Apa pendapat kalian tentang Acasia High School?
Pasti orang-orang akan menamakannya 'sekolah orang kaya'. Mereka akan menyebutnya sebagai salah satu 'kenikmatan' menjadi orang yang punya banyak uang. Memang benar adanya, AHS penah dinobatkan menjadi sekolah terbaik di Jakarta. Kualitas guru, fasilitas dan infrastruktur yang lengkap, peraturan ketat, dan otak-otak orang cerdas melengkapi.
Tetapi dibalik nama megah itu banyak menyimpan perbuatan-perbuatan minus yang tentu saja akrab untuk siswa-siswi disana. Bukannya dilegalkan, melainkan diabaikan. 'Mereka' lebih takut dengan atasan bukan kemanusiaan.
"Kerjakan, cupu!" Hardik seorang siswi kepada perempuan di depannya. Buku tulis kosong ikut juga menghampiri. Si perempuan jatuh terduduk, ketika tadi didorong bersamaan dengan kecaman yang terlontar untuknya.
"Punya telinga nggak, sih?" Racha, si siswi tadi kembali melontarkan kata-kata tidak asing. Habisnya, kejadian yang sedang terjadi ini bukan hanya satu atau dua kali, hampir setiap hari. Gadis itu meminta Rania untuk mengerjakan tugasnya, namun saat sudah deadline belum kunjung juga dikerjakan.
Rania hanya menunduk. Membiarkan rambut panjangnya menutupi wajah yang ia sendiri malu untuk menunjukkannya.
Racha menekuk kakinya hingga wajahnya sejajar dengan Rania. Ia mencengkram dagu Rania dan memaksanya untuk mendongak. Wajah sembab perempuan di depannya itu membuatnya tersenyum. "Makanya jangan main-main sama gue..." Ia berdiri, "Atau, hidup lo gak akan tenang!" Terakhir, Racha sempat menendang kaki Rania sebelum pundaknya dirangkul seseorang.
"Ayo ke kantin, Kanjeng Ratu!" Lelaki itu berkata dengan santai. Mereka berjalan menuju kantin diikuti teman-teman yang lainnya.
Bukan rahasia lagi kalau Racha adalah teman satu geng dengan Gavin. Sifatnya yang keras, nyolot, dan angkuh ternyata tidak membuatnya mendapatkan teman pura-pura. Kesukaan Racha yaitu menjadikan Rania sebagai sasaran perilaku kasarnya. Alasannya simpel, karena Rania lebih rendah darinya.
Rania menghembuskan napas. Kepalanya mendongak setelah menerka-nerka mereka sudah pergi. Ia memandangi buku tulis milik Racha di pangkuannya. Rasanya lelah. Setiap hari harus menjadi kacung semua orang. Nyatanya bukan hanya Racha, teman-teman yang lain juga kerap memintanya untuk mengerjakan tugas maupun menggantikan hukuman yang diberikan kepada mereka. Rania berdecih pelan. Nasib menjadi orang miskin memang sudah digariskan disini.
***
"Traktiran, dong!" Fahru merengek kepada teman-teman di depannya. Bahunya ia gerak-gerakan untuk memberikan kesan lucu.
"Jangan gitu, Ru. Jijik gue," pinta Raja yang duduk di samping Fahru. "Lagian lo orang kaya, bukan, sih? Kerjaannya minta traktiran mulu." Lanjutnya.
"Kalau ada yang gratis, kenapa harus bayar?" Jawab Fahru dengan nada sinis. Matanya melirik Raja yang menyindirnya tadi.
"Khusus hari ini...." Gavin menahan ucapannya, membuat Fahru menaruh harapan tinggi. ".... bayar sendiri-sendiri." Gavin tersenyum polos. Fahru yang mendengarnya langsung mengkerutkan wajah.
Seperti biasanya, Gavin dan teman-temannya datang ke kantin saat jam istirahat tiba. Hari ini lengkap, tidak ada yang izin organisasi maupun mengurus ekstrakurikuler.
Disamping Gavin ada Racha. Si mulut pedas dan suka berkelahi. Sifatnya sudah seperti kakak kelas yang suka melabrak. Disindir sedikit langsung tampar, apalagi berurusan dengannya, bisa-bisa dijadikan musuh tiga tahun lamanya. Tidak suka dikomentari, egois, dan suka semaunya sendiri. Entah apa alasan Gavin bisa menjadikannya seorang teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bridge of Two
Teen FictionRaya, si serba bisa, termasuk membuat Gavin harus memiliki dua pilihan. Gavin, si terkenal, tetapi tidak bisa memutuskan. Rania, si pintar, walaupun sudah lengser menjadi peringkat 2. Ujung terlihat dekat, tetapi letaknya begitu jauh. Mengatasnamaka...