01. Kertas Bujur Sangkar

2.9K 284 53
                                    

Saudara-saudarinya tidak akan datang melayat ke pemakaman ibunya. Siapa pun juga tidak akan melayat. Kali terakhir Hestu melihat wanita nomor satu di hidupnya itu adalah di kamar jenazah. Air mata berlinangan ditangkup oleh APD. Hestu tidak bisa apa-apa karena ibunya telah dimasukkan ke dalam kantung. Dikirim langsung untuk ditanam.

Proses pengebumian selesai sekejap mata. Tidak ada kidung duka. Tidak ada bunga tabur. Dia benar-benar tidak siap. Para petugas kesehatan juga pendeta yang membacakan doa-doa sudah beranjak. Belasungkawa menerobos telinga kiri, terbuang di telinga kanan.

Hestu membuka kancing teratas kemeja hitamnya. Keheningan pemakaman terasa mencekik. Di petak tanah beberapa meter dari sana, ada liang kosong lagi yang sudah tergali. Menunggu kedatangan jasad lain untuk ditelan. Hestu segera beranjak sebelum harus mendengar satu lagi sirine mobil jenazah hari itu.

Barang-barang ibunya yang tidak banyak sudah diangkut dari rumah sakit. Hestu bahkan merasa bersalah ketika menyerahkan tas berisi setumpuk pakaian itu ke penatu. Seharusnya ia membuangnya saja tadi. Para perawat mengatakan bahwa ibunya meninggalkan sepucuk pesan terakhir. Yang mana kertas itu bahkan harus diambilnya menggunakan sarung tangan, disemprot-semprot desinfektan sampai kuyup, dijemur sehari semalam, sebelum akhirnya dibaca terang-terang. Puji syukur karena tinta di dalamnya belum luntur seutuhnya.

'Tu, tolong semangati Yose supaya sembuh.'

.

.

.

L e n g g a r a

-abiguellix-

.

.

.

Jujur saja, yang diekspektasikan Hestu waktu membuka lipatan kertas itu adalah informasi semacam di mana ibunya meletakkan polis asuransi atau mungkin sesuatu seperti; 'Tu, ibu menyimpan uang lima puluh milyar di lemari celana dalam'. Ayolah, itu harapan yang normal terutama di tengah kondisi ekonomi yang resesi seperti ini. Sepertiga karyawan di perusahaan Hestu telah di-PHK dan beberapa sisanya dirumahkan, termasuk dirinya. Namun sudahlah, siapa yang Hestu bodohi. Jaminan kesehatan mereka saja hanya versi nasional kelas ketiga. Ibunya jelas tidak punya banyak harta untuk ditinggalkan.

Tapi tolong lah, Ma. Siapa pula si Yose-Yose ini.

Hestu memacu motornya ke rumah sakit. Mengabaikan memori pedih yang bercokol di tempat itu hanya demi menanyakan tentang Yose. Petugas administrasi di meja lobi akhirnya menemukan informasi tentang pasien yang sudah masuk tiga hari yang lalu tetapi masih tertahan di ruang IGD.

"Dia masuk sehari setelah Ibu Anna." Suara si perawat agak segan ketika menyebut nama ibu Hestu. Pemuda yang masih dalam masa duka itu harus mengernyit ketika dihadapkan kembali dengan pemandangan ruang gawat darurat yang sempit. Dan kasur lama yang sudah dibaringi pasien baru.

Aroma yang toksik bahkan menusuk masker dua lapis begitu pintu sekilas dibuka karena seorang perawat lain ingin mengantarkan makan siang dalam wadah sekali pakai.

"Tapi besok mungkin sudah bisa dipindah ke ruang isolasi," lanjut perawat wanita yang menuntun Hestu. "Ada kamar kosong karena satu pasien keluar siang ini."

Alis Hestu naik. "Negatif?"

Sang perawat hanya tersenyum sekilas dengan pandangan meniti ubin. Hestu menghela napas dalam-dalam. Si perawat kemudian menunjuk kasur nomor dua dari pintu masuk. Telunjuknya mengetuk dari balik dinding kaca transparan. "Itu Yose."

LenggaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang