Waktu menunjukkan pukul empat lebih lima belas sore. Orang-orang berlalu-lalang untuk pulang ke rumah masing-masing. Lalu lintas padat, bus-bus terisi penuh, dan trotoar begitu ramai oleh pejalan kaki.
Mereka, Gavin dan Raya turut meramaikan hilir mudik pejalan kaki yang berlomba-lomba sampai ketempatnya masing-masing. Dengan berjalan bersisian melaksanakan 'perintah' dari sang Mamah, sekaligus refreshing dari tugas-tugas sekolah yang tidak pernah ada habisnya.
Limat belas menit berlalu tanpa adanya percakapan. Baik Raya maupun Gavin tidak berniat mengakrabkan diri. Apalagi setelah Gavin mendengar percakapan kedua orang tuanya tadi malam. Memang terasa tidak adil menilai orang hanya dari first impressionnya, tetapi penilaian terhadap seseorang juga dapat dipengaruhi dari bagaimana pendapat kita terhadap orang itu atas dasar dorongan orang lain. Seperti saat Danu membicarakan perihal pertemuan waktu itu yang tak sengaja didengar oleh Gavin. Apa yang diucapkan ayahnya seakan mensugestikan kalau Raya itu sosok yang harus dirinya tidak suka, terlepas dari sifat aslinya bagaimana. Karena itulah Gavin tidak lagi menatap Raya seperti halnya sebelum pertemuan itu terjadi dan seperti orang lain menganggap bahwa Raya hanyalah seorang anak baru di AHS.
Percayalah, semua itu benar-benar mengubah cara pandang Gavin pada perempuan di sampingnya. Sampai pada saat ini pun, saat Tante Ajeng memintanya menemani putrinya, semua hal itu tidak berubah dan semakin membingungkan.
Tak lama, mereka menemukan penjual bubur kacang ijo dan memutuskan untuk mampir. 'Burjo Mas Anang' menjadi tempat pertama mereka untuk singgah.
"Mas dua ya!" ucap Gavin.
"Raya, sebenarnya tujuan lo dipindahkan ke sini itu apa?" Gavin bertanya setelah mendapatkan tempat duduk.
Ia sebenarnya penasaran antara korelasi pertanyaannya dengan pernyataan Ayahnya apakah valid atau tidak.
"I don't know. Mungkin pekerjaan ayah yang mengharuskan itu?" Jawab Raya tenang.
"Lo gak protes? Ninggalin teman-teman, keseharian lo, abang lo?" He just confirmed the confused feeling.
"Kok tau aku bukan anak tunggal?" Gavin hanya menatap Raya tanpa ekspresi setelah mendengar jawaban perempuan itu tidak sesuai apa yang diinginkannya. Sedangkan Raya, ia sempat berdehem pelan karena merasa apa yang ia ucapkan justru menimbulkan kecanggungan. "Oke-oke, nggak ada yang nggak tahu," ucap perempuan itu kemudian.
"Protes, sih. Tapi percuma. Keputusan ayah itu mutlak. Mau gimana lagi? Daripada terjadi hal yang nggak-nggak." Raya menatap Gavin tersenyum. Senyum miris.
Ayahnya memang kaya, perhatian, dan mungkin menjadi orang tua yang didambakan teman-temannya dulu, tapi beliau itu sangat otoriter. Semua perintahnya harus dipatuhi dan dilaksanakan, semua pernyataannya harus didengarkan, dan sangat mendominasi, seperti peran seorang ayah. Cuma agak naik tarafnya.
"Terakhir, mengenai pertemuan itu? Lo yakin gak ada apa-apa?" Gavin yakin lawan bicaranya belum tahu apa-apa.
"Maksud kamu ada niat terselubung antara mereka?"
"Exactly, something fishy."
"Awalnya aku mengira memang ada. Tanpa bilang apa-apa, Ayah ngajak aku ke Jakarta dengan embel-embel bertemu sahabatnya. Bahkan sampai booking dua kamar selama dua hari. Dan, yeah, sekarang. Ternyata mau pindahin aku." Raya mengendikkan bahu. Sebenarnya, keputusannya atas perintah ayahnya tidak terlalu diperhitungkan. Dengan ada atau tidaknya pernyataan dari dirinya bahwa ia setuju, semua ini akan tetap terjadi.
Raya menyerongkan tubuhnya menghadap Gavin dengan tangan yang ia sedekapkan di depan dada. "Kamu tahu sesuatu? Ambigu banget omongannya," ucap Raya.
Gavin terdiam. Ia tampak berpikir, bagaimana mengutarakan apa yang ia tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bridge of Two
Teen FictionRaya, si serba bisa, termasuk membuat Gavin harus memiliki dua pilihan. Gavin, si terkenal, tetapi tidak bisa memutuskan. Rania, si pintar, walaupun sudah lengser menjadi peringkat 2. Ujung terlihat dekat, tetapi letaknya begitu jauh. Mengatasnamaka...