisi lagi."

Setelah menerima pulsa, istriku menutup mata dan terdiam seperti patung. Napasnya mulai melambat. Persis kondisi orang sedang tertidur. Menandakan kesadarannya sedang berada di tempat lain.

Kuhentikan aktivitasku hanya demi menatap wajahnya. Mumpung dia tidak sadar. Kunikmati wajah cantik itu sambil menggali kenangan kami.

Aku teringat masa laluku bersamanya. Masa-masa saat pertama kami kenalan. Jatuh cinta di tempat kerja. Aku 13, sedangkan Cha 12 tahun. Usia matang pernikahan. Kamipun berpacaran di sela-sela kesibukan kerja.

Cha sekretarisku waktu itu. Kami menikah setelah tiga tahun di satu kantor. Masa-masa paling bahagia dalam hidupku. Sekalipun kami sepakat tak akan pernah punya anak.

NeuVIR 22Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang